Sabtu, 03 Januari 2009

TELEPON MANTAN PACAR

Beberapa kali handphone istriku berdering di kamar tidur utama. Rupanya dia lupa membawa benda itu ke toko senja ini. Aku sengaja tidak mengangkatnya. Selain memang tidak pernah mengangkat teleponnya, aku memilih melanjutkan dongenganku yang tampaknya begitu memukau kedua jagoanku. Sepertinya mereka begitu terbawa oleh kisah yang kuceritakan, dan perlahan terlelap saat ceritaku belum juga usai.
Kesunyian mulai memenuhi malam saat  kedua jagoanku tak lagi terdengar celotehnya. Aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur, melepas sisa kelelahan yang masih merayapi tubuhku. Ada sedikit perasaan lega setelah terbebas dari penatnya pekerjaan seharian, menaklukkan kemacetan jalan, dan apalagi ditambah sukses mengantar anak-anak ke alam mimpi.
Handphone itu kembali berdering untuk kesekian kalinya. kali ini aku mengangkatnya. Saat menekan tombol jawab sekilas kulihat nama Aby di layarnya. "Halo" sapaku, tetapi tidak ada jawaban. Hanya samar-samar terdengar desah nafas, dan sekejap kemudian dimatikan.
Aku sedikit penasaran dan sejenak kusempatkan membuka daftar panggilan. Rupanya sejak sore tadi sudah 8 kali nama itu telepon ke nomor ini. Dari SMS yang masih tersimpan aku tahu bahwa Aby adalah inisial dari nama lengkap mantan kekasih istriku, yang membuat keningku sedikit mengernyit tanpa kusadari.
Kembali kuletakkan benda itu di  sisi bantal dan kurebahkan diriku menjemput mimpi. Kubiarkan tubuhku melemas dan mataku terpejam, membiarkan jiwa ragaku istirahat lepas dari semua persoalan.
Saat aku hampir terlelap, sayup-sayup kudengar pintu kamar terbuka. Istriku masuk kamar saat jarum  jam hampir menunjuk angka 10. Setelah meletakkan tas di sofa, sejenak dia berganti pakaian, kemudian sibuk menata beberapa barang di meja rias.
Raut kelelahan tampak menggelayuti wajah cantiknya. Aku bersiap bangun, karena biasanya selalu saja ada yang dia keluhkan. malam. Menjelang tidur dia biasa mengeluhkan banyak hal, mulai dari soal keuangan keluarga, usaha, relasi dan terutama soal sikap pegawai yang tidak sesuai keinginannya.
Pengurusan toko selama ini kami percayakan pada karyawan, tapi akhir-akhir ini dia lebih suka menunggui toko hingga larut malam. Berbeda dari biasanya, kali ini dia hanya diam saja. Dia sibuk membersihkan rias wajahnya di depan cermin tanpa bicara sepatah katapun. “Kamu kok tidak bawa telepon?” Sapaku membuka pembicaraan.
“Lupa” Jawabnya pendek.
“Tadi Beny telepon beberapa kali” kataku memberi tahu.
“Siapa?” Tanyanya seolah tidak mendengar, tapi dengan jelas kulihat raut mukanya berubah seketika.
“Aby, tapi kayaknya Beny” jawabku datar.
“Tadi dia telepon berkali-kali, tapi waktu terakhir kuangkat malah dimatikan” sambungku.
Dia diam saja, seolah tidak tertarik untuk menanyakan lebih lanjut. Raut kekesalan kulihat jelas kian menggunung di wajahnya, tapi aku coba tak peduli. “Kulihat dia juga SMS, kok” sambungku memecah kebekuan sembari menyodorkan handphone itu ke hadapannya.
Dengan sikap kesal dia meraih handphone itu dan melemparkannya ke meja rias. Raut kemarahan kian jelas merona dari sikapnya. Aku tidak tahu mengapa. Yang jelas, dia memang selalu teringgung bila aku menyebut nama itu. Kamipun kembali larut dalam diam beberapa saat.
