Aku tidak pernah menganggap penting urusan cinta. Bahkan semenjak menjelang
semester akhir aku paling risau dengan urusan masa depan, pekerjaan dan karier.
Hari-hariku dipenuhi dengan kursus, kuliah bahasa asing dan berbagai persiapan
untuk melanjutkan ke jenjang S2.
Tidak seperti kebanyakan teman kuliahku, aku tak mungkin pulang
kampung tanpa pekerjaan yang pasti dan pantas. Itu sebabnya pernikahan jauh
dari agenda hidupku, meski sesekali aku kadang berhubungan dengan wanita,
tetapi urusan dengan lawan jenis aku anggap sebagai hiburan sesaat saja.
Sebelum statusku mapan, aku tak mungkin berfikir serius soal wanita.
Bahkan saat masuk S3 dan bekerja lebih mapan, sebenarnya aku tetap
belum punya agenda untuk menikah, padahal usiaku sudah cukup matang, dan
termasuk terlambat menikah dibanding teman-temanku. Selain belum menemukan
seseorang yang benar-benar pas di hati, hari-hariku habis untuk urusan
pekerjaanku.
Aku baru tertuntut untuk segera menikah setelah adikku sudah lebih
dulu menemukan calon istri. Sejak kecil dia sangat dekat denganku. Dia tidak
mau menikah sebelum aku menikah lebih dulu. Tekadnya sungguh mejadi beban moral
buatku. Aku tidak sampai hati kalau harus menghambat masa depannya, dan itu
sebabnya aku mulai berfikir untuk segera menikah.
Pilihan terdekatku hanya seorang gadis, sebut saja Tuty, teman
lama yang kini menjadi istriku. Dia adalah my
love at the first sign. Aku sempat naksir cewek itu waktu masih kuliah
dulu, tetapi tak pernah terucapkan. Apalagi sudah 7 tahun lebih kami tak pernah
lagi bertemu, terhitung sejak dia kuliah di luar kota.
Beberapa waktu sebelumnya keluarga teman lamaku itu dua kali
datang ke rumah dan menanyakan apakah aku sudah menikah atau belum. Aku
terkejut sekaligus senang. Aku tak menduga perasaanku yang dulu kupendam
untuknya ternyata tak bertepuk sebelah tangan.
Aku sedikit kecewa saat menelpon dia, karena dia mengaku
sebenarnya sudah punya kekasih, tetapi tidak disetujui orang tuanya. Dia
menyebut namaku ketika orang tuanya meminta dia memilih lelaki lain yang bisa
dia terima sebagai suami, meski dia sama sekali tak tahu di mana dan bagaimana
aku saat itu.
Aku sendiri terlambat menghubunginya, sebab sejak beberapa bulan
sebelum aku telepon, dia telah memantapkan hati untuk kembali pada kekasihnya,
dan tak akan ke lain hati. Dia memutuskan untuk memegang teguh pilihannya, dan
tak akan menyerah pada orang tuanya. Meski begitu, aku merasa bahagia. Aku
senang menjadi lelaki yang masuk dalam kriterianya.
Banyaknya kesibukan membuat aku tak terlalu terbuai oleh rasa
kecewaku. Apalagi urusan cinta memang tak pernah menjadi prioritas dalam
hidupku. Sejak saat itu aku justeru makin dekat dengan banyak lawan jenis di
luar kesibukanku. Meski tak ada satupun wanita yang benar-benar sesuai dengan
seleraku, aku sangat menikmati kebersamaanku dengan mereka. Aku menghabiskan
banyak kesempatan untuk bersenang-senang dengan mereka, tetapi selalu
menghindari komitmen dengan setiap wanita yang dekat denganku, tanpa pernah mau
terikat.
Aku memang menyukau teman lamaku itu sejak pandangan pertama. Aku
berharap bertemu wanita seperti itu lagi di lain kesempatan. Aku tahu, tak ada
lagi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan pujaanku itu, tetapi sesekali
aku tetap sempatkan menelpon dia. Hatiku selalu merasa segar setiap kali
mendengar suaranya di telepon. Di hadapan wanita lain yang berusaha membuat
komitmen denganku, aku selalu bilang akan menikahi teman lamaku itu, meski
sebenarnya aku tak tahu tak ada lagi jalan buatku.
--**--
Berbeberapa tahun aku enggan pulang ke rumah, kecuali hari raya.
Aku malas mendengar desakan orang tua yang selalu menanyaiku soal pernikahan.
Aku enggan menanggapi berbagai tawaran calon istri yang diajukan padaku. Beban
moral terasa berat saat adikku menegaskan tidak akan menikah sebelum aku
menikah. Dia tahu aku pasti semakin terlambat menikah kalau dia lebih dulu
berkeluarga.
Aku sendiri belum menemukan calon yang sesuai, meski dekat dengan
beberap wanita. Setelah lama tidak kontak, aku mencoba menelpon wanita idamanku
itu, sekedar tahu keadaannya. Di telepon dia bilang kalau memilih mengakhiri
hubungan dengan kekasihnya.
Tanpa pikir panjang aku menawarkan diri. Aku tak ingin sia-siakan
kesempatan itu untuk kesekian kalinya. Dia memang tidak langsung
mengiyakan, tetapi dari tawanya aku tahu dia setuju. Seminggu kemudian akupun
memastikan hubunganku dengannya dan siap menikah dua bulan berikutnya.
Aku sama sekali tidak berfikir apakah calon istriku masih perawan
atau tidak. Padahal aku tahu sebelum menikah denganku dia sudah berpacaran
dengan seseorang selama 4 tahun. Kisah percintaan mereka bahkan penuh liku,
sebab mereka harus menghabiskan kebersamaan dengan berjuang mendapat restu
orang tua calon istriku.
Aku menepis keraguan yang sempat menyelinap di hatiku, terutama
karena kedekatan calon istriku dengan mantan kekasihnya. Aku tahu mereka tak
ingin berpisah, dan memutuskan untuk tidak pernah ada kata putus di antara
mereka.
Aku memulai pernikahan di usia yang sudah sangat matang, dan
menikahi wanita yang paling menarik hatiku selama ini. Aku mulai menata hati
untuk menerima apapun kelebihan dan kekurangannya. Aku hanya butuh komitmen
darinya sebagai menemaniku sepanjang sisa hidupku.
Hari pernikahan terasa sedikit aneh, karena istriku kelihatan
begitu tegang, bahkan hingga resepsi pernikahan usai. Aku mengira dia belum
terbiasa denganku. Apalagi sebelumnya dia mengakui belum bisa sepenuhnya
melupakan mantan kekasihnya. Dia bilang butuh waktu untuk benar-benar
bisa menerimaku, karena baru dua bulan saja dekat denganku. Meski
sedikit kecewa, aku terima kenyataan itu. Aku sudah menikah dan sekali
melangkah pantang untuk kembali.