Sabtu, 27 Agustus 2011

SINDROM PRANIKAH

Sindrom pranikah (premariage syndrome) adalah gangguan mental yang dialami oleh seseorang menjelang pernikahan dilangsungkan. Gangguan tersebut berupa perasaan ragu, kuatir atau salah mengambil keputusan yang secara tiba-tiba menghantui seseorang yang hendak menikah.
Sindrom ini mengakibatkan seseorang berpikir ulang atas keputusannya. Setelah memutuskan untuk menikah, baik atas kehendak sendiri ataupun dijodohkan oleh orang lain, secara tiba-tiba seseorang merasa ragu atas keputusannya untuk menikah.
Bentuk dari sindrom pranikah adalah sebagaimana perasaan yang biasa dialami oleh mereka yang menikah karena keterpaksaan. Sindrom tersebut ditandai dengan sikap mental atau perasaan:
1.      Berat untuk menjalani pernikahan. Mereka yang didera sindrom pranikah merasa tidak mantap untuk melangkah dalam pernikahan.
2.      Ragu atau maju-mundur untuk meneruskan rencana pernikahan.
3.      Menyesali pilihan atau keputusannya untuk menikah.
Intinya, mereka yang mengalami sindrom pranikah kehilangan kesiapan mental/batin untuk menjalani pernikahan. Harapan-harapan indah yang biasa dialami oleh calon pengantin tersisihkan oleh berbagai hal dan pertimbangan yang mengganggu perasaan.
Sebagian orang yang mengalami sindrom pranikah memilih menunda pernikahannya. Sebagian lagi memilih membatalkan rencananya sebelum pernikahan benar-benar berlangsung, dan sebagian lagi memilih mengakhiri pernikahan beberapa saat setelah pernikahan berlangsung.
Meski demikian, ada pula yang tetap melanjutkan pernikahan meski menanggung berbagai beban perasaan. Meski tidak siap untuk melanjutkan rencana pernikahan, tidak semua orang berani memutuskan untuk membatalkannya.
Penyebab Sindrom Pranikah
Beberapa sebab yang mempengaruhi munculnya sindrom ini, di antaranya:
1.      Keraguan terhadap integritas atau komitmen pasangan.
Ini biasa dialami oleh seseorang yang sebelum memutuskan untuk menikah tidak benar-benar mengenal calon pasangannya. Menjelang membuat keputusan untuk menikah, kadang seseorang hanya mempertimbangkan aspek tertentu.
Setelah rencana pernikahan diputuskan, dia baru mendapati integritas atau komitmen dari calon pasangannya tidak sesuai dengan yang dia idealkan. Sebagai misal, ada seseorang yang mendapati calon pasangannya punya reputasi tertenu yang tidak dapat dia tolerir. Reputasi tersebut baru dia sadari setelah memutuskan untuk menikah.
Contoh lain, ada yang setelah memutuskan untuk menikah, seseorang mendapati calon pasangannya ternyata masih mencintai orang lain, belum menerimanya sepenuh hati, atau bersedia menikah karena alasan-alasan yang tidak dapat dia terima. Ini dapat membuat mental seseorang tidak mantap lagi untuk memasuki pernikahan.  
2.      Kenyataan tentang pasangan yang berbeda dari yang dia pikirkan sebelumnya.
Hampir sama dengan faktor yang pertama di atas, ada sebagian orang memutuskan untuk menikah atas dasar satu pertimbangan. Dia semula tidak mempertimbangkan hal lain, tetapi setelah memutuskan menikah mendapati hal-hal baru yang tidak dapat ditolerir.
Sebagai misal, seseorang memutuskan untuk menikah karena melihat calon pasangannya cantik atau ganteng. Setelah memutuskan untuk menikah, ternyata dia mendapati ada beberapa sifat, perilaku atau kepribadian calon pasangannya yang sulit dia terima.
Akibatnya, dia menjadi ragu atas keputusannya untuk menikah. Dia kehilangan keyakinan bahwa keputusannya untuk menikah dapat membawanya pada kebahagiaan yang dia harapkan.
