Aku
hanya memikirkan satu hal di malam pernikahanku. Aku akan menikmati indahnya
kemesraan dan hubungan suami-istri dengan teman hidupku. Saat-saat berdua
dengan pasangan hidupku menjadi saat yang paling kunantikan, apalagi sejak resepsi
usai. Aku berusaha tenang meski hingga maghrib dia terlihat begitu sibuk untuk
berbagai urusan di belakang.
Dia
kelihatan rikuh berduaan denganku hingga lebih sering keluar kamar dengan
berbagai alasan. Aku mulai mendekatinya saat dia duduk di meja rias sambil
membersihkan wajah. Perlahan aku daratkan ciuman di pipi kirinya, tetapi dia
tidak berekspresi apapun saat aku menciumnya pertama kali.
Kami
tak banyak bicara hingga usai berjama'ah shalat maghrib. Meski raut wajahnya
tampak tegang, dia menyambut hangat setiap kecupanku. Tanpa banyak kata
tiba-tiba kami sudah tenggelam dalam ciuman dan lumatan yang dalam. Sepertinya
dia sudah terbiasa melakukannya, hingga semua terasa mudah, semua terjadi
begitu saja. Kami baru berhenti setelah mertuaku mengingatkan kami untuk makan
malam.
Usai jama'ah Isya' dia langsung merebahkan tubuhnya di atas
peraduan. Balutan baju tidurnya yang lembut membuat lekuk tubuh rampingnya
terlihat begitu seksi dan menawan, serasa mengundangku untuk segera
menyusulnya.
Akupun segera merebahkan tubuhku di samping kirinya, lalu
memiringkan badan menghadap tubuhnya. Kutindihkan paha kananku di atas paha
kanannya hingga kelaminku yang sejak maghrib tak henti menegang menempel hangat
di sisi pinggangnya.
Dia hanya tersenyum tanpa sepatah kata saat tanganku mulai melepas
kancing baju tidurnya. Urat lehernya yang bening terlihat berdenyut keras
seiring detak jantungnya, menyiratkan ketegangan yang masih tergurat jelas di
wajahnya.
"Mas...." Leguhnya saat jemariku menyusup di balik
penutup dadanya, lalu sepontan memiringkan tubuhnya menghadapku. Dia memelukku
erat-erat dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan ciuman yang
teramat dalam.
Dia hanya tersipu saat perlahan jemariku melepas seluruh kancing
baju tidurnya. "Mas..." Sambil tersipu dia menyergah lembut saat aku
melepas pengancing BH di belakang punggungnya. "Hmmm, kok dilepas
sih?" Sergahnya lemah dengan wajah tersipu.
Aku tak menjawab dan membiarkan wanita itu kembali tengadahkan
tubuhnya di hadapanku. Wajah cantiknya tak henti terburai senyum keki, dan
kembali tersipu saat aku sibakkan penutup tubuhnya satu persatu. Sejenak aku
pandangi keindahan tubuhnya yang putih yang terhampar indah di hadapanku,
sementara dia tak henti memandangiku dengan senyuman keki.
Detak jantungnya terdengar kian cepat saat jemariku mulai merayap
di atasnya. Dia menggelinjang lembut lalu menggenggam erat jemariku yang
menyentuh putingnya. "Mas..."
"Kenapa" Sahutku lirih.
"Geli" Jawabnya lirih sembari terus menahan senyum, dan
sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan yang penuh mesra.
Setelah beberapa saat terbuai kemesraan, aku tak kuasan menahan
jemariku yang berjalan menyusup celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya
lembut seraya menahan jemariku.
"Kok langsung ke sini, sih?" Sergahnya lagi penuh tanya.
"Ini kan malam pertama kita?" Sahutku menahan nafas yang
kian menggebu.
Dia memegang erat jemariku yang kembali memaksakan jemari menyusup
lebih dalam di balik penutup tubuhnya bagian bawah itu.
"Mas..." Sergahnya lagi.
"Kenapa" sahutku lembut.
"Aku pengennya malam ini kita ngobrol dulu" Pintanya
lembut.
"Oke" sahutku sembari menarik jemariku dari sela celana
dalamnya.
"Kamu belum siap ya?" Tanyaku sembari tak henti
mengusapkan telapak tanganku di atas tubuhnya. Beberapa saat dia tak menyahut
dan membiarkan jemariku memilin putingnya yang mengeras.
