Aku begitu
terpukul setelah tahu suamiku menyadap telponku dengan Zaenal. Aku tak punya
pilihan lagi selain harus menjaga jarak dari mbak Umi dan teman-teman baikku
yang lain. Padahal mereka sebenarnya nggak ada hubungannya dengan Zaenal.
Mbak Umi memang punya peran besar dalam hubunganku dengan Zaenal,
tetapi persahabatanku dengan Mbak Umi sama sekali nggak ada kaitannya dengan
dia. Aku begitu marah ketika dia dikait-kaitkan dengan lelaki itu. Selama ini
aku kontak Zaenal memang karena mbak Umi, tetapi kan juga karena ada
teman-teman yang lain.
Tapi apa boleh buat, mas Irfan rupanya benar-benar nggak mau tahu.
Susah menjelaskan ke dia yang sudah memvonis aku seperti itu. Dengan terpaksa
aku putuskan untuk tak lagi berhubungan dengan mbak Umi dan semua teman lamaku.
Beberapa hari ini aku tidak nyaman lagi memakai handphone. Aku memilih telepon
dari rumah Emak, dan kuharap mas Irfan tidak tahu yang aku lakukan. Untung saja
mbak Umi bisa mengerti. Padahal orang itu terlalu baik di mataku. Aku tak kuasa
menahan tangisku saat harus mengakhiri persahabatanku dengan mereka, semata-mata
demi menjaga keutuhan keluargaku. "Sepurane yo, mbak. Sak jane aku gak
niat membuka masalah keluargaku kepada siapapun, tetapi apa boleh buat"
"Yo, Nyik. Aku ngerti. Yo mugo-mugo ae masalahe sampeyan
cepet mari. Dongo dinongo ae"
Aku sengaja nggak telpon Zaenal. Aku nggak mau nambah masalah
lagi. Meski aku nggak kasih tahu, aku berharap dia akan diberitahu mbak Umi dan
mengerti keadaanku sekarang ini.
Beberapa hari ini hidupku benar-benar tidak nyaman. Sikap mas
Irfan yang dingin membuatku serasa di ujung tanduk. Aku tahu dia tidak akan
mengakhiri pernikahan ini, karena dia begitu sayang pada anak-anak.
Aku hanya kuatir dia akan melakukan sesuatu pada Zaenal, sebab
diam-diam mas Irfan itu sangat tegaan. Dia sangat baik, tetapi kalau merasa
tersakiti, dia akan melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang dia
terima.
Dari pada kepikiran, akhirnya aku telepon saja Zaenal lewat
telepon rumah Emak. "Kon wis dikandani mbak Um, ta?"
"Yo, wis. Awakmu kok kathek telpon barang. Gak kuatir ta karo
bojomu?"
"Iki nggae telpon omahe emak"
"Aku bener-bener gak nyongko. Rasane koyo wong mlaku
enak-enak terud ditabrak motor"
"Ga usah ngomong ngonolah"
"Iyo. Maksudku, prasaku gak nglakoni sing aneh-aneh,
ngerti-ngerti dituduh sing enggak-enggak"
"Ncen kudune terus terang ae karo bojo. Lek aku telpon utowo
SMS teko nggonmu tak duduhno bojoku. amrih podo padange"
"Mas Irfan iku gak podo karo umume uwong. Dekne iku yakin
banget karo pendapati dewe. Wis, pokoke angelah ngomong karo dekne itu"
"Padahal prosoku yo ra ngomong sing aneh-aneh, to?"
"Iyo tapi kanggone dekne iku wis dianggep kesalahan fatal
kae. Tapi yo embuh wis. Ngeneki ra kenek diomong, kok. Makane sepurane yo"
:"Ora popo. Ncen ngomong karo wing pinter iku angel kok. Sing
penting keluargamu iso rukun maneh. Podo dongo dinongolah"
"Aku cuma kuatir mas Irfan engko terus ngapak-ngapakno
awakmu. Soale koyo Fahmi kae yo ngono"
"Alah. Ra masalah"
"Dekne iku iso banget ngono iku"
"Wis ta tenang ae"
"Yo wis. Sepurane yo?"
"Wis podo-podo. Dongo dinongo ae"
"Hem... eh. Yo wis ngono ae yo?"
"Iyo. salam kanggo Umikmu"
"Iyo. Yo wis assalamu alaikum"
"Wa alaikum salam"
Aku nggak menyangka harus mengakhir hubunganku dengan dua orang
yang paling baik di mataku. Demi keutuhan keluargaku, aku benar-benar harus mulai hidup tanpanya, mungkin seumur hidupku. Hanya lewat gagang telepon ini aku memberinya kecupan terindahku.
"Selamat berpisah kekasihku. Cintaku bersamamu selalu"