3.      Campur tangan atau kehadiran orang ketiga.
Tidak jarang calon pasangan menikah ragu atas keputusannya akibat campur tangan orang lain. Seseorang yang memutuskan untuk menikah, tidak jarang tiba-tiba ragu atas keputusannya setelah mendapat informasi dari orang lain mengenai hal-hal yang sulit dia terima pada calon pasangannya.
Ada pula seseorang yang memutuskan untuk menikah karena pertimbangan logika alternatif. Dia memutuskan menikahi seseorang setelah mempertimbangkan beberapa alternatif calon pasangan.
Sekedar contoh sederhananya, ada orang-orang tertentu yang memutuskan untuk menikah dengan menempatkan beberapa alternatif calon pasangan, mulai dari alternatif pertama, kedua, ketiga dan seterusnya. Setelah memutuskan untuk menikahi calon pasangan alternatif kedua atau ketiga misalnya, dia mendapati calon alternatif pertama ternyata bersedia menikah dengannya.
Akibatnya, dia ragu atas keputusannya untuk melanjutkan rencana pernikahan. Mengingat pada umumnya calon pasangan merancang pernikahan untuk selamanya, maka terbukanya alternatif yang lebih baik akan menimbulkan keraguan untuk melanjutkan pilihan pada alternatif yang lebih rendah.
4.      Situasi emosional yang diikuti keputusan yang tergesa-gesa
Sebagian orang memutuskan menikah karena keadaan mental tertentu. Di antara keadaan mental tersebut adalah patah hati, sakit hati, persaingan dan tekanan-tekanan tertentu yang membuat seseorang memutuskan untuk segera menikah.
Keputusan yang didasari oleh situasi emosional biasa mengantarkan seseorang pada keputusan yang salah. Dia baru tersadar setelah keputusan untuk menikah diambil. Ketika keputusan tersebut berbeda dari yang dia idealkan sudah barang tentu akan diikuti dengan serangkaian perasaan ragu untuk melanjutkan rencana untuk menikah dengan seseorang.
5.      Ketidaksiapan untuk menikah atau keraguan pada diri sendiri
Pernikahan membutuhkan kesiapan mental dan materi. Karena alasan atau pertimbangan tertentu kadang seseorang memutuskan untuk menikah. Setelah keputusan diambil, seseorang justru ragu untuk melanjutkan rencananya untuk menikah karena tidak siap secara mental ataupun materi.
Seseorang yang memutuskan untuk menikah tetapi belum memiliki pekerjaan tetap kadang banyak mengalami hal ini. Keraguan semakin besar ketika harus mempersiapkan acara pernikahan yang membutuhkan biaya besar.
Seseorang yang masih memiliki tanggung jawab tertentu kadang juga diliputi keraguan untuk melangkah dalam pernikahan dengan perasaan mantap. Seseorang yang masih terbebani oleh kwajiban menyelesaikan studi, merawat orang tua atau keluarga tidak jarang ragu untuk melanjutkan rencana pernikahan karena pertimbangan-pertimbangan tersebut.
Komitmen sebagai Kunci
Pernikahan pada dasarnya adalah komitmen dua pribadi untuk menjalani kehidupan bersama. Faktor-faktor penyebab munculnya sindrom pranikah tidak berlaku bila pernikahan dimulai dari komitmen pasangan.
Membangun komitmen dengan sendirinya menjadi syarat utama dibangunnya mahligai rumah tangga. Pernikahan yang dilakukan dengan mantap pada umumnya terjadi karena modal komitmen untuk saling mencintai, saling memahami dan saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Keraguan menjelang pernikahan dapat disisihkan bila kedua belah pihak menemukan komitmen yang dapat diterima oleh kedua belah pihak. Selain dapat mengeliminir hal-hal yang menjadi ganjalan masing-masing pihak, komitmen dapat menjadi modal untuk mengambil keputusan bersama, apakah rencana pernikaha dilanjutkan atau tidak. (Red)