Selasa, 20 Maret 2012

SEPUPUKU YANG MANJA 1

Waktu tes SNMPTN tahun lalu, sepupuku dik Yus mengantar adik perempuannya, dik Inung, ke tempat kostku. Kebetulan hanya aku saudara terdekat yang ada di Jogja.
Karena belum yakin diterima atau tidak, gadis itu sengaja tak mencari kost dulu.
Lagi pula kamar kostku memang cukup luas dan fasilitasnya lumayan dibanding kamar kost kebanyakan. Selain ada kamar mandi di dalam, bagian bawah tempat tidurku dapat ditarik sehingga
menjdi double bed atas bawah.
Menjelang senja, dik yus langsung pulang karena harus segera balik ke kampusnya, sehingga selama tes masuk perguruan tinggi itu, aku berusaha perlakukan dik Inung sebaik mungkin. Meski sebelumnya tak pernah dekat karena perbedaan usia, aku perlakukan gadis mungil itu sebagai adikku sendiri. 
Selesai test, dia sempat kuajak jalan-jalan ke beberapa tempat menarik di kota gudeg ini. Keraton dan Malioboro menjadi tempat yang tak mungkin dilewatkan. Setelahnya, aku mengantarkan gadis itu pulang kampung, dan aku sendiri sekalian menjenguk orang tua. 
Beberapa waktu kemudian, rupanya dik Inung diterima di kampus pilihannya, tetapi karena terlambat datang ke Jogja, aku kesulitan mencarikan tempat kost yang cocok dengan seleranya, karena sudah penuh. Karena tak mau tinggal di tempat kos yang lain, akhirnya gadis itu harus tinggal sekamar denganku hingga kegiatan kemahasiswaan selesai.
Gadis itu begitu antusias mengikuti OSCAR, kegiatan pertama di kampusnya. Dia begitu bersemangat berangkat pagi-pagi dan pulang menjelang senja. Beberapa kali aku juga ikut-ikutan sibuk mencarikan berbagai kebutuhannya selama OSCAR. Setiap pulang ke kamar, gadis bertubuh mungil itu bagai tak kehabisan kata untuk menceritakan pengalaman dan kesan-kesannya selama kegiatan di kampus.
Karena rumah orang tuaku dan orang tuanya berjauhan dan jarang bertemu kecuali lebaran, aku tak banyak tahu kepribadian gadis itu. Aku hanya tahu dia beberapa kali sakit saat SMP dulu, dan selebihnya kamu hanya berbasa-basi saat lebaran tiba.
Sekalipun bertubuh kecil, rupanya dia gadis yang rajin. Dia selalu menyempatkan merapikan kamarku, tempat tidur, meja belajar sampai pakaianku. Praktis selama dia bersamaku, kamarku tampak begitu rapi. Kertas-kertas yang biasa berserakan, dan debu di sana-sisi seolah segan dengan kehadirannya. 
Aku baru menemukan tempat kos yang cocok untuknya beberapa hari setelah OSCAR selesai. Dia begitu gembira di tempat itu. Selain tempatnya cukup nyaman, dia merasa cocok dengan anak-anak yang tinggal seasrama dengannya. 
Jumat sore, baru tiga hari setelah dia tinggal di kamar kostnya sendiri, gadis itu datang ke kamarku. Sembari merapikan kamar, dia bilang ingin tidur di kamarku setiap malam sabtu dan minggu. Dia takut tingga di kamar, sebab setiap malam sabtu dan minggu semua mahasiswa yang tinggal di sana pulang. Rupanya kebanyakan mahasiswi yang kost di sana berasal dari kota-kota sekitar Jogja, sehingga suasana tempat kost itu begitu sepi.
Aku tak keberatan dia tinggal bersamaku. Malam Sabtu itu aku bahkan mengantarnya jalan-jalan ke Malioboro. Selain menikmati hiruk-pikuk kota, dik Inung memang butuh sepatu baru dan beberapa potong pakaian untuk kuliah.
Selama jalan di Malioboro, gadis itu terus memegangi jemariku. Semula aku merasa tidak enak hati, karena bagaimanapun aku merasa dia itu gadis yang baru kukenal. Seolah tak sengaja, aku melepaskan genggaman jemarinya, tetapi begitu kulepaskan, gadis itu tertinggal di belakang. Aku kembali meraih jemarinya yang lentik dan menggandengnya sambil berjalan, tetapi saat genggaman terlepas, lagi-lagi gadis itu seperti enggan berjalan.
