Selasa, 13 Oktober 2015

ENGGAN BERCINTA SEJAK ISTERI SELINGKUH DENGAN PRIA LAIN

Beberapa bulan terakhir aku enggan berhubungan intim dengan isteriku. Aku bahkan sering menghindar saat dia mulai menggodaku dengan meraba-raba atau mengulum kemaluanku. Aku baru menyerah saat dia benar-benar memaksa untuk bercinta. 
Entahlah, aku tidak tertarik lagi melakukannya. Aku bahkan tak tertarik lagi untuk sekedar menggoda-goda dia seperti sebelumnya. Sebelum ini aku masih suka memfoto atau merekam isteriku saat hanya berpakaian minim, terutama sehabis mandi, ganti baju, atau  saat dia mengajak bercinta. Aku punya koleksi foto dan video pribadi yang sangat banyak karenanya, tetapi saat ini aku tidak tertarik melakukannya lagi.
Sebenarnya aku sudah enggan mengajak isteriku bercinta saat tahu dia menyukai pria lain dan diam-diam berusaha dekat dengan pria-pria itu sejak beberapa tahun silam. Sejak saat itu aku tak pernah bercinta, kecuali dia yang meminta. Perasaanku benar-benar hancur sejak tahu isteriku secara diam-diam menjalin hubungan dengan mantan kekasihnya. 
Aku tahu hubungan itu memang baru sebatas telepon, SMS dan bertemu di tempat umum, tapi aku sungguh tak bisa menerima kenyataan itu. Sikapnya yang tinggi hati seakan tidak melakukan apa-apa membuatku semakin terluka. Dia memang sempat sekali minta maaf, tetapi sikapnya sama sekali tak menunjukkan penyesalahn. Hari-hari bersamanya bahkan sering diwarnai sikapnya yang selalu penuh amarah, dan berusaha mencari-cari kesalahanku. Aku paham, itulah cara yang biasa dia lakukan setiap kali berusaha menutupi kesalahannya.
Dengan mempertimbangkan keberadaan anak-anak, aku memilih bertahan meski hatiku sungguh tak nyaman lagi bersamanya. Aku mengubah cara pandangku terhadapnya dan hubunganku dengan isteriku. Aku memandang suami-isteri hanyalah masalah hak dan kwajiban saja. Aku berusaha untuk bersikap sebaik mungkin kepadanya, memenuhi hak dia dan kwajibanku terhadapnya, sementara aku tak berharap apa-apa lagi darinya.
Selang dua tahun, aku kembali memergoki isteriku kembali menyukai dan diam-diam menjalin kedekatan dengan teman kuliahnya. Pujian seorang teman laki-lakinya saat reuni di kota Batu begitu membekas dan membuainya. Isteriku sering terlihat gelisah saat didekatku, suka menyendiri atau menghindar dariku demi menunggu BBM, Wa atau telepon dari lelaki itu. Isteriku semakin akrab dengan handphone dan selalu menggenggamnya saat tidur. 
Dia begitu kaget saat aku membuat sebuah cerita tentang sikap dan perilaku yang dia lakukan. Dia sempat minta maaf dan menjelaskan panjang lebar demi meyakinkan aku betapa dia tak punya perasaan apa-apa pada lelaki itu. Isteriku bahkan langsung mengganti nomor handphone dengan dalih agar tak dikontak lelaki itu lagi. Aku hanya diam, dan berusaha tak mereaksi apapun. 
Isteriku bahkan berubah semakin binal untuk urusan seks. Tidak seperti kebiasaan sebelumnya yang enggan membuka baju di hadapanku, isteriku berubah semakin berani memamerkan tubuhnya di hadapanku. Aku menikmati semua itu dengan memfoto dan merekam berbagai adegan beraninya.
Meski perasaan sudah tak mungkin kujelaskan lagi, aku berusaha memandang dia sebagai isteriku dan ibu dari anak-anaku. Aku tak lagi berfikir soal perasaan, soal cinta dan semua yang bagiku sudah lewat masanya. Aku berusaha menikmati keberadaan isteriku hanya sebagai perempuan cantik dan seksi, sedang aku adalah lelaki normal yang menyukai perempuan. 
Sekitar dua tahun kemudian, tanpa sengaja aku melihat rekaman telepon dan BBM yang intim antara isteriku dengan lelaki lain lagi. Dia adalah teman SMA yang beberapa bulan sebelumnya menjadi ketua alumni dan mengadakan persiapan reuni di rumahku. Diam-diam aku mengikuti semua yang dia obrolkan dengan lelaki itu. 
Sejujurnya kekecewaanku pada isteriku benar-benar sampai puncaknya, tetapi aku berusaha tenang dan tidak reaktif. Bahkan sesekali aku menyindir isteriku dengan lelucon tentang hubungan dia dengan lelaki itu. Kali ini aku ingin isteriku berbicara jujur tentang perasaanya. Dengan berbagai teknik akhirnya aku berhasil membuat isteriku mengakui bahwa dia memang merasa dekat dengan lelaki itu. Dia mengakui lelaki itu sebagai cinta pertamanya. Baru kali ini mereka berani saling mengakui dan mengungkapkan perasaan mereka di masa lalu.
