Selasa, 20 Maret 2012

KEBAHAGIAAN

Tanpa sengaja saya pernah membaca sebuah artikel yang menjengkelkan di internet. Menurut survey sang penulis, 1 dari 3 orang dewasa tidak bahagia hidupnya. Perbandingan tersebut berlaku tanpa membedakan tua-muda, kaya-miskin, elit-rendahan, ataupun berpangkat dan tidak.
Boleh saja kita tidak percaya pada artikel itu, tapi mungkin kita perlu bertanya secara jujur pada diri sendiri, “apakah kita bahagia dengan hidup kita? Kalau jawaban kita “ya”, kita perlu perjelas, “apakah kebahagiaan itu?”. Ini perlu kita lakukan, karena jangan-jangan kita, secara sadar atau tidak, sebenarnya termasuk orang yang mengaku bahagia, padahal tidak.  
Apakah kebahagiaan itu?
Sejak manusia ada di muka bumi, kebahagiaan merupakan sesuatu yang paling dicari dalam hidupnya. Apapun yang dilakukan manusia dalam hidupnya pasti tidak lepas dari keinginan untuk mendapatkan kebahagiaan, dan menghindar dari kesengsaraan, kebalikan kebahagiaan.
Tentu saja, ada manusia yang mampu meraih kebahagiaan, ada yang hanya mendapatkan kebahagiaan semu, dan ada pula yang seumur hidup merasa tidak pernah menemukannya.
Untuk mengetahui apakah kita bahagia atau tidak, pertama-tama kita mesti memahami apa dan bagaimana kebahagiaan itu. Bahkan masalah mendasar yang menyebabkan banyak orang tidak bahagia adalah karena mereka tidak tahu apa dan bagaimana kebahagiaan itu?
Kebahagiaan dipahami berbeda oleh kebanyakan orang. Kebanyakan orang menyamakan antara kebahagiaan dan kesenangan, padahal keduanya berbeda meski terkesan sama. Ketidaktahuan ini rupanya turut menyumbangkan kegagalan dalam meraih kebahagiaan.
Kebahagiaan kadang berarti memang kesenangan, tetapi tidak semua kesenangan berarti kebahagiaan. Mencari kebahagiaan dapat diibaratkan dengan bepergian menuju kebun binatang di Surabaya, sedangkan kesenangan adalah naik kendaraan. Bila seseorang menganggap naik kendaraan sebagai tujuan,  maka sangat boleh jadi dia tidak pernah sampai pada tujuan sebenarnya.
Keduanya sama-sama keadaan batin (psikis) tetapi memiliki dimensi berbeda. Kesenangan(ladzdzah), keenakan dan kemudahan hidup sering bersifat sementara, sedangkan kebahagiaan bersifat jangka panjang dan terus-menerus (langgeng). Kebahagiaan bersifat mental (psikis). Meski juga bersifat psikis, kesenangan bersifat seringkali terkait dengan kebendaan.
Banyak orang yang hanya berhasil memperoleh kesenangan, tetapi tidak mencapai kebahagiaan. Sebagai misal, menikah dengan suami atau istri idaman adalah kesenangan, tetapi belum berarti kebahagiaan. Kesenangan tersebut akan berlanjut dengan kebahagiaan bilamana kita merasakan suami/istri kita orang yang sabar, pengertian, penuh perhatian, penuh kasih sayang, kita merasa tenang dan damai, mampu hidup secara teratur, bergairah, dan membuat kita nyaman dan betah bersamanya.  
Sebaliknya, kesenangan tersebut dapat berakhir ketidakbahagiaan bilamana sesudah menikah kita mendapati suami/istri kita ternyata orang yang egois, tidak pengertian, tidak perhatian, atau sikapnya sering menyebalkan di mata kita. Kesenangan yang kita dapat justru membuat kita merasa tertekan, gelisah, mudah marah (impulsif), mudah konflik, dan membuat kita ingin keluar dari keadaan itu.   