Karena segan, aku coba terus berjalan menyusuri sesaknya trotoar Malioboro tanpa memegangi jemarinya. Aku terkejut saat menoleh, rupanya gadis itu tidak ada di sekitarku. Dengan sedikit panik, aku kembali menyusuri jalanan yang tadi kulalui. rupanya gadis itu masih berdiri mematung di tempat aku melepaskan genggaman jemarinya. Akhirnya, aku tak segan lagi menggenggam jemari gadis itu, meski rasa rikuh sedikit menghantuiku.
Kami kembali sampai di kamar setelah beberapa saat menghabiskan malam dengan makan di warung tenda. Seperti biasa, sesampai di kamar, aku segera bergegas ke kamar mandi dan ganti bersarung. Setelah selesai dik Inung juga ganti bersarung seperti kebiasaan kami di kampung. 
Setelah badan terasa tenang, seperti kebiasaanku selama ini, aku langsung duduk di depan laptop mengutak-atik beberapa tugas kuliah. Beberapa lama, mataku terpaku ke layar monitor. Aku mengira di Inung sudah tidur seperti hari-hari yang lalu.
Aku kaget saat menoleh ke arahnya. Rupanya dia hanya duduk di sudut tempat tidur, dan wajahnya begitu muram. "Kenapa, dik?" Tanyaku sembari mendekat, tetapi dia hanya membisu.
"Kenapa?" Beberapa kali aku bertanya keheranan, tetapi dia hanya diam, bahkan raut wajahnya kian murung. Aku merengkuh pundaknya saat kulihat matanya kian berkaca-kaca, seperti hendak menangis.
"Kakiku capek" Jawabnya dengan nada parau.
"Oh... Sini" Sahutku sembari perlahan membimbingnya bangkit, tetapi dia enggan bergerak. Akhirnya kurengkuh tubuhnya, kuangkat dan kurebahkan di atas tempat tidur. Dia menurut saja, saat kepalanya kutempatkan di atas bantal dan kuluruskan kakinya. 
Sikapnya seperti gadis kecil yang lagi ngambeg, tetapi saat aroma wangi tubuhnya begitu dekat di wajahku, sejujurnya batinku bergetar tak sewajarnya. Saat lenganku menyentuh dadanya yang empuk, aku mulai merasa dia bukan gadis kecil lagi, tetapi seorang remaja puteri yang memendarkan pesona wanita.
Meski begitu aku berusaha bersikap seperti sebelumnya, sebagai kakaknya, seolah tak merasakan apa-apa. "Aku pijitin kakimu, ya?" Aku menawarkan diri. Dengan wajah yang masih terlihat sendu, gadis itu mengangguk manja. 
Berbekal minyak kayu putih akupun mulai memijit telapak kakinya, dan dengan perasaan ragu aku mulai perlahan mengosok dan memijit betisnya. Hasrat kelelakianku berdesir lembut seketika saat menyingkap sarung yang menutupi betis putihnya. Sikapnya yang seolah biasanya saja menepis keraguanku menyentuhnya, memijit dan mengoleskan minya kayu putih secara merata.
Segurat hasrat nakalku menggodaku menyingkap kain penutup pahanya, tetapi naluriku sebagai kakaknya menahan niatku melakukannya. Berulang kali aku hanya menggosok betis hingga telapak kakinya, lalu pindah memijit kedua tangannya. "Mana lagi yang masih terasa capek?" Tanyaku setelah beberapa lama betis dan lengannya.
"Sini masih pegal" Jawabnya sembari menunjuk kedua pahanya. Seketika hasraku bergemuruh mendengarnya. Tanganku serasa bergetar saat jemariku memegang bagian tubuh wanita yang selama ini begitu menggoda. 
Karena segan, aku tak menyingkap kain sarung yang menutupinya. Gadis itu hanya pasrah saat aku memijit paha ramping berbalut kain batik itu. Itupun membuat kenakalan hasraku tak henti mencari kesempatan. "Diminyakin, nggak?" Tanyaku memancing. 