“Kalau marah tambah cantik, ya?” godaku, tapi dia justeru semakin bersungut.
Setelah beberapa saat terdiam lagi, aku kembali mengalihkan pembicaraan, “Gimana tokonya tadi?”
“Biasa” jawabnya datar.
“Tapi jangan pakai marah, dong” godaku merajuk.
“Habisnya, orang lagi capek, kamu ngomong sembarangan”
“Sembarangan bagaimana?”
“Itu tadi. Papa kan cuma mau ungkit-ungkit masalah itu lagi, kan?”
“Ungkit-ungkit bagaimana? Beny memang telepon” jelasku meyakinkan.
“Alah… Aku tahu papa mau mancing aja.  Berapa kali aku bilang? Nggak usah bicara soal itu”, ucapnya ketus. Aku makin sadar, rupanya dia benar-benar sedang tidak enak hati. Mungkin saja dia kesal karena aku mengangkat teleponnya.
“Beny memang telepon beberapa kali. Sebenarnya aku tidak bermaksud buka HP mama, tapi karena berkali-kali bunyi, makanya aku buka” tegasku.
“Lihat aja HP kamu” sambungku.
Dia diam tak bereaksi, lalu bertanya, “Dari mana papa tahu kalau itu Beny?”
“Feeling saja” jawabku malas.
Dia tidak merespon dan terus bersungut. Dia memang sensitif kalau kami bicara soal Beny. Entahlah, aku tak tahu apa yang dia rasakan. Aku tak mengerti apa yang dia pikirkan. Sebenarnya aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit soal itu. Aku hanya mengingatkan saja, tapi rupanya dia terlalu sensitif untuk urusan yang satu itu.
“Sebenarnya ada apa sih, ma? Papa kan cuma kasih tahu kalau Beny telepon. Papa tidak tahu kenapa tanggapan mama begitu?”, tanyaku mengklarifikasi.
“Kalau bicara soal itu artinya papa menaruh curiga sama mama. Habis itu, pasti jadi bahan buat nyindir mama” sahutnya.
“Papa nggak curiga, sayang… Coba mana kalimat papa yang bernada curiga?” jelasku.
“Alah, Sudahlah... Mama tegaskan, ya? Mama tidak ada apa-apa sama dia. Kalau mama telepon dia atau dia telpon mama, itu nggak ada artinya apa-apa. Kami cuma berteman. Itu saja” tegasnya emosional.
“Papa kan tahu, kami sudah bertahun-tahun bersama, berteman, berhubungan baik, mana mungkin diputus begitu saja? Kami pisah juga bukan karena ada masalah di antara aku dan dia, tapi karena orang tuaku tidak setuju aku menikah dengan dia. Bahkan kami juga tidak pernah menyatakan ada kata putus. Jadi wajar kan kalau mama tetap berteman baik sama dia?” Sambungnya dengan nada tinggi.
“Iya... Papa tahu itu, tapi kenapa mama begitu sensitif?” tanyaku.
“Habis bagaimana lagi? Toh kalau sudah ngomong yang satu itu papa mesti…” sahutnya dengan nada parau bahkan hampir menangis.
Aku terdiam, dan tak ingin larut dalam perdebatan. Aku mulai berfikir, mungkin dia sedang banyak masalah di toko, sehingga suasana hatinya kurang enak. Mungkin pula dia kesal karena peristiwa tadi pagi. Aku berada di belakangnya cukup lama saat dia sedang asyik telepon dengan Beny di halaman depan. Dia terkejut dan nyaris marah-marah saat dia tahu aku menunggui di belakangnya, meski sebenarnya waktu itu aku hanya mau pamit berangkat kerja.
Mereka memang sering saling telepon berlama-lama, siang, malam, dan terutama saat di toko. Aku sering memergoki mereka telepon atau SMS. Aku sudah hafal sikapnya bila Beny yang telepon. Kalau sedang telepon Beny dia pasti berusaha menjauh dari hadapanku, dengan pura-pura jalan ke belakang rumah, halaman depan, naik lantai atas atau mengunci diri di kamar.
