Beberapa kali
handphone istriku berdering di kamar tidur utama. Rupanya dia lupa membawa
benda itu ke toko senja ini. Aku sengaja tidak mengangkatnya. Selain memang
tidak pernah mengangkat teleponnya, aku memilih melanjutkan dongenganku yang
tampaknya begitu memukau kedua jagoanku. Sepertinya mereka begitu terbawa oleh
kisah yang kuceritakan, dan perlahan terlelap saat ceritaku belum juga usai.
Kesunyian
mulai memenuhi malam saat kedua jagoanku
tak lagi terdengar celotehnya. Aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas
tempat tidur, melepas sisa kelelahan yang masih merayapi tubuhku. Ada sedikit
perasaan lega setelah terbebas dari penatnya pekerjaan seharian, menaklukkan
kemacetan jalan, dan apalagi ditambah sukses mengantar anak-anak ke alam mimpi.
Handphone itu
kembali berdering untuk kesekian kalinya. kali ini aku mengangkatnya. Saat
menekan tombol jawab sekilas kulihat nama Aby di layarnya. "Halo"
sapaku, tetapi tidak ada jawaban. Hanya samar-samar terdengar desah nafas, dan
sekejap kemudian dimatikan.
Aku sedikit
penasaran dan sejenak kusempatkan membuka daftar panggilan. Rupanya sejak sore
tadi sudah 8 kali nama itu telepon ke nomor ini. Dari SMS yang masih tersimpan
aku tahu bahwa Aby adalah inisial dari nama lengkap mantan kekasih istriku,
yang membuat keningku sedikit mengernyit tanpa kusadari.
Kembali
kuletakkan benda itu di sisi bantal dan
kurebahkan diriku menjemput mimpi. Kubiarkan tubuhku melemas dan mataku
terpejam, membiarkan jiwa ragaku istirahat lepas dari semua persoalan.
Saat aku
hampir terlelap, sayup-sayup kudengar pintu kamar terbuka. Istriku masuk kamar
saat jarum jam hampir menunjuk angka 10.
Setelah meletakkan tas di sofa, sejenak dia berganti pakaian, kemudian sibuk
menata beberapa barang di meja rias.
Raut kelelahan
tampak menggelayuti wajah cantiknya. Aku bersiap bangun, karena biasanya selalu
saja ada yang dia keluhkan. malam. Menjelang tidur dia biasa mengeluhkan banyak
hal, mulai dari soal keuangan keluarga, usaha, relasi dan terutama soal sikap
pegawai yang tidak sesuai keinginannya.
Pengurusan
toko selama ini kami percayakan pada karyawan, tapi akhir-akhir ini dia lebih
suka menunggui toko hingga larut malam. Berbeda dari biasanya, kali ini dia
hanya diam saja. Dia sibuk membersihkan rias wajahnya di depan cermin tanpa
bicara sepatah katapun. “Kamu kok tidak bawa telepon?” Sapaku membuka
pembicaraan.
“Lupa”
Jawabnya pendek.
“Tadi Beny
telepon beberapa kali” kataku memberi tahu.
“Siapa?”
Tanyanya seolah tidak mendengar, tapi dengan jelas kulihat raut mukanya berubah
seketika.
“Aby, tapi
kayaknya Beny” jawabku datar.
“Tadi dia
telepon berkali-kali, tapi waktu terakhir kuangkat malah dimatikan” sambungku.
Dia diam saja,
seolah tidak tertarik untuk menanyakan lebih lanjut. Raut kekesalan kulihat
jelas kian menggunung di wajahnya, tapi aku coba tak peduli. “Kulihat dia juga
SMS, kok” sambungku memecah kebekuan sembari menyodorkan handphone itu ke
hadapannya.
Dengan sikap
kesal dia meraih handphone itu dan melemparkannya ke meja rias. Raut kemarahan
kian jelas merona dari sikapnya. Aku tidak tahu mengapa. Yang jelas, dia memang
selalu teringgung bila aku menyebut nama itu. Kamipun kembali larut dalam diam
beberapa saat.
“Kalau marah
tambah cantik, ya?” godaku, tapi dia justeru semakin bersungut.
