Kamis, 08 Januari 2009

NO MORE REASON

Saat mataku terjaga dari tidur pagi ini, rasanya malas beranjak bangun. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi dan seakan turut malas berdetak. Dari gemericik air di kamar mandi kamarku kudengar seseorang tengah mandi. Istriku memang biasanya mandi pagi-pagi. Sekitar sepuluh menit kemudian kulihat dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk. Padahal biasanya selalu masuk dan keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap.
Meski sudah bertahun-tahun menikah, dia jarang berani membuka pakaiannya di depanku. Bila suatu saat aku mencoba membuka atau menyingkap sebagian pakaian yang melekat di tubuhnya, dia pasti akan meronta menolak. Entahlah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia malu, segan atau tidak biasa saja.
Mataku tak lepas memandang tubuh indahnya yang berdiri menghadap almari pakaian. Paha putihnya yang berisi tampak begitu segar, begitu menggoda dalam balutan kain haduk yang minim itu. "Hmm... sexy juga istriku" gumanku dalam hati. Beberapa saat dia asyik memilih-milih pakaian di almari dan mungkin tidak mengira aku memperhatikannya sedari tadi.
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur. Tanpa suara aku melangkah mendekati wanita cantik itu, dan perlahan memeluk tubuhnya dari belakang sambil merajuk, "Sayang...."
"Eh..., Aduh.... bikin kaget aja" sergahnya sembari meronta.
Aku tak mempedulikan sergahannya dan terus memeluknya lembut. "Kok udah banguh, sih?" serganya lagi sembari berusaha melepaskan pelukanku. "A..., jadi malu, nih" sergahnya lagi, tapi aku tak peduli.
Aku terus mendekapnya sambil menciumi tengkuhnya yang putih. "Pa, pa... Aku mau sholat. Aduh..., jadi batal nih wudlunya..." rengeknya setengah marah.
"Ya.. ntar wudlu lagi kenapa?" jawabku ringan.
Dia benar-benar berontak saat jariku berusaha melepaskan lipatan kain handuk yang melingkari payudaranya. "Ih..., Apaan, sih! Nggak, nggak, nggak... Aku nggak mau!" Hardiknya sembari memegang erat tanganku.
"Sayang... kamu kok terus begitu, sih?"
"Habisnya, kamu nggak tahu tempat nggak tahu waktu" sahutnya.
"Memang harus kapan dan di mana boleh begini sama kamu?"
"Iya..., tapi aku mau sholat" sahutnya ketus.
"Mau sholat? Kalau agak siangan dikit kamu pasti bilang mau ke kantor, siang hari kamu bilang mau ke toko, malam kamu bilang capek, ngantuk, mau ini itu" sahutku kesal.
"Oke... Kalau kali ini kamu masih menolak, kurasa ini terakhir kalinya aku nyentuh kamu" ucapku sembari melepaskan pelukanku.
Dia hanya berdiri termangu mendengar ocehanku. Akupun ngeloyor tidur kembali ke atas kasur. Aku telungkupkan badanku di atas bantal dengan perasaan kesal, kesal dan kesal. Aku benar-benar kesal.
"Sayang..." panggilnya tiba-tiba sembari memelukku dari belakang.
"Gitu aja kok marah, sih?"
"Gitu aja?" tanyaku ketus.
"Kamu menganggap ini tidak berarti?" lanjutku.
"Dengar ya, kayaknya hari ini aku harus putuskan, kalau selingkuh dengan perempuan di luar sana halal hukumnya buatku"
"Kok gitu, sih?"
"Iya. Karena aku nggak merasa mempunyai istri"
"Kita sudah berapa kali bicara, tapi apa hasilnya? Hari ini adalah batas kesabaranku. Selama kamu seperti itu, artinya aku berhak dan boleh cari perempuan lain" lanjutku.
Beberapa saat dia kurasakan dia menangis di atas punggungku. "Pa..., Aku harus bagaimana sudah. Aku akan ikuti kemauanmu"
"Aku nggak lagi punya kemauan"
"Jangan gitu, dong"
"Aku ingin kali ini dan seterusnya kamu punya kemauan. Kemauan berubah, merubah otakmu, merubah pola pikirmu"
"Aku merasa sudah banyak berubah"
"Berubah apanya? Buka baju di depan suami saja masih kaya gitu. Berubah apanya?"