"Itu bekas operasi" Tiba-tiba dia celetuknya saat aku
menyentuh bekas luka di payudara kirinya.
"Hmmm... memang kenapa"
"Waktu semester akhir dulu ada tumor kecil, lalu
dioperasi" Diapun bercerita panjang tentang pengalamannya dioperasi, dan
kamipun terlibat pembicaraan tentang banyak hal, tentang masa kecil, saat
bertemu aku, hingga masalahnya dengan mantan pacar.
Beberapa saat dia menangis dalam pelukanku setelah bercerita soal
mantan kekasihnya yang ternyata pernah mendekati gadis lain. "Oke.
Sekarang kamu bersamaku. Aku berharap bisa membahagiakanmu" Ucapku
menenangkannya.
Malam ini benar-benar milik kami, yang praktis tak lepas dari
pelukan, kecupan dan belaian. Berbagi cerita tentang semua hal membuat kami
merasa semakin dekat.
Sejujurnya aku kecewa dia masih begitu terobsesi mantan
kekasihnya. Itu sebabnya saat suasana kembali tenang, akupun berujar, "Aku
pikir kamu memang sudah siap menikah denganku, tapi sepertinya kamu masih
terlalu terobsesi mantanmu"
"Mestinya mas ngerti. Aku sama dia sudah empat tahun. Bahkan
kami sepakat tak akan ada kata putus, dan praktis baru dua bulan aku mengenal
Mas" Sergahnya.
"Oke. Aku ngerti, sayang" Timpalku menenangkan.
"Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin mas nggak menikah
denganku, kan?" Sergahnya lagi.
"Oke. Aku ngerti. Maafkan aku, sayang" Timpalku lemah.
Tanpa terasa segulir air mata mengalir di pipiku, tanpa mampu kutahan. Aku
kecewa dengan sikapnya. "Mas.... Mas..." Rajuknya seraya memelukku.
Akup tak mampu membendung rasa kecewaki, hingga isak tangis menyesaki dadaku.
"Maafkan aku... Kamu marah, ya?" Tanyanya beberapa kali,
tapi aku tak mampu menjawabnya. Dia tak henti membelai dan memelukku
erat-erat. "Mas... kamu marah, ya?" Beberapa kali dia kembai bertanya,
saat tangisanku mereda.
"Enggak"
"Lalu kenapa?" Tanyanya sedih.
"Aku hanya... aku merasa kecewa. Aku pikir kamu memang siap
menikah denganku. Sebenarnya aku tak peduli kamu siapa dan hubunganmu dengan
dia dulu seperti apa, tapi rupanya kamu belum benar-benar lepas dari masa
lalumu" Jelasku dengan nada sedih.
"Aku memang siap menikah dengamu" sahutnya sendu sembari
kembali memelukku.
"Aku bahkan bahagia sekali bisa menikah denganmu. Aku nggak
mau kehilangan kamu" Sambungnya dengan nada menyesal.
"Kalau kamu masih ingin bersamanya, aku bisa bantu"
Sahutku sembari bangkit terduduk.
"Enggak... enggak. Nggak mau. Aku sudah bilang nggak akan
menikah dengannya" Sergahnya sembari menangis dan memelukku erat-erat. Aku
hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Aku sangat sedih dan kecewa padanya,
tapi tak tahu apa yang harus aku katakan.
"Mas..., maafkan aku. Jangan tinggalkan aku" Rajuknya di
punggungku sembari terus menangis mengiba. Aku jadi kasihan melihatnya begitu
sedih dan tak henti mengiba.
"Kurasa keputusannya tergantung kamu, sayang. Kalau kamu
memilih melanjutkan pernikahan ini, aku akan selalu menemanimu. Tapi selagi
kamu masih mencintainya, lebih baik kamu bersamanya"
"Enggak, enggak... Aku mau sama kamu" Sergahnya sembari
terus menangis.
"Aku nggak mau kamu bersamaku, tetapi hatimu masih bersama
orang lain" Sambungku.
"Enggak. Kamu salah paham, mas. Aku sama sekali tak terpikir
untuk kembali ke dia" Sergahnya sembari menariku tubuhku hingga
tertelungkup di atas tubuhnya.