Minggu, 21 September 2014

AKU MINTA ISTRIKU BERTEMAN DENGAN MANTAN PACARNYA

Mungkin kedengarannya aneh bagi kebanyakan orang, tapi itulah yang aku lakukan. Kebanyakan suami pasti keberatan bila istrinya dekat dengan orang yang pernah menjadi bagian dari masa lalunya.
Alasannya tentu soal rasa dan perasaan. Status hubungan sepasang kekasih bisa berakhir atau sengaja diakhiri, tapi bukan berarti semuanya berakhir. Pasti ada sisa perasaan yang tak pernah hilang dia antara keduanya. Apalagi bila perpisahan tersebut bukan karena sudah tidak cinta, tapi sebab luar, seperti perbedaan jarak atau terhalang restu orang tua.
Perasaan yang pernah ada sangat boleh jadi dapat tumbuh kembali, atau bahkan sebenarnya masih tetap ada, meski keadaan sudah berbeda. Perasaan itulah yang biasanya mengganggu hubungan istri dengan suaminya.
Sejujurnya akupun kecewa, bahkan sangat-sangat kecewa di saat hari pernikahan mendapati istriku sebenarnya masih mencintai mantan kekasihnya. Rasanya ingin sekali kubatalkan pernikahanku, tetapi karena tak tega menyakiti orang tua, aku memilih bertahan.
Mengetahui kekecewaan dan penyesalanku menikahinya, istriku mulai menjaga jarak dengan sang mantan. Meski beberapa kali tak dapat menghindari telepon dari sang mantan karena adik istriku masih suka curhat sama lelaki itu, istriku berusaha membatasi hubungannya dengan sang mantan. Itupun masih membuat perasaanku sangat tersakiti.
Selain itu, teman-teman istriku juga sangat dekat dengan mantan kekasih itu, hingga masih sering mengabarkan sang mantan, bahkan menghubungkan telepon. Dari mereka pula istriku menyimpan nomor HP mantan kekasihnya. Meski istriku hanya memakai nomor itu untuk sekedar berkirim ucapan selamat lebaran atau ulang tahun, tapi penyesalanku kian menjadi-jadi seakan tak akan pernah sirna hingga akhir hayatku.
Praktis aku tak pernah merasa nyaman menikahi wanita ini. Hidupku selalu dihantui rasa kecewa dan penyesalan yang tak berkesudahan. Rasa kecewa itu benar-benar memuncak saat pernikahanku memasuki tahun kesembilan. Aku mendapati istriku kian sering curhat dengan lelaki itu lewat telepon dan SMS.
Saat pernikahanku memasuki tahun kesepuluh, rasa kecewaku sudah tak tertahankan lagi. Ingin rasanya mengakhiri penderitaan batinku dan memulai kehidupan baru. Istriku menangis saat kunyatakan perasaanku padanya, tapi bukan berarti mengakui kesalahan dan menyesali semuanya.
Selain soal masa lalunya, hal yang tak mengenakkan dari istriku adalah egonya yang selangit. Sehari setelah tangisnya reda, istriku mulai habis-habisan membela diri dengan segudang alasan untuk membenarkan perbuatannya. Dia sama sekali tak merasa bersalah, sebab menurutnya berteman dengan mantan pacar itu hal wajar. Saling rayu, saling goda juga hal biasa saat wanita berteman dengan lawan jenis.
Dia bahkan bilang tak keberatan aku juga melakukannya. Dia juga ingin mengenal cewek-cewek yang pernah menjadi kekasihku. Menurutnya berubahnya status tak berarti harus putus hubungan. Apalagi dia dan sang mantan memang sudah janji tak ada kata putus hubungan.
Argumen-argumen yang dia kemukakan membuka kenyataan bahwa dia memang mencintai laki-laki itu dan menikmati kedekatannya kembali dengan lelaki yang pernah jadi impiannya selama 4 tahun sebelum menikah denganku itu. Istrikupun mengakui bahwa dia memang nyaman dengan mantan kekasihnya. Istriku bahkan menyebut lelaki itu sebagai tempat curhat ternyaman.
Istriku kaget setelah sadar penjelasan dan argumen-argumennya justeru membuatnya di posisi yang tak seharusnya. Ternyata dia juga keberatan saat aku bilang siap memenuhi tantangannya untuk berteman lagi dengan mantanku.
Bukannya mengakui kesalahan, istriku malah balik menyerangku dengan berbagai tuduhan. Dia mengungkit ini dan itu, yang membuatku kian paham wanita seperti apakah dia. Aku merasa terlambat untuk siap mental dengan menikahi perempuan seperti ini.
