Kamis, 13 Februari 2014

ROMANTIKA CINTAKU

Tidak terasa sembilan tahun sudah kisah kasih ini bertaut. Ini waktu yang cukup panjang untuk saling memahami, saling berbagi, dan bahkan terlalu lama untuk disebut memulai. Dia adalah cintaku pada pandangan pertama, meski pada akhirnya bukan kisah kasih yang pertama.
Aku benar-benar terpesona sejak pandangan pertama. Waktu itu di sebuah acara organisasi aku tergetar oleh bening matanya seorang pendamping MC (pembawa acara). Tiada tegur tiada sapa, tapi bayang-bayang dirinya selalu menghantuiku setiap saat. Hanya saja, saat itu aku masih pemalu berat, diapun begitu, dan akhirnya rasa itu serasa hanya berlalu dan berlalu hingga dia jauh meninggalkanku untuk kuliah di kota lain.
Hingga tujuh tahun berlalu, perasaan itu terkubur sangat dalam di hati. Tahun demi tahu berlalu, berjuta kisah lain telah aku lalui, begitu pula dengan dia. Saat aku sudah tidak berfikir lagi tentangnya, bahkan aku sudah lupa wajahnya, tiba-tiba dia datang lagi dengan sebuah harapan.
Semula aku memandangnya sebagai sebuah keanehan, tapi aku tak mau sia-siakan mimpin yang terlalu lama tersembunyi. Gayung bersambut, dan tanpa pacaran dan ini itu, kamipun langsung menuju ke pelaminan.
Setelah pernikahan, ternyata ada terlalu banyak hal yang tidak sejalan di antara kami. Dia bukan gadis yang dulu kupuja dalam hati, dan aku rasa diapun memandang aku begitu. Kami sungguh berbeda dalam segalanya.
Di mataku dia begitu angkuh dan selalu memandang rendah diriku. Dia memandangku seolah terlalu beruntung telah mendapatkannya, dan karenanya aku mesti siap menjadi pelaksana semua perintahnya. Di tengah masa jayaku di saat muda, di saat banyak gadis lain memuji dan mendambaku, dia yang kupilih sebagai istri justeru memandangku tanpa makna.
Aku sungguh menyesali pilihanku saat itu. Bahkan hingga beberapa tahun berjalan. Aku bahkan sempat berfikir untuk mengakhiri kisah ini, tapi tidak mungkin. Nama baik keluarga dan terutama si Lucu tak mungkin aku korbankan demi egoku. Pada akhirnya tinggal daya tahan mental saja menjalani jalinan asmara yang menyedihkan. Perasaan tertekan dan tertekan memenuhi hari-hari dan setiap detik dalam hidupku.
Ternyata pernikahan bener-bener tidak cukup hanya dengan mengandalkan adanya laki-laki dan perempuan, tidak hanya soal kesediaan masing-masing untuk menjalani, tapi juga perlu kecocokan. Sedangkan kami bener-bener pasangan yang sebenarnya sangat tidak cocok. Apapun yang aku katakan pasti ditentang, paling tidak diremehkan. Dia tidak peduli dengan keinginanku, masalahku, apalagi cuma ideku.
Apalagi dalam hal seksualitas, dia sangat-sangat mengecewakan. Beberapa kali aku pernah dekat dengan beberapa wanita sebelum menikah. Aku tahu reaksi anita yang hampir selalu sama, tapi ternyata sungguh berbeda yang kudapati dari pasangan abadiku.
Praktis tahun demi tahun berlalu dengan penuh perasaan tertekan. Aku merasa tidak dicintai oleh seorang yang seharusnya paling mencintaiku. Aku bahkan merasa dianggap beban baginya. Hambar, jemu, muak dan penuh kemarahan, itulah kata yang pas untuk menggambarkan hidup dan jalan perasaanku saat itu.
Tapi rupanya memang better late than never, pada akhirnya perubahan itu datang juga. Tahun demi tahun berlalu, rupanya diapun berubah sikap. Aku mulai memahami mengapa sikapnya begitu, dan diapun mulai memahami aku dan kebutuhanku. Di saat sejawatku mulai jemu dengan jalinan asmaranya, kami justeru tengah menghangat jauh melebihi pengantin baru.

