Rabu, 15 Februari 2012

PERAWAN TULEN - 1

Aku tidak pernah menganggap penting urusan cinta. Bahkan semenjak menjelang semester akhir aku paling risau dengan urusan masa depan, pekerjaan dan karier. Hari-hariku dipenuhi dengan kursus, kuliah bahasa asing dan berbagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang S2.
Tidak seperti kebanyakan teman kuliahku, aku tak mungkin pulang kampung tanpa pekerjaan yang pasti dan pantas. Itu sebabnya pernikahan jauh dari agenda hidupku, meski sesekali aku kadang berhubungan dengan wanita, tetapi urusan dengan lawan jenis aku anggap sebagai hiburan sesaat saja. Sebelum statusku mapan, aku tak mungkin berfikir serius soal wanita.
Bahkan saat masuk S3 dan bekerja lebih mapan, sebenarnya aku tetap belum punya agenda untuk menikah, padahal usiaku sudah cukup matang, dan termasuk terlambat menikah dibanding teman-temanku. Selain belum menemukan seseorang yang benar-benar pas di hati, hari-hariku habis untuk urusan pekerjaanku. 
Aku baru tertuntut untuk segera menikah setelah adikku sudah lebih dulu menemukan calon istri. Sejak kecil dia sangat dekat denganku. Dia tidak mau menikah sebelum aku menikah lebih dulu. Tekadnya sungguh mejadi beban moral buatku. Aku tidak sampai hati kalau harus menghambat masa depannya, dan itu sebabnya aku mulai berfikir untuk segera menikah.
Pilihan terdekatku hanya seorang gadis, sebut saja Tuty, teman lama yang kini menjadi istriku. Dia adalah my love at the first sign. Aku sempat naksir cewek itu waktu masih kuliah dulu, tetapi tak pernah terucapkan. Apalagi sudah 7 tahun lebih kami tak pernah lagi bertemu, terhitung sejak dia kuliah di luar kota. 
Beberapa waktu sebelumnya keluarga teman lamaku itu dua kali datang ke rumah dan menanyakan apakah aku sudah menikah atau belum. Aku terkejut sekaligus senang. Aku tak menduga perasaanku yang dulu kupendam untuknya ternyata tak bertepuk sebelah tangan. 
Aku sedikit kecewa saat menelpon dia, karena dia mengaku sebenarnya sudah punya kekasih, tetapi tidak disetujui orang tuanya. Dia menyebut namaku ketika orang tuanya meminta dia memilih lelaki lain yang bisa dia terima sebagai suami, meski dia sama sekali tak tahu di mana dan bagaimana aku saat itu.
Aku sendiri terlambat menghubunginya, sebab sejak beberapa bulan sebelum aku telepon, dia telah memantapkan hati untuk kembali pada kekasihnya, dan tak akan ke lain hati. Dia memutuskan untuk memegang teguh pilihannya, dan tak akan menyerah pada orang tuanya. Meski begitu, aku merasa bahagia. Aku senang menjadi lelaki yang masuk dalam kriterianya.
Banyaknya kesibukan membuat aku tak terlalu terbuai oleh rasa kecewaku. Apalagi urusan cinta memang tak pernah menjadi prioritas dalam hidupku. Sejak saat itu aku justeru makin dekat dengan banyak lawan jenis di luar kesibukanku. Meski tak ada satupun wanita yang benar-benar sesuai dengan seleraku, aku sangat menikmati kebersamaanku dengan mereka. Aku menghabiskan banyak kesempatan untuk bersenang-senang dengan mereka, tetapi selalu menghindari komitmen dengan setiap wanita yang dekat denganku, tanpa pernah mau terikat. 
Aku memang menyukau teman lamaku itu sejak pandangan pertama. Aku berharap bertemu wanita seperti itu lagi di lain kesempatan. Aku tahu, tak ada lagi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan pujaanku itu, tetapi sesekali aku tetap sempatkan menelpon dia. Hatiku selalu merasa segar setiap kali mendengar suaranya di telepon. Di hadapan wanita lain yang berusaha membuat komitmen denganku, aku selalu bilang akan menikahi teman lamaku itu, meski sebenarnya aku tak tahu tak ada lagi jalan buatku.
--**--

Berbeberapa tahun aku enggan pulang ke rumah, kecuali hari raya. Aku malas mendengar desakan orang tua yang selalu menanyaiku soal pernikahan. Aku enggan menanggapi berbagai tawaran calon istri yang diajukan padaku. Beban moral terasa berat saat adikku menegaskan tidak akan menikah sebelum aku menikah. Dia tahu aku pasti semakin terlambat menikah kalau dia lebih dulu berkeluarga. 
Aku sendiri belum menemukan calon yang sesuai, meski dekat dengan beberap wanita. Setelah lama tidak kontak, aku mencoba menelpon wanita idamanku itu, sekedar tahu keadaannya. Di telepon dia bilang kalau memilih mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. 
Tanpa pikir panjang aku menawarkan diri. Aku tak ingin sia-siakan kesempatan itu untuk kesekian kalinya.  Dia memang tidak langsung mengiyakan, tetapi dari tawanya aku tahu dia setuju. Seminggu kemudian akupun memastikan hubunganku dengannya dan siap menikah dua bulan berikutnya.
Aku sama sekali tidak berfikir apakah calon istriku masih perawan atau tidak. Padahal aku tahu sebelum menikah denganku dia sudah berpacaran dengan seseorang selama 4 tahun. Kisah percintaan mereka bahkan penuh liku, sebab mereka harus menghabiskan kebersamaan dengan berjuang mendapat restu orang tua calon istriku.

Aku menepis keraguan yang sempat menyelinap di hatiku, terutama karena kedekatan calon istriku dengan mantan kekasihnya. Aku tahu mereka tak ingin berpisah, dan memutuskan untuk tidak pernah ada kata putus di antara mereka.
Aku memulai pernikahan di usia yang sudah sangat matang, dan menikahi wanita yang paling menarik hatiku selama ini. Aku mulai menata hati untuk menerima apapun kelebihan dan kekurangannya. Aku hanya butuh komitmen darinya sebagai menemaniku sepanjang sisa hidupku.
Hari pernikahan terasa sedikit aneh, karena istriku kelihatan begitu tegang, bahkan hingga resepsi pernikahan usai. Aku mengira dia belum terbiasa denganku. Apalagi sebelumnya dia mengakui belum bisa sepenuhnya melupakan mantan kekasihnya. Dia bilang butuh waktu untuk benar-benar  bisa menerimaku, karena baru dua bulan saja dekat denganku. Meski sedikit kecewa, aku terima kenyataan itu. Aku sudah menikah dan sekali melangkah pantang untuk kembali.