Minggu, 10 Agustus 2014

ISTRIKU, AKU DAN MANTAN PACARNYA

Sejak menikah tahun 2000 silam, Istriku memang masih mencintai Zaenal, mantan pacarnya. Dia mengakui itu sejak awal pernikahan dulu. Dia berusaha belajar menerima kenyataan bahwa Zaenal bukan jodohnya, meski perasaan itu tidak pernah berubah hingga saat ini.
Sesekali masih terasa kerinduan pada lelaki itu. Dia sering stress saat rasa itu datang mengganggu. Dia kuatir menyinggung perasaanku bila menghubungi lelaki itu lagi. Apalagi setelah kutunjukkan rekaman telepon dan SMS mereka beberapa tahun lalu.
Akhir-akhir ini justeru aku yang menyuruhnya telepon atau ketemuan, bila kulihat istriku begitu tertekan oleh deraan rindu. Aku tahu dia baru tenang setelah bersetubuh dengan sang mantan dan pulang dalam keadaan lemas, tapi aku tak mempermasalahkannya.
Aku tahu dia sudah sangat menderita dan aku tak ingin melihatnya terus menderita bersamaku. Aku pernah memintanya menikah saja dengan lelaki itu, karena aku tahu betapa dia tak mungkin lepas dari lelaki itu, tetapi dia selalu menolak. Dia bilang tak bisa berpisah dari aku.
Awalnya memang terasa mengecewakan memiliki istri seperti itu, tapi aku berusaha mengerti. Pertama, lelaki itu memang cinta sejati istriku. Hingga saat ini istriku tak tahu apa yang membuatnya jatuh cinta padanya. Perasaan itu ada begitu saja, tanpa mampu dia jelaskan.
Kedua, lelaki itu terlalu sempurna di mata istriku. Selama 5 tahun bersama dan 4 tahun menjalin hubungan, tak ada hal buruk yang pantas dikenang dari Zaenal. Tak ada yang menyakitkan, dan semua terasa indah buat istriku.
Ketiga, cinta istriku kepadanya terlalu dalam. Menjalani masa-masa perjuangan yang berat dan panjang yang membuat perasaan istriku terlalu dalam mencintai lelaki itu. Hatinya terlalu dekat untuk dipisahkan dari lelaki itu.
Keempat, meski memilihku menjadi suaminya, istriku sudah mengikatkan janji untuk tak ada kata berpisah dari lelaki itu. Mereka tetap sepasang kekasih meski
Kelima, perpisahan istriku dari Zaenal bukan keinginan mereka. Istriku terlanjur berjanji hanya ada satu lelaki dalam hidupnya. Pernikahannya denganku semata karena hubungannya dengan lelaki itu tak mendapat restu orang tuanya.
Keenam, Istriku merasa bersalah telah mengambil keputusan untuk menikah denganku dan meninggalkannya. Dia tak tahu yang harus dilakukan selain tak melanjutkan hubungan itu, padahal dia yakin seharusnya masih ada jalan untuk mewujudkan mimpinya.
Ketujuh, Istriku merasa kesuciannya telah direnggut Zaenal. Dia telah berjanji pada dirinya sendiri, hanya akan hidup dengan lelaki yang telah menyentuhnya. Momen indah itu terlalu dalam membekas di hati istriku hingga kini.
Kedelapan, Istriku terlanjur nyaman bukan saja karena terlanjur dekat dengan Zaenal dan keluarganya. Mereka terlanjur memiliki ikatan pertemanan dengan teman-teman yang tak mungkin mereka tinggalkan. Istriku tidak siap kehilangan dunianya. Bahkkan telepon dan bertemu dengan teman-temannya selalu mengingatkannya akan hadirnya Zaenal di antara mereka. Istriku selalu tergoda untuk mengontak Zaenal setiap kali bertemu teman-teman lamanya.
Kesembilan, Istriku menikah saat hatinya belum benar-benar move on, bahkan masih menjalin hubungan meski hanya kontak batin saja. Itu sebabnya dia sulit fokus padaku karena hatinya masih mendua.
Kehadiranku hanya memberinya dilema. Dia harus berada di dua dunia, antara masa lalu dan masa kini, yang keduanya sama-sama sulit ditinggalkan. Aku bukan suami yang dia inginkan, meski faktanya dia harus bersamaku. Aku sama sekali tak dapat mengisi ruang batin yang terlanjur terisi oleh Zaenal.
Apalagi kepribadianku sama sekali berbeda dari Zaenal. Zaenal adalah satu-satunya lelaki yang dari semua segi paling cocok dengan istriku, baik kepribadian, latar belakang keluarga, kebiasaan, pola pikir, lingkungan dan lingkaran pertemanan. Sementara aku hanya lelaki asing yang harus mendampingi hidupnya.
Mengecewakan? Sudah pasti, tetapi aku tak mungkin meninggalkannya, kecuali dia yang meninggalkan aku. Aku merasa tak bisa memberinya kebahagiaan, tak mampu membuatnya jatuh cinta seperti yang terlanjur dia rasakan pada Zaenal.
Perbedaan kepribadianku dengan Zaenal sudah cukup menyusahkannya. Apalagi perjalanan karierku tidak secemerlang lelaki yang dia cinta. Itu sebabnya aku berusaha untuk tidak menyakitinya.