Jumat, 17 Februari 2012

PERAWAN TULEN - 4


Beberapa saat kami kembali saling berpelukan. Dia berusaha meyakinkanku betapa dia bahagia dan merasa beruntung menikahiku. Dia tak henti memastikan tak akan pernah berharap pada mantan kekasihnya. Dia bahkan bersumpah tak akan menikah lagi bila berpisah dariku.
Sejujurnya hati kecilku masih tersimpan rasa kecewa, tetapi melihat kesungguhan istriku aku bertekad melanjutkan pernikahan ini. Dia sudah begitu lama menderita karena masa lalunya. Sungguh tak sepantasnya aku masih menambah deritanya.
Kami kembali saling memeluk, meraba dan beradu ciuman. Rasanya memang tak lagi semenggebu saat pertama kami memulai kemesraan ini, tetapi aku tetap saja tergoda melihat tubuh indahnya hanya bercelana dalam. Dia tersipu saat aku menyusupkan jemariku dibalik celana dalam tipisnya.
Dia seperti menahan nafas dalam-dalam saat ujung jemariku menyentuh bulu kemaluannya yang tebal. Jariku mengusik ke sana ke mari. Beberapa bagian terasa basah oleh cairan licin tetapi rasanya tak menemukan liang vagina yang aku inginkan. Saat kucoba mengusik bulu tebal itu, tiba-tiba dia menyergah seraya menarik tanganku dari sela celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya sembari memelukku.
"Kenapa?"
"Terus terang aku takut membayangkan malam ini"
"Kenapa?"
"Aku malu. Itu sebabnya aku beli selimut tebal supaya nggak kelihatan. Eh, malah dibuka-buka" Sergahnya keki.
"Kemarin aku bilang mbak Umi. Aduh. Gimana ya mbak nanti?"
"Terus?" Sahutku.
"Dia bilang, biasa sajalah. Semua orang juga begitu"
"Kurasa memang begitu"
"Memang apa yang kamu pikirkan sebelum nikah?" Tanyanya.
"Ya kaya gini"
"Kalau aku..., terus terang aku takut sekali"
"Apalagi saat ini tadi nempel di pahaku" Sambungnya seraya menunjuk kemaluanku.
"Kok besar sekali? Apa cukup?" Sambungnya tersipu.
"Masa, sih?"
"Hmmm..."
"Aku malah kuatir kurang besar"
"Idih...?"
"Iya. Terus terang sejak kecil aku suka minder, karena banyak yang bilang punyaku kecil. Katanya istriku nggak bisa puas"
"Masa sih?"
"Hmmm..."
"Itu sebabnya aku selalu berharap punya istri yang bertubuh ramping. Harapannya, punyaku nggak terlalu kecil"
"Masa?" Sahutnya keheranan.
"Padahal aku tadi kaget banget. Sumpah, aku mikir, aduh kok besar sekali?"
"Iya?"
"Makanya aku takut banget. Pasti sakit sekali"
"Hemmm.... Emang lubangnya seberapa, sih?" Godaku sembari memegang permukaan celana dalamnya.
"Ih..." Sergahnya geli.
"Gimana kalau dicoba saja?" tanyaku seraya mencoba bangkit dari pelukannya.
"Idih... Ntar dulu!" Sergahnya sambil menahan tubuhku.
"Kenapa?"
"Aku takut"
"Kan ada aku"
"Hih..." Sergahnya gemas sembari mencubit lenganku.
"Aku tahu setelah menikah akan melakukannya. Tapi aku membayangkan mungkin akan melakukannya sebulan atau dua bulan lagi"
"Aduh..." sahutku.
"Kenapa?"
"Mana tahan?"
"Nggak tahan apanya?"
"Segitu Lamanya"
"Memang kenapa"
"Kok kenapa, sih?" tanyanya.
"Memang kamu nggak ingin melakukannya?"
"Aku nggak pernah bayangkan soal begitu-begitu. Aku risih banget kalau ada orang yang bahas soal gituan" jelasnya.
"Memang selama pacaran nggak pernah..."
"Idih... Masa pacaran sampai ke situ-situ?"
"Ya, namanya sudah berhubungan begitu lama. Siapa tahu..."
"Ih... ngawur"
"Aku nggak bisalah" Sambungnya.
"Hemm... " Sahutku keheranan.
"Memang kamu pikir aku pacarannya kaya apa?"
"Ya, nggak bisa membayangkan, sih. Aku sendiri nggak pernah punya hubungan serius" Jelasku. Tiba-tiba dia mencubit lenganku keras-keras. "Aduh.. Kenapa, sih?" Rintihku menahan sakit.
"Jangan-jangan kamu bayangin aku sudah...." Hardiknya serius.
"Enggak, enggak" Sergahku mengiba.
"Alah..."
"Aduh, sakit"
"Aku nggak ada acara gitu-gituan" Jelasnya tegas sembari bersungut. Segulir perasaan lega menyelinap  ke dalam hatiku. Rupanya dia masih perawan. Ya, sepertinya memang masih perawan.
"Soalnya aku lihat kamu begitu sedih, seperti tak mungkin lepas darinya" Sahutku membela diri.
"Demi Allah, aku nggak pernah terpikir sedkitpun soal begituan" Tegasnya serius.
"Iya..., iya, deh... Tapi tadi belum dicoba pas apa enggak" Kilahku mengalihkan pembicaraan.
"Idih..." Sergahnya gemas. Dia kembali menahanku yang mencoba kembali bangkit, tetapi sejenak kemudian dilepaskan.
Dengan dada berdebar aku mencoba melepas celana dalamnya. Dia sempat mengelak dengan memiringkan tubuhnya, lalu dengan wajah tersipu dia kembali tengadah. dengan wajah tersipu dia mengangkat pinggulnya, membantu aku melepas celana dalamnya.
"Ih... kamu itu" Sergahnya keki sambil mengulum senyum.
"Bulunya lebat sekali, ya"
"Nggak tahu. Aku nggak pernah mencukur"
"Sejak dulu?"
"Iya. Aku malu menyentuhnya"
"Kan sunnahnya dicukur tiap jum'at?"
"Iya, tapi aku nggak tahu caranya. Lagi pula malu" Sahutnya sembari tak henti tersenyum geli saat aku menyentuh bulu kemaluannya yang lebat dan ikalnya.
"Sekarang baca bismillah" pintaku saat aku berusaha membuka pahanya, tetapi pahanya begitu kaku seakan enggan membukanya lebih lebar.
"Buka sedikit lagi pahanya" Pintaku yang kesulitan mendekatkan kemaluanku ke vaginanya. Saat kelaminku menempel di permukaan vaginanya, berulang kali kami membaca basmallah.
Beberapa kali kucoba menekan pinggulku, tetapi kelaminku tak bisa masuk ke liang vaginanya. "Aduh, sakit mas" Leguhnya saat aku sedikit memaksakan.
Beberapa kali aku menyibakkan bulu lebat dan bibir vaginanya, tetapi tetap saja tidak berhasil masuk. Liang itu begitu cekat dan sempit sekali. Dia selalu kesakitan setiap kali aku mencoba paksakan. Kami tak berhasil melakukan hubungan hingga subuh menjelang.
Akhirnya akupun menindihnya, dan membiarkan kelaminku terhimpit di sela pahanya. Beberapa saat setelah aku gesek-gesekkan, tiba-tiba cairan spermaku tumpah membasahi permukaan liang vaginanya