Sabtu, 18 Juni 2016

TERGODA TEMAN LAMA

Kisah ini bermula dari reuni kampus di kota Batu Malang sekitar dua tahun lalu yang begitu berkesan, terutama karena suasananya akrab dan seru. Salah satu di antara yang paling mengesankan adalah sikap Asnan yang terlihat penasaran padaku, padahal dia sama sekali tak ingat aku, bahkan tak tahu namaku.

Sejujurnya aku suka banget pada tipe lelaki seperti itu. Garis wajahnya ganteng mirip Arab atau India, bertubuh atletis dan macho. Aku pernah sangat berharap memiliki pasangan seperti dia. Asnan mirip banget dengan Sun'an, teman sekelasku juga waktu kuliah tingkat 1, yang kelihatannya suka padaku, tapi aku kecewa banget karena ternyata Sun'an ngeles saat aku pastikan keseriusannya.

Diam-diam aku tersanjung banget melihat perhatian Asnan yang suka menggodaku selama reuni. Apalagi teman-teman juga bilang Asnan bertanya-tanya tentang aku, dan minta nomor HP-ku. Tanpa menunggu lama, aku iseng-iseng menggodanya dengan SMS sepulang dari reuni. Aku suka geli melihat sikap Asnan yang kocak meski sedikit misterius.

Tanpa terasa kami jadi makin intens kontak via FB, SMS, dan kadang telepon. Tanpa kusadari pikiranku jadi terlalu terfokus pada lelaki itu selama berhari-hari. Aku jadi sering terdiam berlama-lama di ruang kantor, menunggu pesan di FB, SMS, BBM atau telepon lelaki itu. Sering kali rasa kesal menyelimuti perasaanku bila dia tak segera menjawab pesanku.

Tanpa kusadari ternyata aku terlalu sering termangu berhari-hari dan baru tersadar saat suami menyindirku lewat tulisannya di media sosial. Kuatir memicu konflik dengan suami, akupun segera mengklarifikasi semua pada suami sembari minta maaf  telah mengecewakannya. Meski demikian, terbersit rasa kesal pada suami yang menuliskan perilakuku di media sosial hingga dikomentari banyak teman FB-nya.

Aku berusaha mengurangi kontak dengan lelaki itu, meski dalam hati kadang berharap tetap dapat kontak dengan lelaki itu. Aku hanya berkomunikasi lewat grup BBM dan WA, dan sesekali chatting atau telepon sekedarnya.

Berbeda dari teman-teman lamaku yang lain, Asnan sama sekali tidak pernah cerita soal keluarganya. Lewat teman-temanku yang lain, aku mencari-cari informasi tentang lelaki itu, meski yang kudapat hanya sedikit sekali. Perlahan aku mengorek langsung dari Asnan sendiri, tetapi dia malah cerita banyak soal hubungannya dengan perempuan lain.

Sekelumit perasaan cemburu menyelinap di hatiku mendengar ceritanya tentang perempuan lain, tetapi segera kutepis dari perasaanku. Aku penasaran dengan pengakuannya soal hubungannya dengan beberapa wanita, dan dengan senang hati aku menempatkan diri sebagai penasehatnya, meski kadang tanggapannya sering menjengkelkan.

Teman-teman tahu aku sering japri, ngobrol pribadi dengan Asnan di luar grup. Aku senang dengan candaan teman-teman di grup yang sering menyebut Asnan sebagai pasienku, dan kadang menyebutnya sebagai adikku.

Bulan demi bulan berlalu, aku semakin intens kontak dengan lelaki itu. Tanpa sadar aku selalu merasa tidak lengkap bila sehari saja tidak ada berita darinya. Asnan seakan menjadi tumpuan batinku. Aku sering memanfaatkan kesempatan ngobrol dengannya hingga larut malam, terutama saat suamiku keluar kota.

Entah mengapa, meski dari ceritanya aku tahu dia suka main wanita, aku tersanjung saat dia memujiku. Hatiku benar-benar tergetar saat Asnan menyatakan perasaannya padaku. Dengan status yang aku sandang, tentu saja aku tidak mungkin mengiyakan, tapi entah mengapa aku tak bisa menolaknya. Aku berusaha menjawab datar, bahwa hubungan antara aku dan dia adalah hal yang tidak mungkin terjadi, padahal sejujurnya hatiku melayang oleh setiap kata-katanya.