Setelah
beberapa saat terdiam lagi, aku kembali mengalihkan pembicaraan, “Gimana
tokonya tadi?”
“Biasa”
jawabnya datar.
“Tapi jangan
pakai marah, dong” godaku merajuk.
“Habisnya,
orang lagi capek, kamu ngomong sembarangan”
“Sembarangan
bagaimana?”
“Itu tadi.
Papa kan cuma mau ungkit-ungkit masalah itu lagi, kan?”
“Ungkit-ungkit
bagaimana? Beny memang telepon” jelasku meyakinkan.
“Alah… Aku
tahu papa mau mancing aja. Berapa kali
aku bilang? Nggak usah bicara soal itu”, ucapnya ketus. Aku makin sadar,
rupanya dia benar-benar sedang tidak enak hati. Mungkin saja dia kesal karena
aku mengangkat teleponnya.
“Beny memang
telepon beberapa kali. Sebenarnya aku tidak bermaksud buka HP mama, tapi karena
berkali-kali bunyi, makanya aku buka” tegasku.
“Lihat aja HP
kamu” sambungku.
Dia diam tak
bereaksi, lalu bertanya, “Dari mana papa tahu kalau itu Beny?”
“Feeling saja”
jawabku malas.
Dia tidak
merespon dan terus bersungut. Dia memang sensitif kalau kami bicara soal Beny.
Entahlah, aku tak tahu apa yang dia rasakan. Aku tak mengerti apa yang dia
pikirkan. Sebenarnya aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit soal itu. Aku hanya
mengingatkan saja, tapi rupanya dia terlalu sensitif untuk urusan yang satu
itu.
“Sebenarnya
ada apa sih, ma? Papa kan cuma kasih tahu kalau Beny telepon. Papa tidak tahu
kenapa tanggapan mama begitu?”, tanyaku mengklarifikasi.
“Kalau bicara
soal itu artinya papa menaruh curiga sama mama. Habis itu, pasti jadi bahan
buat nyindir mama” sahutnya.
“Papa nggak
curiga, sayang… Coba mana kalimat papa yang bernada curiga?” jelasku.
“Alah,
Sudahlah... Mama tegaskan, ya? Mama tidak ada apa-apa sama dia. Kalau mama
telepon dia atau dia telpon mama, itu nggak ada artinya apa-apa. Kami cuma
berteman. Itu saja” tegasnya emosional.
“Papa kan
tahu, kami sudah bertahun-tahun bersama, berteman, berhubungan baik, mana
mungkin diputus begitu saja? Kami pisah juga bukan karena ada masalah di antara
aku dan dia, tapi karena orang tuaku tidak setuju aku menikah dengan dia.
Bahkan kami juga tidak pernah menyatakan ada kata putus. Jadi wajar kan kalau
mama tetap berteman baik sama dia?” Sambungnya dengan nada tinggi.
“Iya... Papa
tahu itu, tapi kenapa mama begitu sensitif?” tanyaku.
“Habis
bagaimana lagi? Toh kalau sudah ngomong yang satu itu papa mesti…” sahutnya
dengan nada parau bahkan hampir menangis.
Aku terdiam,
dan tak ingin larut dalam perdebatan. Aku mulai berfikir, mungkin dia sedang
banyak masalah di toko, sehingga suasana hatinya kurang enak. Mungkin pula dia
kesal karena peristiwa tadi pagi. Aku berada di belakangnya cukup lama saat dia
sedang asyik telepon dengan Beny di halaman depan. Dia terkejut dan nyaris
marah-marah saat dia tahu aku menunggui di belakangnya, meski sebenarnya waktu
itu aku hanya mau pamit berangkat kerja.
Mereka memang
sering saling telepon berlama-lama, siang, malam, dan terutama saat di toko.
Aku sering memergoki mereka telepon atau SMS. Aku sudah hafal sikapnya bila
Beny yang telepon. Kalau sedang telepon Beny dia pasti berusaha menjauh dari
hadapanku, dengan pura-pura jalan ke belakang rumah, halaman depan, naik lantai
atas atau mengunci diri di kamar.