Setelah terdiam beberapa saat aku kembali bicara, “Dengar ya, Ma? Papa nggak enak kalau kita selalu bertengkar hanya karena masalah ini. Papa ingin mama yakin kalau papa bener-bener tidak bermaksud apa-apa. Papa tidak keberatan mama telepon sama Beny, sungguh” tegasku meyakinkannya.
“Alah…, papa mau mancing lagi”
“Enggak. Bener!! Aku justeru suka kalau mama telepon dia, sebab kalau habis telepon-teleponan sama dia kamu pasti horny banget” kilahku menggoda.
“Hemh…!”, sungutnya sinis.
“Sungguh” tegasku.
“Lagi pula, itu kan berarti papa juga boleh begitu?” sambungku santai.
Sepertinya dia enggan merespon, tapi tiba-tiba bertanya, “Boleh apaan?”
“Ya telepon mantan pacar papa, dong. Memang mama saja yang punya pantan pacar? Berteman dengan mantan pacar kan boleh?”, tegasku santai.
Dia tak menyahut dan terdiam beberapa saat. Hanya raut wajahnya yang berubah kecut memandangku, tapi dengan santai aku bilang, “Jelek-jelek papa dulu kan juga laris manis. Cuma selama ini kalau Fasya, Alfi, atau Yeni telepon, papa merasa nggak enak hati aja sama mama. Papa tidak nyaman kalau harus sembunyi-sembunyi, menghindar dari mama. Makanya, aku bilang ke mereka, kalau sebaiknya kita tidak telepon lagi” sambungku dengan raut geli.
“Sekarang, karena mama boleh berteman dengan mantan pacar, berarti papa juga boleh, dong? Lagi pula, ini kan nggak ada apa-apanya dibanding mama. Mama belum pernah putus dari Beny, sedangkan papa sudah putus dari cewek-cewek itu. Lumayan adil, kan?” sambungku lagi dengan mimik girang.
Istriku tidak lagi menyahut pembicaraan. Beberapa saat dia hanya memandangiku dengan tatapan penuh tanya. Bening matanya mulai berkaca, tapi aku pura-pura tidak memperhatikan. Sejenak kemudian aku bangkit dari tempat tidur dan meraih hanphone-ku di meja.
Aku utak-atik benda mungil itu. Dia sama sekali tidak bereaksi dan terus memandangiku dengan sorot mata yang kian berkaca. Sambil menelungkupkan tubuh ke atas tempat tidur, aku kembali berguman, “Oh iya, mungkin mereka sudah tidur. Aku SMS dulu aja. Besok bisa telepon-teleponan lagi”gumanku pura-pura girang.
Segera saja jemariku mengutak-atik keypad dan mengirimkan SMS ke Fasya, cewek terakhir yang aku pacari. Sebentar kemudian ternyata Fasya langsung menelpon. Segera saja aku dan Fasya terlibat pembicaraan yang menyegarkan hati. Rupanya dia sedang sendirian di rumah karena suaminya keluar kota. “Ini sama istriku, Fasy… kamu belum pernah kenal, kan?” godaku di sela-sela telepon.
Tiba-tiba istriku bangkit dan bergegas ke luar kamar, sepertinya ke kamar mandi. Suasana penat sejak senja tadi tiba-tiba mencair oleh obrolan yang penuh kerinduan dengan  dengan mantan kekasihku yang selama hampir delapan tahun tak bertemu. Aku tak peduli apa yang dilakukan istriku di kamar mandi. Aku mengusir rasa kesalku dengan memilih menikmati pembicaraan menggetarkan ini.
Selesai telepon, kutelungkupkan wajahku ke atas bantal. Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan pada istriku. Sedih, kesal, marah, tersinggung, dan mungkin cemburu kubiarkan terkubur dalam-dalam di hati. selama enam tahun menikah, aku tahu tak ada gunanya menunjukkan perasaan itu, bahkan biasanya hanya memperburuk keadaan.