Orang-orang Sufi (mutashowwifin) mkebahagiaan dengan surga (jannah), yang berarti tempat bagi orang-orang bahagia. Kebahagiaan adalah bila kita mampu membebaskan hati dan perasaan kita dari keterikatan pada materi. Dalam al-Qur’an kebahagiaan digambarkan dengan keadaan jiwa yang muthma’innah (damai). Jiwa yang bahagia akan mudah kembali ke jalan Allah dengan penuh ketulusan. 
Menurut Mario Teguh, kebahagiaan adalah kegembiraan dalam kedamaian yang penuh syukur. Bahagia teraih bilamana kita merasa menikmati hidup kita dalam suasana hati yang tenang, dan penuh rasa syukur atas segala pemberian Allah.
Secara psikis, orang bahagia pada umumnya:
·         Memiliki suasana hati yang gembira, tenang atau damai,
·         Mampu menjalani hidup yang teratur,
·         Merasa hidup (bergairah), dan
·         Betah menjalani kehidupan yang dimiliki.
Sebaliknya, kita termasuk orang yang sedang tidak bahagia manakala kita jiwa kita diliputi perasaan tertekan (ngempet), gelisah (kemrungsung), tidak puas, dan lemah gairah. Dalam tingkatan tertentu orang tidak bahagia ditandai dengan berkembangnya perasaan mudah marah, mudah tersinggung, mudah berkonflik, dan puncaknya ingin keluar dari keadaan kita.
Mengapa kita tidak bahagia?
·         Menjauhkan diri dari kebahagiaan
Ini kesalahan umum orang-orang yang gagal meraih kebahagiaan. Mereka percaya bahwa kebahagiaan ada di masa depan.  Mereka terlalu berpegang pada pepatah lama: bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian.  Ironisnya, masa depan yang dituju tidak pernah jelas batasannya, sehingga dia tak pernah tahu kapan bahagia.
Idealnya kebahagiaan merupakan proses yang terus-menerus. Kita memang harus berjuang mencapai cita-cita. Anak-anak memang harus belajar keras agar sukses, tapi bukan berarti harus mengorbankan kebahagiaannya saat ini.
·         Ketergantungan pada kesenangan
Orang kadang tidak bahagia karena di dalam dirinya tertanam keyakinan bahwa dia tidak akan bahagia sebelum memiliki hal-hal yang dia pandang bernilai.  Kita tidak akan bahagia bila perhatian kita tertuju pada segala sesuatu yang tidak kita miliki, bukan pada apa yang ada pada kita.
·         Mengharap segalanya sempurna
Kebahagiaan tidak akan datang pada mereka yang tidak dapat menerima keadaan dirinya dan lingkungan sekitarnya. Yang perlu disadari adalah bahwa amat sulit mengubah orang lain, meski itu bukan hal yang mustahil. 
Kebahagiaan tidak dapat disandarkan pada keadaan, tapi diri kita sendiri. Kebahagiaan bukan milik mereka yang selalu berharap mengubah situasi, kondisi dan orang-orang di sekitarnya, pasangan, anak, tetangga, dan atasan kita agar sesuai keinginannya. 
·         Tekanan keinginan
Banyak orang tidak bahagia karena di pikirannya tertanam keyakinan bahwa dia baru akan bahagia kalau semua keinginannya terpenuhi.  Keinginan sering membuat kita tegang, frustrasi, cemas, gelisah dan takut.  Bagi orang seperti ini, terpenuhinya keinginan hanya akan memberinya kesenangan dan kegembiraan sesaat, tetapi belum tentu memberi kebahagiaan.
·         Orang lain sebagai parameter
Orang juga tak bahagia bila cenderung membanding-bandingkan dirinya dengan orang lain. Dia baru merasa bahagia bilamana sudah mampu menyamai atau melebihi orang lain yang dijadikan ukuran kebahagiaannya. Ini adalah tipikal orang yang tak pernah merasa bahagia, sebab yang dia kerjar sebenarnya hanya kesenangan, dan bukan kebahagiaan.
