Rabu, 05 Januari 2011

AKHIR PERSAHABATANKU DENGAN MBAK UMI DAN ZAENAL

Aku begitu terpukul setelah tahu suamiku menyadap telponku dengan Zaenal. Aku tak punya pilihan lagi selain harus menjaga jarak dari mbak Umi dan teman-teman baikku yang lain. Padahal mereka sebenarnya nggak ada hubungannya dengan Zaenal.
Mbak Umi memang punya peran besar dalam hubunganku dengan Zaenal, tetapi persahabatanku dengan Mbak Umi sama sekali nggak ada kaitannya dengan dia. Aku begitu marah ketika dia dikait-kaitkan dengan lelaki itu. Selama ini aku kontak Zaenal memang karena mbak Umi, tetapi kan juga karena ada teman-teman yang lain.
Tapi apa boleh buat, mas Irfan rupanya benar-benar nggak mau tahu. Susah menjelaskan ke dia yang sudah memvonis aku seperti itu. Dengan terpaksa aku putuskan untuk tak lagi berhubungan dengan mbak Umi dan semua teman lamaku.
Beberapa hari ini aku tidak nyaman lagi memakai handphone. Aku memilih telepon dari rumah Emak, dan kuharap mas Irfan tidak tahu yang aku lakukan. Untung saja mbak Umi bisa mengerti. Padahal orang itu terlalu baik di mataku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat harus mengakhiri persahabatanku dengan mereka, semata-mata demi menjaga keutuhan keluargaku. "Sepurane yo, mbak. Sak jane aku gak niat membuka masalah keluargaku kepada siapapun, tetapi apa boleh buat"
"Yo, Nyik. Aku ngerti. Yo mugo-mugo ae masalahe sampeyan cepet mari. Dongo dinongo ae"
Aku sengaja nggak telpon Zaenal. Aku nggak mau nambah masalah lagi. Meski aku nggak kasih tahu, aku berharap dia akan diberitahu mbak Umi dan mengerti keadaanku sekarang ini.
Beberapa hari ini hidupku benar-benar tidak nyaman. Sikap mas Irfan yang dingin membuatku serasa di ujung tanduk. Aku tahu dia tidak akan mengakhiri pernikahan ini, karena dia begitu sayang pada anak-anak.
Aku hanya kuatir dia akan melakukan sesuatu pada Zaenal, sebab diam-diam mas Irfan itu sangat tegaan. Dia sangat baik, tetapi kalau merasa tersakiti, dia akan melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang dia terima.
Dari pada kepikiran, akhirnya aku telepon saja Zaenal lewat telepon rumah Emak. "Kon wis dikandani mbak Um, ta?"
"Yo, wis. Awakmu kok kathek telpon barang. Gak kuatir ta karo bojomu?"
"Iki nggae telpon omahe emak"
 "Aku bener-bener gak nyongko. Rasane koyo wong mlaku enak-enak terud ditabrak motor"
"Ga usah ngomong ngonolah"
"Iyo. Maksudku, prasaku gak nglakoni sing aneh-aneh, ngerti-ngerti dituduh sing enggak-enggak"
"Ncen kudune terus terang ae karo bojo. Lek aku telpon utowo SMS teko nggonmu tak duduhno bojoku. amrih podo padange"
"Mas Irfan iku gak podo karo umume uwong. Dekne iku yakin banget karo pendapati dewe. Wis, pokoke angelah ngomong karo dekne itu"
"Padahal prosoku yo ra ngomong sing aneh-aneh, to?"
"Iyo tapi kanggone dekne iku wis dianggep kesalahan fatal kae. Tapi yo embuh wis. Ngeneki ra kenek diomong, kok. Makane sepurane yo"
:"Ora popo. Ncen ngomong karo wing pinter iku angel kok. Sing penting keluargamu iso rukun maneh. Podo dongo dinongolah"
"Aku cuma kuatir mas Irfan engko terus ngapak-ngapakno awakmu. Soale koyo Fahmi kae yo ngono"
"Alah. Ra masalah"
"Dekne iku iso banget ngono iku"
"Wis ta tenang ae"
"Yo wis. Sepurane yo?"
"Wis podo-podo. Dongo dinongo ae"
"Hem... eh. Yo wis ngono ae yo?"
"Iyo. salam kanggo Umikmu"
"Iyo. Yo wis assalamu alaikum"
"Wa alaikum salam"
Aku nggak menyangka harus mengakhir hubunganku dengan dua orang yang paling baik di mataku. Sebenarnya tidak masalah, apalagi demi keutuhan keluargaku, tetapi aku benar-benar nggak punya pilihan.