Isteriku berjanji tidak akan berhubungan lebih jauh, meski dia tak dapat memungkiri ada rasa di antara mereka. Isteriku bersikap seakan itu hal biasa, padahal lelaki idaman isteriku itu sangat ketakutan saat tahu bahwa aku sudah tahu yang mereka lakukan di belakangku. Kebetulan aku kenal dengan lelaki itu sejak kenal isteriku dulu. Lelaki itu sempat minta maaf padaku lewat SMS, tetapi kubalas dengan menyindir lelaki itu lewat SMS, "Dari pada godain isteriku, gimana kalau kita tukeran isteri saja, biar sama-sama tahu rasanya".
Saat teman-temannya memintakan maaf padaku, aku malah menyebarkan SMS-ku pada teman-teman SMA-nya. Setelah tahu SMS itu, seketika isteriku benar-benar marah besar padaku. "Sebagai orang berpendidikan kamu seharusnya tak menyebarkan aib kita pada orang lain... Urusan kamu itu sama aku, kamu jangan melibatkan dia atau orang lain", begitu kurang lebih inti amarahnya padaku. 
Aku sama sekali tak mendebat. Bagiku dia sedang bingung, malu dan marah karena ketahuan, sehingga asal bicara. Sebelumnya aku berusaha mengajaknya bicara, dan setiap kali bicara isteriku sama sekali tidak pernah mengakui bahwa semua yang dia lakukan adalah sesuatu yang salah. Dia selalu menekankan betapa yang dia lakukan bukan aib. 
Seperti biasanya, dia enggan membicarakan hal-hal yang membuat dia di posisi bersalah seperti itu. Dia selalu bersikap "yang sudah yang sudah, tidak usah dibahas lagi", Itu sebabnya aku sengaja menyebarkan SMS itu ke teman-temannya. Aku tak peduli itu membuatnya sangat marah. Aku tak menanggapi apapun yang dia katakan. Isteriku baru berhenti marah saat aku perdengarkan rekaman pengakuannya dan meminta maaf. Aku bisa saja menyebarkan rekaman BBM dan telepon dia ke teman-temannya kalau aku mau, tapi SMS pendek itu sepertinya sudah cukup untuk membuatnya diam. 
Aku tahu seharusnya kami bicara masalah itu, tapi aku sudah pesimis melakukannya, sebab isteriku pantang bicara soal hal-hal yang berkaitan dengan aib dia. Dengan semua yang pernah kualami bersamanya selama ini, aku tak yakin dia bisa belajar, apalagi menyikapi hal-hal seperti ini dengan pikiran jernih. 
Aku sendiri memilih tak pernah bicara lagi soal itu. Isteriku berusaha bersikap baik padaku, tapi sama sekali tak bicara urusan perasaan denganku. Aku tahu dia sangat tidak nyaman dengan keadaan ini. Kepribadian temperamentalnya membuatnya sangat sulit menyembunyikan hal-hal yang tak berkenan di hatinya. Di sisi lain, dengan semua bukti di tanganku, isteriku sama sekali kehilangan bahan untuk membela diri.
Aku sendiri semakin tak peduli dengan semua ini. Aku memilih fokus pada pekerjaanku dan anak-anakku. Aku tak mau memikirkan isteriku lagi. Aku berusaha memastikan dia baik-baik saja, sehat dan membantunya di berbagai urusan sebagaimana lazimnya rumah tangga. Aku hanya tak tertarik lagi padanya, Aku merasa dia bukan milikku, bukan kekasih untukku. Dia hanya seseorang kebetulan menjadi isteriku.
Entah apa yang aku rasakan. Sedih, kecewa dan menyesal sudah pasti. Yang pasti, aku kehilangan rasa. Aku merasa tak lagi membutuhkan dia. Isteriku bukan siapa-siapaku, dan hanya teman dalam kehidupanku. Aku tak tertarik padanya bahkan sebagai wanita. Mungkin itu sebabnya kini aku malas bercinta dengannya. Aku cenderung menghindar saat dia menggoda-godaku seperti biasa dengan meraba kemaluanku. Meski demikian, sesekali aku memenuhi hasratnya ketika dia memang benar-benar sedang butuh bercinta.  
Kini aku berusaha menyamankan diri dengan diriku sendiri. Aku tahu hari-hari ini isteriku kembali dekat dengan lelaki-lelaki itu, tapi aku benar-benar tak peduli. Aku tak lagi merasa perlu tahu atau bertanya. Aku biarkan semua yang akan terjadi dan harus kuhadapi. Aku tak peduli apapun yang dia pikirkan, rasakan dan lakukan. Aku tak tahu dan tak ingin tahu. 
Aku benar-benar tak berharap dia memberiku hari-hari indah, bahkan sekedar nyaman. Aku membiasakan diri dengan sikapnya padaku yang hanya dipenuhi amarah dan kata-kata ketus setiap hari, bahkan setiap saat. Aku berusaha menerima isteriku sebagaimana adanya. Itulah adanya isteriku, ibu dari anak-anakku. Aku tak menuntut apa-apa lagi darinya. Sesungguhnya ini bukan pernikahan yang layak kupertahankan, tapi aku harus menjalani semua ini demi masa anak-anakku.
Sebenarnya aku tetap bergairah melihat perempuan lain. Aku bisa saja dekat dengan seseorang dan menikmati yang aku mau, tetapi aku pantang melakukannya. Aku tak peduli gairah seksualku perlahan terasa menurun. Entahlah, aku tak mau memulai hal buruk, dan lagi-lagi semua demi anak-anakku. Mungkin aku lelaki yang bodoh dan lemah karena harus menerima kenyataan seperti ini, tapi aku tak peduli. Aku ingin menikmati hidupku dengan caraku sendiri.