Dia hanya terdiam. "Kali ini aku nggak main-main, nggak tawar-menawar" tegasku.
Beberapa lama kami kembali terdiam. Dia masih menangis di atas punggungku. Sedikit demi sedikit rasa kesalkupun sudah mulai reda. "Pa..., pa..." beberapa kali dia memanggil dan mengguncang-guncang tubuhku.
Biasa, dia baru benar-benar melemah sikapnya dan mengiba saat aku kelihatan benar-benar marah. "Pa..." Kembali dia memanggilku, sembari menarik tubuhku hingga akupun terpaksa membalikkan tubuh.
Kulihat dia terduduk di hadapanku tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya. Sepasang payudaranya yang indah terjuntai lemah. "Aku nggak suka papa bilang begitu" rintihnya.
"Aku juga nggak suka bilang begitu, tapi nggak punya pilihan" sahutku lemah. Aku kembali mencoba kembali menegaskan, "Pokoknya, kalau kamu masih bersikap seperti ini..." Serta-merta dia membungkam mulutku, hingga aku tak bisa melanjutkan kata-kataku.
"Aku nggak mau papa ngomong gitu lagi" sahutnya.
"Aku juga nggak mau lihat istriku yang kaya gitu" sahutku.
Setelah terdiam sejenak dia kembali bilang, "OK. Aku akan berusaha..."
"Aku nggak mau kamu berusaha. Aku mau kamu melakukannya mulai sekarang"
"Sekarang? Ini jam berapa? Kita belum sholat"
"Aku nggak mau ada alasan. Apapun aku nggak mau dengar"
"Tapi kita belum sholat"
"Aku nggak mau ada alasan"
"Iya... tapi..."
"Nggak. Justru aku mau tahu kesungguhan kamu untuk tidak lagi cari alasan, belum mandilah, mau inilah, mau itulah, ada oranglah. Itu yang jadi setan di hati kamu"
"Tapi kalau belum sholat?"
"Tuhan Maha Tahu. Atau Tuhan memilih aku cari..." Dia kembali membungkam mulutku.
"Ya udah, kamu yang tanggung jawab lho, ya"
"Iya..."
Dia hanya memandangiku keki. "Sekarang mama harus janji. Mau aku apain aja mama mau. Gimana? dan... nggak pake alasan"
"Iya... " jawabnya keki tanpa bersuara.
Akupun bangkit dan membimbingnya berdiri bersandar ke dinding kamar. Aku memeluknya lembut, mengelus punggungnya, pinggangnya dan merabai payudaranya yang lembut dan dingin sehabis mandi. "Pa... hampir setengah enam" sergahnya tiba-tiba.
"Biarin, mau jam tuju, delapan, sepuluh, nggak ada alasan" sergahku sembari terus menciumi bibirnya, dagunya, dadanya, payudaranya.
"Pa... pa...." kembali dia merintih saat aku perlahan mulai menciumi vaginanya. Semula seperti enggan, tapi lama-lama dia membiarkan mulutku, bibirku, lidahku, menjelajahi liang rahasianya. Dia bahkan melangkahkan pahanya, membuka selangkangannya, hingga mulut, bibir dan lidahku bebas menjilat, mengulum-kulum mempermainkan daging-daging mungil kemerahan yang menggelambir di dalamnya.
Beberapa saat kemudian cairan lembut kurasakan keluar membasahi lidahku. Terasa asin, tapi kian membangkitkan gairahku. "Ah.... pa...." Berkali-kali dia mendesah, menggelinjang menekan kepalaku. Kakinya bergetar hingga tertunduk, disangga kedua tangannya yang mencengkeram pundakku.
