Senin, 09 April 2012

MEMAHAMIMU DARI KISAH NOVA


Bu Rieny yth,
Saya adalah seorang ibu (usia 37 tahun) dari tiga anak (tertua 12 tahun bungsu 7 tahun). Hidup saya nyaris sempurna. Saya dan suami sama-sama lulusan S2, dan bekerja dengan penghasilan yang lebih dari cukup. Kami juga punya beberapa usaha yang memberi tambahan penghasilan yang lumayan. 
Saya dan suami menikah karena perjodohan. Pada saat itu orangtua kami resah karena sampai usia saya 25 tahun saya tidak memiliki pacar. Sebetulnya saya pernah berpacaran cukup lama dengan seorang lelaki, namun putus karena tidak disetujui orang tua. Sejak saat itu saya tidak pernah tertarik dengan lelaki mana pun, sampai akhirnya orangtua mencarikan jodoh untuk saya.
Sejak menikah hidup saya berjalan tanpa hambatan, walaupun saya tidak pernah benar-benar mencintai suami saya seperti saya mencintai mantan pacar saya. Sampai pada suatu hari tanpa sengaja saya bertemu dengan bekas pacar saya. Sejak itu hubungan kami kian tak terpisahkan. Kedekatan kami bukan karena nafsu, tetapi perasaan saling membutuhkan. Dialah shoulder to cry on, someone to rely on (tempat mencurahkan kesedihan dan tempat bersandar). Kami berdua sudah seperti soulmate.
Kebutuhan untuk tetap berhubungan sudah seperti candu yang mempengaruhi seluruh sendi kehidupan saya. Kebetulan aktivitas kami memungkinkan untuk sering bertemu. Sampai suatu saat, saya harus keluar dari pekerjaan karena mengikuti suami yang harus pindah ke J. Pada saat itu saya sudah sampai pada pemahaman bahwa hubungan kami sangat tidak masuk akal. Kami sama-sama telah menikah dan punya anak. Kami sama-sama sadar bahwa apapun yang kami lakukan, tidak akan mengembalikan keadaan seperti semula.
Akhirnya kami berpisah, sambil sama-sama menguatkan. Setelah itu saya memutuskan untuk melupakan dia dan kembali sepenuhnya pada keluarga. Masa-masa itu sangat sulit saya lalui. Dua kali saya masuk rumah sakit, dengan diagnosa yang tidak jelas. Saya sangat stres. Suami sangat bingung melihat keadaan saya. Tapi ketetapan hati saya sudah bulat, saya harus melupakannya, betapapun itu sangat menyiksa saya.
Masalah tidak berhenti sampai di situ. Pada tahun 2005 kembali saya secara kebetulan berkomunikasi dengan dia lagi. Ternyata 8 tahun tidak cukup bagi kami untuk melupakan perasaan ini. Cinta kami kembali bergelora. Kami tidak pernah bertemu, tetapi telepon, email, sms, berjalan dalam frekuensi yang sangat tinggi. Sungguh, Bu, untuk saat ini saya tidak sanggup lagi berpisah darinya.
Meski saya bahkan tidak bisa menemukan alasan logis yang bisa membenarkan hubungan kami, tetapi setiap hari kami saling menelepon, berbagi cerita. Itu saja. Tidak ada sentuhan fisik, tidak ada gelora nafsu. Tapi kerinduan yang luar biasa, kenangan masa lalu yang tidak pernah bisa benar-benar kami lupakan. Untuk sementara ini keluarga kami sama-sama tidak tahu.
Apa yang terjadi pada kami, Bu? Mengapa kami begitu sulit untuk berpisah. Begitu sulit untuk mengubah perasaan menjadi 'sahabat' saja? Kami sama-sama sadar bahwa hubungan kami sangat tidak pada tempatnya. Kami sama-sama menahan diri untuk tidak bertemu lagi, karena pasti akan membuat kami semakin sulit untuk berpisah. Tapi kadang-kadang saya berdoa agar Tuhan berkenan memberikan kesempatan kedua bagi kami. Gila, kan? Begitu sesaknya perasaan saya kalau saya ingat bahwa dialah sesungguhnya pemilik cinta saya, bukan suami saya.
Sampai saat ini saya masih tetap berhubungan, tapi saya berusaha menempatkannya sekedar teman. Bagaimanapun saya kuatir suami saya tahu dan akan merusak hubungan kami selama ini. Apakah ini bisa dibenarkan?
Bu, sejujurnya saya bingung. Apakah saya sudah sakit jiwa? Apa yang harus saya lakukan? Jawaban ibu sangat saya nantikan secepatnya, agar kegilaan saya tidak semakin menjadi-jadi 
Ny. F – somewhere