Sabtu, 08 Februari 2014

KISAHKU 05 - TAK BISA KE LAIN HATI


Aku sangat tertekan akibat ketidaksetujuan orang tuaku. Hari-hariku dipenuhi ketegangan dengan orang tuaku. Setiap kali bicara soal perjodohan selalu berakhir dengan emosi antara aku maupun orang tuaku. Aku yang selama ini bersikap penurut mulai terbiasa berdebat dengan orang tuaku.
Aku yang dulu tak banyak bicara yang tidak perlu, kini menjadi terbiasa bercerita banyak dengan teman-temanku. Berbagi cerita dengan banyak orang menjadi satu-satunya caraku meluapkan beratnya penderitaan batinku. Praktis, saat-saat terburuk dalam kehidupanku itu menjadi saat latihan berdebat.
Saat ketegangan hubunganku dengan ortu mereda, aku mulai berfikir untuk menuruti kemauan mereka, tetapi dengan syarat lelaki itu harus orang yang aku kenal. Aku mulai berfikir menentukan alternatif lelaki yang bisa kuterima sebagai suamiku. Aku merasa harus berpacu antara pejodohan dan keinginanku menemukan sendiri pasangan hidupku.
Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada lelaki lain yang terdekat dengan kehidupanku. Pilihan pertamaku jatuh pada Sun'an. Anaknya cukup ganteng, tetapi sikapnya padaku tidak begitu jelas. Anak itu sering memberi perhatian padaku sejak semester satu. Berkali-kali dia seperti memberi hati padaku, tetapi tidak pernah dinyatakan secara langsung. Dia bahkan datang ke pernikahan temanku di Banyuwangi yang menurut teman-teman pasti karena ada aku di sana.
Aku kecewa ketika mendekati lelaki itu. Dia masih bersikap seakan menaruh perhatian khusus padaku, tetapi setelah aku menyinggung hubungan yang lebih serius, rupanya dia tidak serius padaku. Dia tidak memberi respon seperti yang aku harapkan. Aku sedikit kecewa karena dia seperti mempermainkan perasaanku.
Suatu hari orang tuaku bertanya, siapa alternatif yang aku bisa terima, aku bercerita tentang temanku Irfan di pondok dulu. Aku merasa dia menyukai aku, dan akupun sedikit banyak tertarik padanya. Dari sahabatku Erwina waktu di pondok dulu, aku tahu beberapa hal tentang lelaki itu, bahkan aku masing ingat nama keluarganya.
Tanpa menunggu lama, tiba-tiba orang tuaku memutuskan mengirim utusan ke rumah Irfan di Madiun. Sebenarnya aku bingung dan tidak enak hati, tetapi tidak ada pilihan lain. Dari utusan ortu itu tak banyak yang aku tahu tentang Irfan, selain kabar bahwa dia mendirikan TPQ di kampungnya.
Berita tentang Irfan baru lebih jelas setelah kakakku ke rumahnya beberapa waktu kemudian. Rupanya Irfan sudah menjadi dosen di kampusnya dan sedang kuliah S2 di Jogja. Aku mulai ragu dengan keputusanku, karena setelah begitu lama menanti anak itu tak juga memberi tanggapan.
Aku semakin resah hingga akhirnya aku merasa tidak ada pilihan lagi. Aku merasa terombang-ambing oleh keputusanku meninggalkan Zaenal. Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku tidak tegas pada pendirianku. Akhirnya kuputuskan untuk berhubungan lagi dengan Zaenal. Kami bahkan semakin dekat dibanding sebelumnya. Itu juga barangkali yang membuat aku merasa tak ingin lepas dari Zaenal.
Bahkan ketika tiba-tiba Irfan menelpon, aku dengan tegas bilang kalau aku tak mungkin ke lain hati. Irfan bahkan sempat ke rumah, tetapi hatiku sudah tertutup untuk siapapun kecuali Zaenal. Aku berfikir, kali ini aku harus berusaha lebih keras agar orang tua merestui hubungan kami. Aku yakin, setiap ada kemauan pasti ada jalan.
Berbagai cara kulakukan dari yang masuk akal hingga yang mistis, tetapi semua hasilnya nihil. Aku bahkan sudah menyiapkan batinku untuk menikah tanpa restu orang tuaku. Zaenal sendiri sudah menyatakan  siap, kalau aku mau nekad, tapi hingga beberapa waktu aku masih berfikir keras melakukannya.
Bagaimanapun aku tetap berharap menikah dengan restu mereka, tapi kondisi Zaenal membuat aku ragu untuk melangkah. Aku sangat berharap Zaenal segera bekerja apapun agar kami siap menjalani hidup bersama, tetapi dia kelihatan begitu santai, dan tidak menyiapkan diri dengan bekerja. Nyaliku masih lemah untuk melakukan itu. Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan Zaenal, sedangkan laki-laki itu belum bekerja. Dia bahkan masih tinggal di pesantren.
Padahal kalau kami menikah tanpa restu orang tua, kami harus siap-siap hidup tanpa mengandalkan orang tuaku. Keluarganya memang cukup mampu, tetapi aku masih ragu apakah mungkin menggantungkan hidup pada mereka. Apalagi orang tua Zaenal kelihatan tidak begitu memfasilitasi materi anak-anaknya. Mobil dan motor saja dikunci, dan hanya dipakai orang tua, bagaimana kalau harus mencukupi kebutuhanku. 
Beberapa lama, keadaanku hanya menggantung tidak jelas. Kedekatanku yang kian jauh dengan lelaki itu membuatku kian tak mungkin ke lain hati, tetapi aku merasa tak ada lagi jalan untuk melangkah. Aku hanya mengandalkan kesabaran untuk meluluhkan hati orang tuaku, meski entah sampai kapan.