Aku tergoda sekali dengan desahannya, hentakannya dan getaran tubuhnya. Adik kecilku tak henti menegang dan kian menegang tak tertahankan. Perlahan dan tanpa kusadari seluruh pakaian yang melekat di tubuhkupun terlepas satu-persatu. "Ya Alllah... Subhanallah.... Pa....." Dia terus mendesah dan semakin lama pinggul dan kakinya kian bergetar hebat hingga tubuhnya benar-benar rebah menimpa tubuhku. "Nggak kuat pa.... "
Aku kembali merengkuhnya, membimbingnya hingga kembali berdiri bersadar dinding. Tubuhnya yang lemah merangkul lemah tubuhku. Ketegangan yang sedari tadi mendera adik mungilkupun serasa menemukan pasangan yang dicari. "Subhanalahh....." bersama-sama kami memekikperlahan saat kami mulai menyatu dalam jalinan gairah yang terasa hangat, licin dan serasa bergetar. Ya, bergetar hebat, tak lagi terasa hambar.
Kami benar-benar larut dalam gairah, entah berapa lamanya. Rasa geli dan ngilu serasa memuncak saat akhirnya tubuh kami terguncang bermandikan peluh kehangatan. Kamipun lunglai bersandar dinding kamar.
"Sayang..." bisiknya perlahan setelah beberapa saat kami merasa sedikit tenang. Aku tak menjawab dan hanya mendaratkan ciuman lembut di bibirnya. "Kita mandi, yuk" ajakku kemudian. Sembari memeluknya dari belakang akupun membimbingnya beranjak ke kamar mandi.
Ini adalah acara mandi terindah yang pernah kurasakan. Kami saling beradu ciuman mesra , saling raba dan berpelukan, sementara shower di atas mengguyur tubuh kami dengan senang hati menyertai dengan guyuran air. Setelah mengulas rambutnya dengan setapak shampo, kululurkan sabun di sekujur tubuhnya dengan lembut dan penuh perasaan. Geli lembut terasa nikmat saat dia melulurkan sabun di sekujur tubuhku. Terasa lembut, geli dan kembali bangkitkan hasrat birahi.
Rupanya hasrat yang sama kembali menghangat dalam dirinya. Setelah bersama-sama saling mengguyur air, kamipun kembali larut dalam pelukan. Kami kembali larut saling meraba, mengelus lembut sekujur tubuh masing-masing dan Ciuman mesra menjadi bagian yang tak mungkin kami lewatkan.
Aku terhenyak kegelian saat tanpa kusadari mulutnya sudah mengulum lembut milikku. "Oh... sayang..." rintihku menahan nikmat, saat dia menghisap lembut dan memainkan lidahnya di bagian bawah milikku. Aku benar-benar terbuai rasa geli tak terperi, hingga tubuhku serasa lunglai, lemas dan terduduk di lantai.
Diapun melangkah dan menduduki bagian vitalku hingga kami kembali menyatu saat benda berhargaku tenggelam dalam kehangatan miliknya yang licin. "Sayang..." Dia membangunkanku dari buaian rasa yang tiada terkatakan.
"Kamu senang ya kaya gini?" tanyanya lirih.
Aku menggangguk sembari berkata, "Aku pengen setiap saat kaya gini"
"Aku mau. Setiap pagi aku akan ajak kamu ginian"
"Bener?"
"Hmm...." dia mengangguk "Tapi, harus sholat subuh dulu"
"Iya... Tadi aku hanya mau pastikan nggak ada alasan lagi"
"Oke. Kalau perlu nanti siang aku juga mau" katanya.
"Bener, lho"
"Bener. Siapa takut?" sahutnya.
"Tapi nggak pake alasan apapun"
"OK..."
"Pa..., Ma...." tiba-tiba Si Sulung berteriak-teriak memanggil dari luar kamar.
"Aduh... Udah jam berapa, nih? Mas Sulung kan ada ujian?"
Buru-buru kami bangkit hingga bagian tubuh kami yang menyatu dalam kehangatan terlepas seketika. Kamipun segara berguyur air sekali lagi dan bergegas keluar kamar mandi dan ganti pakaian. Sesaat kemudian kamipun sudah menemani Mas Sulung makan pagi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Aku memang tak mau lagi ada alasan, tapi tidak buat alasan yang satu ini.