Tanpa kuduga gadis itu kembali mengangguk manja sembari berkata, "Enakan pake minyak" 
Dik Inung terlihat terhenyak saat ujung jemariku mulai menyentuh pahanya. Dia menggigit bibir bawahnya seakan merasakan sesuatu yang berbeda saat jemariku mulai merayap mendekati organ vitalnya. "Sakit?" Tanyaku memastikan. Dia hanya menggeleng dan sesaat kemudian seperti hendak tersenyum. 
Dadaku terasa memanas dan nafasku begitu sesak tertahan saat jemariku mulai menyusup ke pangkal pahanya. Sesekali aku senganya sentuhkan punggung jemariku dengan vaginanya yang ternyata tak bercelana dalam. Dalam hati aku kuatir gadis itu akan menyergah, tetapi beberapa kali kuulangi dia hanya diam saja.
Matanya hanya menatap nanar ke arahku dan sesekali terpejam sembari kian erat menggigit bibirnya. Jemariku terasa tergetar memanas saat telapak tangaku menyusup ke atas menjangkau perutnya bagian bawah. Dia terhenyak saat sarung itu tersingkap seluruhnya hingga vaginanya yang mungil dan ditumbuhi bulu-bulu lembut terlihat begitu nyata. "Mas..." Sergahnya malu, sembari menarik kembali sarungnya ke bawah menutupi kemaluannya.
Hasratku serasa tak terkendali. Aku tak ingin mengakhiri pijitan malam ini. Tanpa bertanya kuoleskan minyak ke sekujur perutnya. Dik Inung selalu menggeliat keki saat jemariku bergerak ke bawah hingga menyentuh batas bulu lebut vaginanya. Sepontan tangannya seperti menahan jemariku agar tak meraba bagian vitalnya, tetapi dia membiarkan saja saat jemariku bergerak ke atas mengarah pada dadanya.
Dia kembali menggeliat saat jemariku menyentuh payudara mungilnya. Jemarinya yang lembut seakan menghentikan rabaan lembutku, tetapi terus saja aku gerakkan tanganku hingga meremas payudaranya. "Mas.." Gadis itu memekik lembut sembari menggelinjang saat telapak tanganku mengusap putingnya yang terasa menegang. Tatap matanya tampak kosong tetapi seperti menahan tawa. Dia seakan tersenyum, seakan melarang, tapi membiarkan aku mengulangi dan mengulanginya lagi.
Aku baru hentikan rabaanku saat tangannya memegang tanganku erat-erat. Seolah tak merasakan apa-apa, aku rapikan bantalnya, bajunya dan sarung penutup bagian bawah tubuhnya. Gadis itu kelihatan bahagia saat aku memperlakukannya bagai gadis kecil kesayanganku.
"Masih terasa capeknya?" Tanyaku, dan dia hanya menggeleng saja. 
"Sekarang boneka kecilku bobok, ya?" Ucapku mengakhiri semua sembari mengecup keningnya. Gadis itu hanya tersenyum dengan raut wajah tampak bahagia.
Akupun bangkit ke kamar mandi. Aku mengguyur sekujur tubuhku dengan air di tengah malam itu. Puluhan kali guyuran air dingin malam itu serasa tak mampu melarutkan hasratku yang terlarang. Panasnya jiwa kelelakianaku yang mulai tergoda bahkan tak juga segera mendingin seperti semula.
Aku baru keluar kamar mandi saat badanku terasa dingin menggigil. Mungkin begitu lama aku mengusir semua nista, hingga saat keluar di Inung sudah lelap tertidur. Beberapa saat aku pandangi gadis itu. Meski tak begitu cantik, wajah dan tubuh gadis itu terlihat begitu menarik. Meski tubuhnya terlihat mungil seperti anak baru gede, tetapi gadis itu telah memancarkan pesona.
Beberapa saat kemudian rasa kantuk mulai menyapaku. Aku rebahkan tubuhku di kasur bawah mengenang semua yang telah aku lakukan padanya. Ada segulir rasa bersalah menggelayut di hatiku. Betapapun aku baru mengenalnya, betapapun akui tergoda, dia adalah adikku. Dia tak akan menjadi istriku, karena dalam tradisi kami pantang menikah dan mencintai saudara sepupu sendiri. Meski aku tak melihat dia menoaknya, tapi terbersit rasa kuatir sebenarnya dia tak suka dengan yang aku lakukan padanya, tetapi deraan rasa lelah dan kantuk malam itu membuat rasa-rasa itu hilang bersama mimpi malam.