Kamis, 06 November 2014

KARMA CINTA

Sejak kecil aku termasuk anak penurut. Prestasiku di sekolah juga cukup menonjol, dan aku juga dianugerahi bakat seni yang lumayan sehingga sering menjuarai lomba nyanyi, nembang Jawa, dan seni baca al-Qur'an hingga tingkat kabupaten. Meski bakatku kurang tersalurkan secara maksimal, tetapi sudah cukup membuatku lumayan dikenal hingga saat aku kuliah.
Sebagai anak normal, tentu saja aku pernah tertarik pada cewek. Aku pernah menyukai beberapa cewek sejak SMP, tetapi hanya berhenti dalam hati. Penyebabnya hanya karena aku tidak percaya diri. Aku terlalu rendah diri terutama di hadapan cewek yang aku sukai.
Aku baru menemukan kepercayaan diri setelah kuliah beberapa semester. Pandanganku berubah drastis setelah cewek-cewek yang pernah aku sukai menyatakan pernah memiliki perasaan yang sama denganku. Aku baru sadar, cowok sepertiku ternyata cukup menarik di mata banyak cewek di sekitarku.
Sejak saat itulah aku mulai berani memacari seorang cewek cantik dan terbilang sangat muda dibanding usiaku.Pacaran pertama kali itu rupanya bukan pengalaman yang indah buatku. Padatnya kesibukanku saat itu membuat aku terganggu oleh kehadiran gadis pujaanku. 
Aku belum siap mengorbankan terlalu banyak waktuku untuk memberi perhatian pada kekasihku. Apalagi sejak semester 5 aku sudah sangat resah memikirkan masa depanku. Hari-hariku terlanjur dipenuhi beribu target agar dalam beberapa tahun ke depan berhasil mandiri dan memiliki pekerjaan yang membanggakan orang tuaku. 
Dengan terpaksa, aku relakan cewek cantik itu lepas dari tanganku. Aku berjanji pada diriku sendiri untuk fokus meraih impianku. Meski ada perasaan sepi, sedih dan menyesal melepas kekasihku, aku benar-benar tak mau terganggu urusan asmara sebelum kuraih mimpiku. Kupastikan cinta sejati itu hanya boleh ada setelah pernikahan. 
Sejak saat itu aku begitu mudah dekat dengan cewek-cewek lain. Aku sadar benar kelebihanku dan daya tarikku saat itu. Aku bisa membuat cewek membukakan hatinya untukku hanya dengan beberapa kata saja.
Masalahnya, aku hanya melakukan itu untuk mengisi rasa sepiku. Aku pasti mundur teratur setiap kali cewek mengajak hubungan lebih serius, sebab hal itu melanggar prinsipku. Aku tak akan membawa cewek ke hadapan orang tuaku, selama aku belum mampu mandiri dan memiliki status yang membanggakan orang tuaku.
Entah berapa gadis menelan kekecewaan padaku. Ada yang diam-diam terluka, dan tak sedikit pula yang memaki dan menumpahkan sumpah serapah padaku. Aku tak mau korbankan masa depanku untuk urusan yang tak penting buatku.
Aku baru menanggapi keseriusan cewek saat impian yang kukejar terasa begitu dekat di depan mataku. Untuk pertama kalinya aku datang ke rumah cewek, dan ternyata ayahnya tidak setuju. 
Cewek itu masih berharap aku berusaha untuk meraih restu, tetapi aku tidak mau. Adalah pantangan besar bagiku bila harus bersitegang untuk urusan asmara. Bagiku, menikah adalah menjemput masalah, dan aku tak mau memulainya dari masalah.
Aku memilih fokus pada duniaku, dan memilih menghibur diri dengan menggoda cewek-cewek cantik di sekitarku. Aku tak tahu berapa nama baru yang harus kembali menelan rasa kecewa karenaku. Di samping fokus pada tujuan hidupku, aku sungguh menikmati masa mudaku sesukaku.
Aku baru berfikir keras soal calon pasangan hidupku saat adik kandungku sudah menemukan calon isteri. Aku memintanya menikah lebih dulu, tetapi dia bersikukuh tak akan melakukannya sebelum aku menikah lebih dulu.
Aku benar-benar bingung karena belum ada cewek satupun yang kupandang cocok di hatiku. Satu-satunya cewek yang ada di hatiku hanya teman lamaku yang pernah membuatku jatuh cinta pada pandang pertama saat awal kuliah dulu.
Meski aku sama sekali tak kenal dekat, dia satu-satunya wanita yang pernah membuatku benar-benar jatuh hati seumur hidupku. Rasa itu tak pernah terungkapkan karena waktu itu aku belum percaya diri, bahkan sedang krisis rendah diri akibat gagal masuk perguruan tinggi negeri.
Masalahnya, dia saat itu sudah memiliki pacar, dan sudah empat tahun berjuang meraih restu orang tuanya. Aku tahu, dengan satu dua kata dia pasti mau denganku, tapi aku ragu bila harus merebut kekasih orang. 
Kian besarnya desakan keluargaku, akhirnya kutelepon gadis itu, dan tak menunggu lama, dia menerimaku. Akhirnya dia melepaskan kekasihnya dan memilih menikah denganku.
---***---
Pernikahan membuat aku bersiap menyongsong fase baru dalam hidupku. Aku akan tepati janjiku sepanjang waktu, di mana lembar cinta sejatiku baru akan kuberikan pada seseorang hanya di mahligai pernikahanku.
Dengan hati berdebar aku sambut hari itu tiba untukku, tetapi entah mengapa aku merasakan beberapa sikap yang aneh pada istriku. Sejak bertemu di pelaminan, aku sama sekali tak melihat senyum di wajah istriku. Raut wajahnya tampak kaku, dan sama sekali tak bergeming saat para tamu, juru rias hingga juru foto memintanya tersenyum.
Usai resepsi pernikahan, dia tampak menjaga jarak dariku. Dia asyik dengan teman-teman kuliahnya tanpa memperkenalkan aku. Dia berganti pakaian sendiri di kamar lain dan seharian membiarkan aku sendiri termangu di kamar pengantin. Dia tak peduli meski meski semua orang menyuruhnya menemaniku.
Dia baru masuk kamar saat senja dan hanya duduk depan meja rias. Dengan raut tanpa ekspresi, tatap matanya begitu tegang seakan hati dan pikirannya menerawang entah ke mana. Saat aku mencium pipi kirinya, dia hanya diam tanpa ekspresi, seakan tak merasakan apa-apa.
Aku mencoba berfikir positif, mungkin ini karena kami memang baru kenal dekat. Apalagi saat malam tiba dia membiarkan aku mendekat dan merengkuh tubuhnya yang rabahan di sisi peraduan. Dia terlihat nyaman saat kami saling berbagi cerita tentang masa lalu yang pernah kami lewati.