Sejujurnya aku benar-benar tak tahan lagi bersamanya, tapi meninggalkannya tak mungkin kulakukan. Aku tak mau mempertaruhkan masa depan anak-anakku bila aku memilih bercerai. 
Beberapa waktu aku merenung dan menangis untuk melepaskan beban batinku, hingga dua tahun kemudian aku memutuskan mengubah cara berfikirku secara total. Aku mengubah sikap dan cara pandangku terhadap istriku.
1.  Bertahan dan Menikmati
Aku memutuskan untuk terus bertahan dan menikmati pernikahanku dengan cara berbeda. Hanya saja, kali ini memandang wanita itu tak lebih dari istriku, bukan kekasihku dan aku bukan kekasihnya. Aku hanya memandang dia sebagai teman hidupku, teman merawat dan membesarkan anak-anakku, dan pemuas nafsu seksualku. Aku tak berharap lebih dari itu semua.
2.  Perlu Dikasihani
Aku melihat istriku sebagai perempuan yang harus kukasihani. Dia sangat menderita karena kekolotan ayahnya telah membuatnya gagal menikah dengan lelaki itu. Mereka berpisah bukan karena tak cinta, bahkan cinta itu terlalu dalam untuk dihapuskan. Kehadiranku sama sekali tak mampu menggantikannya, bahkan menjadi beban tersendiri di hatinya.
3.  Perlu Dekat dengan Mantan
Sejak tidak kontak lagi dengan kekasihnya, wanita yang telah memberiku 4 anak itu sering terlihat murung persis orang yang sedang patah hati. Tak tega melihatnya menderita, karena itu berkali-kali aku minta dia kembali kontak dengan lelaki pujaannya, tapi dia enggan memulai.
Aku berusaha menghubungkan mereka lagi melalui berbagai cara, mulai dari menyambung pertemanan di FB, hingga memasang lagi nomor sang mantan yang telah dihapus. Berkali-kali aku memancing kontak dengan sang mantan, bahkan memencetkan tombol HP, memanggil nomor sang mantan, tetapi istriku seperti malas bicara.
Rupanya sikapku sebelumnya telah telah merusak suasana hati keduanya, tapi aku yakin itu hanya sementara. Bahkan dengan begitu aku tahu keduanya masih punya rasa. Berkali-kali aku tegaskan betapa aku ingin dia kembali menikmati hubungannya dengan sang mantan yang sempat rusak oleh sikapku. Mereka hanya butuh waktu untuk memulihkan kenyamanan batin yang telah aku rusak.
Aku hanya bisa tegaskan pada istriku, bahwa 100% aku tak akan pernah menyoal hubungan dia dengan sang mantan atau siapapun yang dia suka. Kupastikan tak akan menyiksa batinku sendiri dengan perasaan cemburu atau sakit hati. Aku sudah merubah total cara pandangku padanya dan pernikahanku, hingga aapapun yang dia lakukan tak akan berdampak apapun padaku.
Aku ingin istriku menikmati dunianya, melakukan semua yang dia suka. Aku tak mau lagi menyoal perasaannya dan semua yang dia lakukan. Aku berharap dia merasa bebas dan nyaman menikmati buaian perasaan yang dia rasakan. Aku bahkan tak keberatan andai saja dia ingin berhubungan intim dengan siapa saja.
Beberapa waktu kemudian dia memilih mengalihkan pertemanan lebih banyak dengan teman-teman lama yang pernah disukai. Dia masih menghindari sang mantan, tapi aku yakin itu hanya soal waktu, dan sepertinya dia sudah mulai baikan meski sembunyi-sembunyi di belakangku.
Aku merasa hidupku lebih nyaman tanpa mempedulikan yang dilakukan istriku. Sesekali aku memang melongok ke iPhone dan akun FB istri. Kuihat obrolan nakal dengan beberapa lelaki yang akrab dengan istriku, termasuk sang mantan. Ada yang minta ngajak hubungan sex dan foto bugilnya, tapi beberapa kali kulihat istriku masih enggan melakukannya.
Tanpa sepengetahuan istriku, sesekali kukirim foto-foto dan video bugil istriku pada mantannya. Istriku sempat terkejut saat mantan pacarnya dan lelaki yang jadi selingkuhan mayanya mengomentari foto dan video bugilnya, tapi dia tak mungkin bertanya padaku. Perlahan dia justeru kian menikmati pujian nakal mereka.
Beberapa saat kemudian kulihat beberapa foto bugil bahkan dikirim sendiri oleh istriku. Dia terlihat begitu bahagia, dan akupun menikmatinya. Aku senang sekali banyak lelaki mengagumi keindahan tubuhnya. Apalagi setelah chatting atau kontak seru dengan lelaki lain, hasrat istriku pasti memuncak, dan akupun jadi "korban" yang menikmati keganasan seks istriku.