Setelah
terdiam beberapa saat aku kembali bicara, “Dengar ya, Ma? Papa nggak enak kalau
kita selalu bertengkar hanya karena masalah ini. Papa ingin mama yakin kalau
papa bener-bener tidak bermaksud apa-apa. Papa tidak keberatan mama telepon
sama Beny, sungguh” tegasku meyakinkannya.
“Alah…, papa
mau mancing lagi”
“Enggak.
Bener!! Aku justeru suka kalau mama telepon dia, sebab kalau habis
telepon-teleponan sama dia kamu pasti horny banget” kilahku menggoda.
“Hemh…!”,
sungutnya sinis.
“Sungguh”
tegasku.
“Lagi pula,
itu kan berarti papa juga boleh begitu?” sambungku santai.
Sepertinya dia
enggan merespon, tapi tiba-tiba bertanya, “Boleh apaan?”
“Ya telepon
mantan pacar papa, dong. Memang mama saja yang punya pantan pacar? Berteman
dengan mantan pacar kan boleh?”, tegasku santai.
Dia tak
menyahut dan terdiam beberapa saat. Hanya raut wajahnya yang berubah kecut
memandangku, tapi dengan santai aku bilang, “Jelek-jelek papa dulu kan juga
laris manis. Cuma selama ini kalau Fasya, Alfi, atau Yeni telepon, papa merasa
nggak enak hati aja sama mama. Papa tidak nyaman kalau harus sembunyi-sembunyi,
menghindar dari mama. Makanya, aku bilang ke mereka, kalau sebaiknya kita tidak
telepon lagi” sambungku dengan raut geli.
“Sekarang,
karena mama boleh berteman dengan mantan pacar, berarti papa juga boleh, dong?
Lagi pula, ini kan nggak ada apa-apanya dibanding mama. Mama belum pernah putus
dari Beny, sedangkan papa sudah putus dari cewek-cewek itu. Lumayan adil, kan?”
sambungku lagi dengan mimik girang.
Istriku tidak
lagi menyahut pembicaraan. Beberapa saat dia hanya memandangiku dengan tatapan
penuh tanya. Bening matanya mulai berkaca, tapi aku pura-pura tidak
memperhatikan. Sejenak kemudian aku bangkit dari tempat tidur dan meraih
hanphone-ku di meja.
Aku utak-atik
benda mungil itu. Dia sama sekali tidak bereaksi dan terus memandangiku dengan
sorot mata yang kian berkaca. Sambil menelungkupkan tubuh ke atas tempat tidur,
aku kembali berguman, “Oh iya, mungkin mereka sudah tidur. Aku SMS dulu aja.
Besok bisa telepon-teleponan lagi”gumanku pura-pura girang.
Segera saja
jemariku mengutak-atik keypad dan mengirimkan SMS ke Fasya, cewek terakhir yang
aku pacari. Sebentar kemudian ternyata Fasya langsung menelpon. Segera saja aku
dan Fasya terlibat pembicaraan yang menyegarkan hati. Rupanya dia sedang
sendirian di rumah karena suaminya keluar kota. “Ini sama istriku, Fasy… kamu
belum pernah kenal, kan?” godaku di sela-sela telepon.
Tiba-tiba
istriku bangkit dan bergegas ke luar kamar, sepertinya ke kamar mandi. Suasana
penat sejak senja tadi tiba-tiba mencair oleh obrolan yang penuh kerinduan
dengan dengan mantan kekasihku yang
selama hampir delapan tahun tak bertemu. Aku tak peduli apa yang dilakukan
istriku di kamar mandi. Aku mengusir rasa kesalku dengan memilih menikmati
pembicaraan menggetarkan ini.
Selesai
telepon, kutelungkupkan wajahku ke atas bantal. Aku sendiri tak tahu apa yang
sebenarnya kurasakan pada istriku. Sedih, kesal, marah, tersinggung, dan
mungkin cemburu kubiarkan terkubur dalam-dalam di hati. selama enam tahun
menikah, aku tahu tak ada gunanya menunjukkan perasaan itu, bahkan biasanya
hanya memperburuk keadaan.
