Rabu, 22 September 2010

HAMBAR

Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00. Aku masih asyik ngenet di depan laptop. Tiba-tiba istriku keluar dari kamar anakku yang nomor dua. Dia berjalan ke ruang makan, membuka kulkas dan kulihat mengambil sebotol air minum. Setelah minum beberapa teguk air dan menutup kulkas kembali, dia berhenti sejenak di depanku.
“Nggak tidur, Pa” Sapanya.
“Belum ngantuk” jawabku singkat.
“Besok kan papa ngantor?”
“Iya…., Nggak bisa tidur mau ngapain?”
Sejenak dia hanya terdiam memperhatikan aku yang asyik mainkan keypad. Sambil merangkul pundakku, dia berbisik perlahan, “Papa nggak pengen (hubungan), to?” tanyanya.
“Sebenarnya, sih. Kita kan sudah lama pisah ranjang” jawabku ringan.
“Ih… ngomongnya” dia menyergah sambil menguncang tubuhku.
“Emang begitu, kan?” timpalku ringan, dan sejenak kemudian dia berlalu dan kembali masuk ke kamar anakku.
Memang sudah dua tahun kami tidak tidur satu kamar, tidak satu ranjang. Dia lebih suka tidur di kamar depan bersama anak nomor dua. Sedangkan aku tidur sendirian di kamar utama. Semula memang karena alasan menemani anak yang waktu itu sedang sakit, tapi setelah sembuh sekalipun dia tetap memilih tidur di sana.
Tidak ada komitmen apapun di antara kami untuk pisah ranjang. Kami bahkan masih melakukan hubungan suami-istri sesekali. Beberapa hari yang lalu kami bahkan pernah melakukannya, meski aku sendiri nggak sampai ”selesai”.
Bicara soal ini sudah tak kehitung lagi, tapi tetap saja, dia kelihatannya memang lebih nyaman tidur tidak denganku. Dia memang lebih suka menikmati tidurnya seperti seorang balita. Dia tidak suka terganggu saat tidur, disentuh, dipeluk, dibelai, diraba, apalagi sampai hubungan intim.
Rupanya dia tidak enak dengan omonganku tadi. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar kamar dan mendekat ke meja kerjaku. “Pa, ayo dong tidur” Ajaknya.
Aku diam saja, hingga dia mengulang ajakannya beberapa kali.
“Katanya kepingin, Ayo…” Ajaknya lagi.
“Aku juga lagi kepingin, nih” lanjutnya.
Setelah beberapa kali ajakan dan setengah memaksa, akhirnya akupun menurut. Aku ikut saja saat dia menggandeng tanganku masuk ke kamar utama. Di kamar itu, dia langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Akupun merebahkan tubuhku di sampingnya dan mencoba memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian dia memiringkan tubuhnya menghadapku. “Kamu nggak kepingin, ya?” tanyanya sembari melingkarkan tangannya ke punggungku. Pahanya yang tersingkap menindih pahaku.
“Tadinya begitu” jawabku malas.
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Malas aja”
“Kok begitu, sih?” tanyanya sembari meraba dada dan bagian sensitifku. Beberapa saat kemudian benda istimewaku itupun berdiri.
“Ayo” Ajaknya lagi, tapi aku diam saja.
Diapun memiringkan tubuku menghadap tubuhnya, dan menempelkan bagian sensitifku pada miliknya.
“Ayo…, tekan, dong” pintanya, tapi aku diam saja.
Entahlah, malas sekali aku melakukannya. Aku benar-benar tidak tertarik, meski milikku sudah di berada tepat di depan miliknya. Padahal selama ngenet tadi aku kepingin sekali melakukan ini. Aku bener-bener tergoda saat chatting dengan wanita yang mengaku tinggal di Jakarta tadi. Dia yang mengaku kesepian banyak cerita tentang hasratnya yang lagi tinggi, hingga kebiasaan seksualnya semasa masih bersuami.
Ya, kami memang beberapa kali chatting asyik di internet. Dengan bebas aku suka sekali cerita tentang seks yang kuinginkan dan diapun begitu. Seketika hasratku selalu bangkit menggebu-gebu setiap kali mulai chatting dengannya. Apalagi bila dia mengaku sedang horny, menjelang dan sesudah haid. Dia mengaku sebenarnya termasuk wanita bergairah tinggi. Aku percaya padanya, meski aku sama sekali tak mengenalnya. Meski hanya lewat tulisan terasa sekali besarnya gairah wanita itu.