Bagaimana agar kita bahagia?
Menurut orang-orang bijak di masa lalu maupun kontemporer, agar kita bahagia ada beberapa hal yang perlu kita lakukan:
·         Ubah cara pandang tentang kebahagiaan
Kebagaiaan tidak pernah turun dari langit, melainkan kita sendirilah yang mesti membangun kebahagiaan kita sendiri.  Bukan keadaan yang membuat kita tidak bahagia, tetapi kita sendiri yang seharusnya mampu membuat kita bahagia atau tidak. Jangan menyandarkan kebahagiaan pada materi, status, pekerjaan, jabatan atau kebaikan orang di sekitar kita.
Ini petuah para sufi, tetapi diamini oleh filosof paling sekuler sekalipun. Kalau orang sufi menyarankan kita menjauhi dunia, orang modern menyarankan kita bukan menjauhi dunia sama sekali, melainkan menyarankan agar hidup kita tidak dikendalikan oleh materi (zuhud) atau tidak matre dalam bahasa gaulnya.
Salah satu ciri manusia yang tidak pantas bahagia adalah mereka yang selalu mengukur segala sesuatu dengan materi. Mereka yang selalu mendahulukan pertanyaan saya dapat berapa rupiah? saya dibayar berapa? atau apa keuntungan saya? biasanya akan hidup semakin jauh dari kata bahagia.
Dalam bahasa agama, kebahagiaan adalah milik mereka yang dihatinya tertanam nilai-nilai keikhlasan. Ironisnya, karena tekanan kebutuhan materi, semakin banyak orang, bahkan mereka yang bekerja di lembaga-lembaga keagamaan mulai menjauhkan diri dari semangat keikhlasan.
·         Memilahkan kebutuhan dari keinginan
Orang akan bahagian bilamana mampu memilahkan antara kebutuhan dan keinginan. Lebih sering kita dikendalikan keinginan melampaui kebutuhan kita sebenarnya.
Hampir-hampir kita tidak menjumpai orang yang tidak bisa makan di sekitar kita, tetapi kita juga hampir-hampir sulit menjumpai ada orang yang tidak mengeluh soal uang. Padahal penghasilannya mestinya sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari, tetapi daftar keinginannya yang panjang menjadikan penghasilannya tidak mencukupi.
Di sekitar kita dengan mudah dapat dijumpai orang lebih memilih menanggung beban kredit motor baru yang harganya selangit dari pada motor bekas yang sebenarnya masih layak pakai. Banyak orang yang lebih suka memakai HP, pakaian mahal, dan alat-alat elektronik yang mahal meski sebenarnya bisa digantikan dengan yang lebih murah.
Kalau melihat kecenderungan ini, sebenarnya tidak ada krisis yang menerpa kita. Kita sendirilah yang menciptakan krisis bagi diri kita sendiri. Ajaran agama untuk hidup sederhana (qona’ah) semakin dijauhi. Entah disadari atau tidak, ternyata kita lebih suka menciptakan beban bagi diri kita sendiri.
Untuk dapat kembali bahagia tentu saja kita perlu kembali pada nilai-nilai yang diajarkan agama. Qona’ah dan menghindari sikap-sikap gengsi (riya’) akan membuka jalan bagi kebahagiaan hari demi hari.
·         Menata iman
Ini bagian yang disinyalir paling banyak ditinggalkan, bahkan oleh mereka yang hidup atas nama agama. Bagi banyak orang, agama telah berubah peran, bukan lagi sebagai sarana menata hati, melainkan sebagai komoditas ekonomi. Akibatnya, banyak orang yang bekerja di lembaga-lembaga keagamaan sekalipun semakin jauh dari nilai-nilai suci yang diajarkan agamanya.
Sejak memasuki era modern, jauhnya nilai-nilai agama dari hati para penganutnya oleh para sosiolog dan antropolog dipandang sebagai awal krisis sosial dan kebudayaan. Manusia semakin terjauhkan dari