Kalau saja kami masih pacaran, masalahnya pasti lain. Aku tak akan memaafkan sikap dan pendirian istriku. Setelah berkeluarga dengan beberapa anak, aku jelas tak mungkin bersikap begitu. Seburuk apapun perasaanku harus kujinakkan demi anak, demi sebuah harmoni, meski akhir-akhir ini terasa semu belaka. Aku tak ingin anak-anakku berkembang dalam keluarga broken, meski terus terang hatiku sebenarnya sudah broken oleh kebiasaannya itu. Belum lagi, sikapnya selalu uring-uringan dan penuh keluh kesah.
Aku berusaha memejamkan mata, tapi tak mampu tertidur juga. Aku hanya bisa berpura-pura tertidur saat istriku kembali ke kamar. Beberapa saat dia duduk terdiam di sisi tempat tidur. Aku tak tahu yang dia lakukan, tetapi beberapa saat kemudian kurasakan jemarinya mengelus punggungku, kemudian memelukku, menindihku. “Pa…” panggilnya pelan.
Aku diam saja, seolah tidak mendengar. Kali ini aku malas sekali menanggapi. “Pa…, pa…”, berkali-kali dia mencoba membangunkanku.
Setelah dia terus memanggilku untuk kesekian kalinya, akhirnya akupun merespon malas, “hem…” sahutku lemah. Dia tak berkata apa-apa, tapi beberapa saat kemudian aku tahu dia sedang menangis di punggungku. Beberapa gulir air matanya bahkan meleleh membasahi pipiku. “Pa…”, kembali dia menyergah untuk kesekian kalinya sembari menarik tubuhku.
Sejujurnya aku enggan sekali menanggapinya, tapi akhirnya akupun membalikkan tubuhku, hingga kulihat jelas wajahnya yang berurai air mata. “Apa lagi sih?” tanyaku seolah tidak tahu.
Dengan nada berat dia mengatakan, “Maafkan aku… ”, ucapan lirih bersambung derai tangis.
“Apa yang harus dimaafkan? Justeru papa yang minta maaf, tadi sudah membuat mama marah" jawabku sekenanya.
“Enggak, aku yang minta maaf” sahutnya sembari kembali menangis. Sejenak aku menghela nafas dalam-dalam lalu melepaskannya penuh perasaan, meredakan beban batin yang serasa menyesaki dadaku sejak sore tadi.
“Sayang, papa senang sekali kita sudah mempertegas komitmen, tentang apa yang boleh, yang pantas kita lakukan dan tidak” tegasku lembut.
Aku tahu, sebenarnya dia tidak setuju dengan komitmen itu, tapi kali ini dia sama sekali tidak mampu berkata apa-apa. “Buat orang yang sudah menikah cinta itu tidak semata soal rasa, tapi lebih sebagai sebuah komitmen. Ini komitmen kita, dan papa suka banget dengan komitmen ini. Kita nikmati saja” sambungku lirih sembari tersenyum.
Dia sama sekali tidak bicara, dan hanya berlinangan air mata. Sejujurnya akupun tak suka dengan komitmen seperti ini, tapi kurasa ini pilihan kata paling tepat malam ini.
“Sudahlah… papa ngantuk”, sambungku sembari berusaha menelungkupkan kembali tubuhku, tapi dia menahannya hingga aku tetap terlentang. Akupun menutupkan bantal ke wajah dan bejuang keras memejamkan mata agar segera tertidur. Aku ingin segera berlari ke alam mimpi, membunuh semua rasa yang sangat tidak mengenakkan kepadanya malam ini.
Saat jiwa ini tak jua terlelap, kurasakan jemari tangannya menyusup lembut di balik pakaianku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak sepatah katapun dia ucapkan. Jemarinya melepas penutup tubuhku satu demi satu, kemudian merayapi setiap lekuk tubuhku menebarkan semua yang menggugah gairah. Meski sebenarnya aku sama sekali kehilangan gairah, tapi kubiarkan dia melakukan semua yang dia mau. Aku tahu dia berusaha menghiburku, meski aku juga tahu, ini hanya penebusan rasa bersalah