Aku selalu berfikir, bahwa aku tak mungkin mengkhianati keluargaku demi lelaki semenarik apapun di mataku. Aku hanya memandang Asnan sebagai teman ngobrol di media sosial, berbagi tawa dan keceriaan, mengisi saat-saat luang, dan menghiburku dari kepenatan pekerjaan.

Aku senang ngobrol dengannya tentang apa saja, tentang keluarga, teman, perasaan, bahkan hal-hal berbau seks, yang selama ini pantang aku bicarakan. Aku senang menanggapi obrolannya yang kadang membuat aku GR, terbuai, kadang nakal dan membuatku risih, dan kadang juga menjengkelkan.

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat ketakutan saat anak lelakiku bertanya soal obrolanku dengan Asnan yang dia baca. Seketika aku mulai tersadar, betapa perasaanku pada laki-laki itu bukan lagi sekedar perasaan pertemanan biasa, dan aku ingin menghentikan semua itu sebelum suamiku tahu, tapi aku sama sekali tak mampu melawan godaan itu.

Meski aku tahu akibatnya bisa fatal bagi keluargaku, aku justeru kian tergoda oleh pesona lelaki itu. Aku sendiri berusaha menahan diri, menjaga kata-kataku di hadapan Asnan, tapi entah mengapa aku begitu menikmati obrolannya yang semakin vulgar dan menjurus pada hubungan batin yang lebih serius. Diam-diam aku bahkan sering membayangkan melakukan hal yang bukan-bukan dengannya.

Meski begitu, sebagai wanita aku sering menunjukkan sikap kurang setuju setiap kali dia bicara tentang hubungan batinku dengan dia. Aku berusaha berkomentar senetral mungkin saat dia mulai mengirimi foto-foto dirinya yang menggoda. Aku berusaha menolak berbagi foto vulgar, tapi sering tak kuasa menolaknya. Diam-diam aku jadi sering foto begitu, meski dadaku didera perasaan ragu yang teramat sangat saat mengirimkannya. Aku lebih sering hanya mengirimkan foto-foto yang tidak seperti yang dia inginkan, meski tak tega melihatnya kecewa.

Hari-hari menjelang reuni Faperta kujalani dengan konflik batin yang luar biasa.  Aku sadar telah sangat tergoda olehnya, aku sangat menginginkannya, dan mengimbangi keinginannya. Di sisi lain aku tahu ini perasaan yang salah dan tak seharusnya ada di hatiku. Ini kenyataan yang berbahaya bagi rumah tanggaku, tapi aku benar-benar tak mampu melawan hasrat batinku.

Hatiku benar-benar berdebar selama perjalanan menuju reuni Kampus akhir tahun lalu. Aku bahkan memilih duduk di jok belakang selama perjalanan agar dapat up date kabar dengan Asnan dan teman-teman tanpa segan pada suamiku. Sejujurnya tujuan utamaku kali ini bukan reuni, tapi bertemu Asnan. Aku bahkan berharap bisa bertemu dia di tempat lain dan mencurahkan segenap rasa penasaranku kepadanya.

Pertemuanku dengan Asnan pagi itu benar-benar mendebarkan. Aku benar-benar pasrah pada apapun yang mungkin terjadi antara aku dan dia. Hanya saja kehadiran teman-teman membuatku serasa mati kutu. Aku tidak mungkin pergi begitu saja dengan lelaki yang bukan suamiku. Apalagi di hadapan teman-teman dekatku yang serasa selalu mengawal setiap langkahku.

Aku tahu Asnan juga merasakan hal yang sama. Aku tahu dia mencari-cari kesempatan bicara berdua denganku. Hanya saja kehadiran teman-teman yang sepertinya tak tahu perasaan kami berdua membuyarkan semua rasa di dada.

Seharian bertemu Asnan dan teman-temanku terasa menyisakan perasaan mengganjal. Jujur, aku kurang puas dengan pertemuanku hari itu, dan rupanya Asnan juga merasa begitu. Dia menilai aku kurang respon, padahal keinginanku sebenarnya sama dengannya.

Perjalanan pulang dari Malang terasa begitu hampa dan penuh gundah. Sehari semalam aku tersiksa oleh perasaan gelisah. Sejujurnya aku masih penasaran sekali dengan Asnan. Aku masih sangat ingin bertemu dia di suatu tempat dan melakukan apa saja yang hanya kami berdua yang tahu.