Kalau saja
kami masih pacaran, masalahnya pasti lain. Aku tak akan memaafkan sikap dan
pendirian istriku. Setelah berkeluarga dengan beberapa anak, aku jelas tak
mungkin bersikap begitu. Seburuk apapun perasaanku harus kujinakkan demi anak,
demi sebuah harmoni, meski akhir-akhir ini terasa semu belaka. Aku tak ingin
anak-anakku berkembang dalam keluarga broken, meski terus terang hatiku
sebenarnya sudah broken oleh kebiasaannya itu. Belum lagi, sikapnya selalu
uring-uringan dan penuh keluh kesah.
Aku berusaha
memejamkan mata, tapi tak mampu tertidur juga. Aku hanya bisa berpura-pura
tertidur saat istriku kembali ke kamar. Beberapa saat dia duduk terdiam di sisi
tempat tidur. Aku tak tahu yang dia lakukan, tetapi beberapa saat kemudian
kurasakan jemarinya mengelus punggungku, kemudian memelukku, menindihku. “Pa…” panggilnya
pelan.
Aku diam saja,
seolah tidak mendengar. Kali ini aku malas sekali menanggapi. “Pa…, pa…”,
berkali-kali dia mencoba membangunkanku.
Setelah dia
terus memanggilku untuk kesekian kalinya, akhirnya akupun merespon malas,
“hem…” sahutku lemah. Dia tak berkata apa-apa, tapi beberapa saat kemudian aku
tahu dia sedang menangis di punggungku. Beberapa gulir air matanya bahkan
meleleh membasahi pipiku. “Pa…”, kembali dia menyergah untuk kesekian kalinya
sembari menarik tubuhku.
Sejujurnya aku
enggan sekali menanggapinya, tapi akhirnya akupun membalikkan tubuhku, hingga
kulihat jelas wajahnya yang berurai air mata. “Apa lagi sih?” tanyaku seolah
tidak tahu.
Dengan nada
berat dia mengatakan, “Maafkan aku… ”, ucapan lirih bersambung derai tangis.
“Apa yang
harus dimaafkan? Justeru papa yang minta maaf, tadi sudah membuat mama
marah" jawabku sekenanya.
“Enggak, aku
yang minta maaf” sahutnya sembari kembali menangis. Sejenak aku menghela nafas
dalam-dalam lalu melepaskannya penuh perasaan, meredakan beban batin yang
serasa menyesaki dadaku sejak sore tadi.
“Sayang, papa
senang sekali kita sudah mempertegas komitmen, tentang apa yang boleh, yang
pantas kita lakukan dan tidak” tegasku lembut.
Aku tahu,
sebenarnya dia tidak setuju dengan komitmen itu, tapi kali ini dia sama sekali
tidak mampu berkata apa-apa. “Buat orang yang sudah menikah cinta itu tidak
semata soal rasa, tapi lebih sebagai sebuah komitmen. Ini komitmen kita, dan
papa suka banget dengan komitmen ini. Kita nikmati saja” sambungku lirih
sembari tersenyum.
Dia sama
sekali tidak bicara, dan hanya berlinangan air mata. Sejujurnya akupun tak suka
dengan komitmen seperti ini, tapi kurasa ini pilihan kata paling tepat malam
ini.
“Sudahlah…
papa ngantuk”, sambungku sembari berusaha menelungkupkan kembali tubuhku, tapi
dia menahannya hingga aku tetap terlentang. Akupun menutupkan bantal ke wajah
dan bejuang keras memejamkan mata agar segera tertidur. Aku ingin segera
berlari ke alam mimpi, membunuh semua rasa yang sangat tidak mengenakkan
kepadanya malam ini.
Saat jiwa ini tak jua
terlelap, kurasakan jemari tangannya menyusup lembut di balik pakaianku.
Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak sepatah katapun dia
ucapkan. Jemarinya melepas penutup tubuhku satu demi satu, kemudian merayapi
setiap lekuk tubuhku menebarkan semua yang menggugah gairah. Meski sebenarnya
aku sama sekali kehilangan gairah, tapi kubiarkan dia melakukan semua yang dia
mau. Aku tahu dia berusaha menghiburku, meski aku juga tahu, ini hanya
penebusan rasa bersalah