Jumat, 28 Januari 2011

KENANGAN ML DENGAN TUTIK 1

Antara tahun 96-99 merupakan masa-masa terindahku bersama Tutik, cewek langsing, berkulit putih nan polos teman KKN-ku. Aku sudah tertarik padanya sejak semester II waktu sama-sama ikut kegiatan paduan suara di kampus, tapi baru beruntung saat bisa dekat dengannya saat KKN.
Sebenarnya dia kakak kelasku, dan usianya 1,9 tahun lebih tua dariku, tetapi karena tubuh dan wajahnya yang imut, tak terlalu terlihat kalau aku lebih muda darinya. Saat KKN itupun sebenarnya aku sudah punya cewek anak Lampung, tapi karena ada Tutik perlahan aku cewekku pelan-pelan.
Sambil berusaha dekati Tutik, aku mengaku kalau ditinggal cewekku menikah, dan syukurlah Tutik dan teman-temannya percaya. Dengan pendekatan perlahan, akhirnya cintaku tak bertepuk sebelah tangan. Meski tanpa jawaban yang jelas, tanpa komitmen yang pasti, Tutik ternyata juga suka padaku. Padahal dia sebenarnya sudah dijodohkan dengan Samsul, seniorku di kampus. Tak berapa lama setelah kami jadian meski diam-diam, dia kuperkenalkan pada ortuku. Tak berapa lama kemudian aku juga diperkenalkan dengan orang tuanya.
Aku sempat shock, saat beberapa saat kemudian kabar menyedihkan menghancurkan impianku. Ortu Tutik tidak setuju karena aku anak pertama dan dia anak ketiga. Kami sangat sedih mengetahui sikap orang tuanya, tetapi seketika kami berjanji tak akan menyerah.
Penolakan ortu Tutik justeru kian mendekatkan kami hingga semakin intim. Kami sepakat melakukan apa saja untuk mewujudkan mimpi kami. Tekad itu pulalah yang membuatku berkesempatan menikmati ciuman gadis lugu untuk pertama kalinya.
Sebenarnya aku tahu Tutik tak suka melakukan itu. Kepribadiannya yang agamis membuat dia jauh dari hal-hal seperti itu, tapi karena beratnya masalah yang kami hadapi, dia tak tega melihatku menderita.
Hari berganti minggu. Minggu berganti bulan, dan bulan berganti tahun, tapi semua usaha kami sia-sia. Hubungan kami terasa kian intim, tapi jurang di antara kami kian dalam untuk dilalui. Orang tua Tutik benar-benar kukuh dengan pendiriannya meski kakak, saudara, dan banyak orang mencoba bicara.
Kami sempat berniat kawin lari, tapi Tutik kelihatan masih ragu. Saat melihatku sangat tertekan, Tutik selalu menghiburkan dengan belaian, kecupan, dan pelukan yang penuh kasih sayang. Meski semula dia selalu menolak saat aku singkap bajunya, akhirnya diapun tak menolak saat jemariku kian sering menyusup di balik bajunya.
Suatu siang di rumah Kacong teman karibku, seperti biasa kami bercengkerama sambil membahas masalah yang kami hadapi berdua. Tak ada solusi yang kami dapatkan selain kemesraan yang sedikit menghibur kehampaan harapan.
Tiba-tiba saja hujan turun sangat deras, sementara di rumah itu hanya ada kami berdua. Tanpa terasa aku sudah melepas hampir seluruh busana Tutik dari tubuhnya. Bahkan kancing BH sudah aku lepaskan, tanpa sedikitpun perlawanan, lalu kami bergumul dalam buai kemesraan.
Tutik selalu menyergah saat celana dalamnya beberapa kali kucoba lepaskan. Aku sendiri ragu untuk melakukan. Meski panasnya hasrat serasa tak mampu kami tahan, aku tetap tak berani memaksa melepaskannya.
Aku hanya menindih wanita bertubuh langsing dan berkulit putih mulis itu sambil tak henti mencumbuinya. Aku hanya berani jepitkan kemaluanku di sela pahanya yang ramping selama kami larut dalam cumbu rayu. Beberapa saat kemudian kutekan-tekankan kemaluanku di atas celana dalamnya hingga hasratku benar-benar memuncak tak tertahankan. Spermaku menyembur deras tumpah ruah membasahi celana dalam putihnya yang tipis.
Ada perasaan takut dia akan hamil karenanya begitu banyaknya sperma yang membanjiri are kemaluannya, tapi aku sudah siap andai kata itu terjadi. Ada perasaan lega saat beberapa hari kemudian Tutik bilang menstruasi, sebab artinya kekhawatiran kami itu tak terjadi.