Kesibukan di rumah yang begitu padat membuat batinku kian penat dan tersiksa. Kesibukan mempersiapkan perjalanan tahun baru ke Banyuwangi bersama keluargaku. Hatiku semakin kesal saat Asnan kurang respon padaku saat aku telepon. Hatiku benar-benar sakit dan marah saat dia memutuskan telepon begitu saja.

Aku benar-benar stress hari itu, hingga tanpa kusadari aku tumpahkan amarah itu pada orang anak dan suamiku. Seharian aku dirundung amarah yang menggebu. Aku marah pada semua hal, bahkan untuk hal-hal sepele. Saat aku melempar Ipad anakku, tiba-tiba suami memegang tanganku dan menarikku ke kamar.

Dia mengajakku bicara panjang-lebar, sementara aku hanya diam dan berusaha tidak mendengarnya. Aku sangat-sangat shock, malu dan tidak mampu berkata-kata saat suamiku memutar video aku memanggil-manggil Asnan dalam tidurku sambil bertingkah rasanya tidak mungkin aku lakukan dalam situasi sadar. Aku hampir-hampir tak percaya melakukan semua itu. Aku tak menyangka diriku serapuh itu dan hampir kehilangan kendali diri di hadapan sahabatku.

Akhirnya, aku tak bisa bicara apa-apa selain mengakui semuanya. Aku mengakui telah sangat terbuai lelaki itu. Selama ini hatiku dipenuhi dilema antara bertahan dan menuruti hasrat batinku, hingga tanpa terasa sudah hampir setahun tidak melayani suami dengan berbagai alasan. Ya, kehadiran Asnan di hatiku telah membuatku kehilangan gairah pada suamiku sendiri.

Aku beruntung suamiku begitu sabar menghadapiku. Dia lelaki yang paling paham siapa aku. Dia memberiku pilihan untuk bertahan atau bercerai agar aku bisa menikah dengan lelaki yang aku mau. Dengan perasaan mengambang tentu saja aku memilih keluargaku, karena bagaimanapun Asnan punya keluarga, dan aku tak yakin dia benar-benar serius denganku.

Pilihan yang diberikan suami memang terkesan datar, tapi aku tahu, untuk orang yang sesabar dia, kata-kata itu berarti menempatkan keluargaku di ujung tanduk. Dia pasti siap bercerai dariku. Bahkan rupanya dia tahu semua yang aku rasakan dan lakukan di belakangnya selama ini. Dia benar-benar tidak sanggup lagi mendampingi aku, dan sengaja membiarkan aku melakukan kesalahan paling fatal dengan lelaki lain, agar dia punya alasan pasti untuk menceraikan aku.

Hanya penyesalan dan permintaan maaf yang selalu meluncur dari mulutku. Suamiku tak melarang aku tetap berhubungan dengan lelaki itu. Suamiku bilang tidak bisa mengatur perasaanku. Dia bahkan lebih berharap bercerai dariku, dan pergi bersama anak-anakku.

Kejadian itu membuatku mulai menata hati. Aku harus membatasi aktivitasku di media sosial.  Aku sendiri merasa harus belajar menjaga diriku. Aku sadar, aku sangat-sangat rapuh di hadapan Asnan dan sangat mudah kehilangan kendali diri. Beberapa bulan ini, aku memulai babak baru dengan membatasi diri komunikasi dengan Asnan. Asnan sendiri terlihat membatasi diri sejak sikapku padanya berubah tiba-tiba, apalagi sejak aku bilang tak akan sering-sering kontak dia. Dengan terpaksa aku bohong pada dia dan teman-teman kuliah, bahwa aku tak pakai wa lagi. Aku memang tak aktif di WA dengan teman-teman kuliah, karena aku sadar betapa rapuhnya aku di hadapan Asnan.

Kini aku hanya aktif komunikasi dengan teman-teman SMA, tapi tak dapat aku pungkiri aku belum benar-benar bisa melepaskan batinku dari Asnan. Sesekali aku tergoda untuk menyapanya. Aku sadar seharusnya mengakhiri ini semua, tapi tak dapat aku pungkiri, ada berjuta cerita yang selama ini ingin kubagi bersamanya.