“Ayo dong, sayang” pintanya lagi, tapi aku tak juga ingin bereaksi.
Diapun akhirnya menekan pinggulnya sendiri agar bagian itu menyatu, tapi tidak berhasil. Kurasakan bagian miliknya masih kering, hingga berkali-kali gagal masuk ke dalam. “Ih… Kering banget, ya” keluhnya.
“Sana ambil pelumas dulu” pintanya.
“Nggak usah ah. Malas” Jawabku melas.
Akhirnya diapun bangkit sendiri dan beranjak mengambil pelumas di kotak obat. Sesampai di tempat tidur, dia mengoles milikku dengan pelumas dari bagian pangkal hingga ujung. Diapun kembali merebahkan tubuhnya di sampingku dan menarik tubuhku hingga kami berhadap-hadapan. Dengan mudah milikku terbenam ke dalam lubang miliknya saat dia menekan pinggulnya. Sementara aku memegangi pantatnya yang terasa lembut di telapak tanganku.
Aneh. Sama sekali aku tidak merasakan apa-apa, meski dia terus-menerus menggerakkan pinggulnya hingga milikku keluar-masuk liang miliknya. Dia terus bergerak sesukanya, tapi aku sama sekali tak merasakan apa-apa.
Hambar. Vagina itu terasa hambar, tanpa rasa apapun. Tubuh itu dingin tanpa sedikitpun getaran. Tidak ada detak jantung yang berpacu. Tidak pula desah nafas yang memburu, tidak ada gairah yang menggebu. Bahkan cairan licin pertanda horny sekalipun tak keluar dari miliknya. Hambar. Hambar, tak berasa. “Nggak terasa to, sayang?” tanyanya sesaat setelah mengakhiri gerakan.
“Hmm…” Jawabku sembari mengangguk.
“Ayo dong, gerakkan. Kamu kok diam saja?”
“Nggak ah. Kamu sudah apa belum?” tanyaku
“Kenapa, sih? Tanyanya.
“Malas aja”
“Ya sudah. Kalau gitu masuk dari belakang aja, ya? Kamu kan sukanya begitu” Jawabnya sembari terus merayuku”
Diapun membalikkan tubuhnya membelakangiku. Pahanya menekuk ke depan.Akupun menempelkan milikku ke miliknya. “Bles…” Dengan mudah aku menekan masuk milikku ke miliknya. “Hmmm…” Diapun sedikit meleguh.
Lumayan. Sedikit lebih berasa. Aku memang suka masuk dari belakang. Aku suka sekali bila bagian depan tubuhku menyentuh pantatnya, tapi aku tetap saja malas menggerak-gerakkan pinggulku. Aku hanya terdiam menikmati sedikit rasa hangat dan lembut di beberapa bagian tubuhku, tapi tetap saja hambar, tak seberapa berasa. “Kenapa sih, sayang?” keluhnya tiba-tiba sembari menarik tangaku melingkari tubuhnya.
Aku diam saja, hingga dia kembali bertanya, “Kenapa sih?”
“Aku nggak ngerasakan apa-apa” jawabku. 
“Kok bisa, sih?”
“Nggak tahu. Aku cuma bosan aja bercinta dengan boneka”
“Ih… ngawur. Masa orang dibilang boneka. Aku kan sudah gerak-gerak?”
Aku diam saja. “Sayang. Kenapa? Dia kembali mendesakku sembari mengguncang-guncang tubuhku.
Akhirnya akupun mengeluh. “Kamu memang gerak-gerak, tapi kan nggak ada gairahnya apa-apa?”
“Gairah itu yang kaya apa?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafas. “Kamu memang mau, tapi sebenarnya kan nggak pingin”  jelasku.
“Terus aku harus bagaimana?”
“Nggak harus bagaimana-bagaimana. Udahan, nih” sergahku sembari melepaskan milikku dari liang miliknya.
Diapun bangkit terduduk. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Bisaku ya memang begitu” ungkapnya sembari memijit-mijit lenganku. “Kamu nggak puas, ya?” lanjutnya, tapi aku enggan menjawab.
Dia terus memijit-mijit tubuhku, dan akupun memilih berusaha terlelap tidur. Aku berusaha hadirkan teman chattingku itu memenuhi angan-anganku. Aku berharap bayangan wanita virtual itu akan kembali bangkitkan gairahku, memberi rasa jalinan asmara kami. Sebagai sebuah sajian, wanita di sisiku tetap saja hambar, tanpa rasa. Aku berusaha hayalkan kehangatannya wanita virtual itu hadir di tubuhnya, tapi aku tak bisa.