Jumat, 19 September 2014

MENYESAL MENIKAHI KEKASIH ORANG

Sampai hari-hari ini, hatiku sering dihantui perasaan menyesal karena telah menikahi Nia, wanita yang kini menjadi istriku. Di masa awal kuliah dulu aku memang suka padanya yang waktu itu masih kelas 2 SMA, tetapi hanya kupendam dalam hati, karena ternyata dia menyukai Faizin, ketua Osis di sekolahnya.
Tujuh tahun kemudian aku bertemu dengannya, yang ternyata sedang bermasalah. Dia sedang stres berat karena hubungannya dengan Zaenal, teman dia KKN di Blitar tidak direstui orang tua. Padahal hubungan dia dan kekasihnya sudah terlalu jauh. Wanita itu juga terlalu sayang pada Zaenal dan bertekad tidak akan menikah dengan pria lain.
Aku bersimpati padanya, dan berharap dia segera menemukan jalan, tapi rupanya takdir mengatakan lain. Saat keluarga mendesakku untuk segera menikah, aku tak punya pilihan lain selain Nia, dan ternyata dia setuju menikah denganku. Tanpa pikir panjang aku menikahinya. Aku tidak berfikir panjang, selain agar adik-adikku tidak terhambat menikah gara-gara aku.
Aku baru tersadar saat pernikahan tiba. Dia memang memutuskan menikahiku, tetapi juga memastikan tak ada kata putus dengan Zaenal. Artinya mereka masih saling menganggap masing-masing sebagai kekasih, meski Nia menikah denganku.
Melepaskan kekasih tidak sama dengan menjual ternak atau barang lainnya. Zaenal memang bukan lagi pendamping hidupnya, bahkan mungkin tak akan pernah memilikinya untuk selamanya, tetapi bukan berarti istriku sudah tidak mencintainya lagi. Aku terlalu ceroboh mengambil keputusan penting dalam hidupku. Aku menyesal menikahi wanita yang ternyata terlalu dalam mencintai kekasihnya.
Dia berjanji belajar menerima aku, mencintai aku, tetapi tidak mungkin berjanji untuk tidak lagi mencintai lelaki yang telah empat tahun menjadi impiannya. Sikap, tutut kata dan perilakunya masih begitu jelas menunjukkan betapa aku bukan lelaki impiannya. Aku hanya penutup malu baginya dan bagi keluarganya, yang tak ingin dia disebut perawan tua.
Hanya penyesalan yang dalam memenuhi jiwaku. Sungguh, aku sangat-sangat menyesal. Aku sangat kecewa dengan kenyataan itu, dan tak henti meratapi keputusanku yang terlalu tergesa-gesa menikah. Ingin rasanya mengakhiri pernikahanku, tetapi aku tak tega mengecewakan orang tuaku.
Aku baru sadar, ternyata sangat mudah menemukan istri, tetapi tak mudah menghapus perasaan cinta yang terlanjur ada dalam hatinya. Bukan aku saja yang menderita, sebab istriku juga merasakan kehampaan yang sama. Dia terus terganggu oleh masa lalunya, dan tak mudah menerimaku di hatinya.
Aku hanya lelaki pengganti baginya, dan tak pernah menjadi kekasihnya. Meski dengan perasaan hampa, kujalani hari-hariku. Aku mencoba menikmati hidupku, meski di dasar hatiku tersimpan penyesalan yang tak pernah berakhir.
Pernikahan ini benar-benar hampa tanpa cinta. Kini aku hanya bisa menempatkan diriku sebagai pemuas nafsunya, dan dia menjadi pemuas nafsuku.