Sabtu, 08 Februari 2014

KISAHKU 04 - DUKA DI CINTA PERTAMA


KKN merupakan momen paling menyenangkan selama kuliah. Selama KKN hubungan pertemanan di kelompok kami begitu akrab dan mengesankan. Kami begitu dekat satu sama lain bahkan hingga jauh hari ketika KKN sudah usai.
Di lokasi KKN aku termasuk peserta yang paling aktif. Aku biasa mengisi kegiatan apapun, terutama menjadi MC. Bekal pengalaman di pesantren cukup berguna selama KKN, karena kebanyakan teman-temanku tidak berani bicara di depan umum. Mungkin itu sebabnya banyak yang tertarik padaku. Banyak masyarakat sana yang berharap bisa menjadikan aku sebagai menantu. 
Apalagi kebetulan pak Lurah di desa itu juga masih bujangan, sehingga aku yang menjadi sasaran olok-olok. Sebagian teman laki-lakiku kelihatannya suka padaku, sikapku saat itu masih tertutup. Lagi pula tidak ada yang berani terang-terangan menyatakan suka padaku, sehingga semua berlalu begitu saja. 
Selama KKN ada salah satu temanku yang sering bareng denganku di beberapa acara, namanya Zaenal, M. Zaenal Abidin, anak Pasuruan. Dia sebenarnya adik kelasku, tetapi ikut KKN bersama angkatanku. Setiap kali aku menjadi pembawa acara, dia biasanya yang menjadi pembicara atau memberi kata sambutan, sebab dia merupakan sedikit di antara teman-teman yang berani bicara di depan umum. 
Perasaanku baru mulai memberontak ketika KKN. Di kegiatan itu aku akrab dengan beberapa laki-laki yang terus terang banyak mengubah pandanganku tentang laki-laki. Sebenarnya belum ada satupun yang menjadi pilihanku, tetapi aku mulai berani membuka mata. Apalagi sikap mereka menunjukkan bahwa sebenarnya ada beberapa yang tertarik padaku.
Aku mulai berfikir untuk melepaskan diri dari mas Samsul. Aku tak ingin menikah karena perjodohan seperti ini. Aku ingin menikah dengan orang yang aku kenal sendiri. Karena itu, aku beranikan diri bilang pada orang tua untuk memutuskan pertunanganku. Meski awalnya mereka menolak, tetapi orang tuaku akhirnya mengabulkan keinginanku.
Aku tidak berfikir apa-apa karena dia adik kelasku. Lagi pula dia juga sudah punya pacar anak Sumatra. Meski begitu dia memang sedikit berbeda dari teman laki-laki kebanyakan, yang kelihatan kurang agamis. Aku menyebutnya orang umum. Sedangkan Zaenal kelihatan lebih paham agama, karena lama tinggal di pesantren bahkan hingga akhir kuliah. Itu sebabnya beberapa teman perempuanku, terutama Mahil, begitu menyukainya, apalagi setelah Zaenal putus dari pacarnya.
Aku sebenarnya bersikap biasa saja ketika tahu dia menyukaiku, tetapi entah kenapa akhirnya aku merasa cocok dengannya. Aku merasa nyaman bila bicara dengannya. Dari segi latar belakang keluarga dan agamanya, dia satu-satunya temanku yang aku rasa sepadan (kufu) denganku. Hingga beberapa waktu sesudah kuliah, tidak ada komitmen apa-apa antara aku dan dia, tetapi jujur kuakui, aku merasa nyaman bersamanya, berbicara atau jalan bersama teman-teman ke sana ke mari.
Ketika orang tuaku menanyakan lelaki mana yang jadi pilihanku, spontan aku menunjuk dia. Aku sangat shock ketika orang tuaku ternyata tidak menyetujui. Alasan mereka sangat tidak masuk akal. Mereka menolak pilihanku hanya karena aku anak ketiga dan dia anak pertama. 
Berbagai dalil dan argumen kuberikan, tetapi orang tuaku tetap tidak bergeming. Aku mencoba bertahan beberapa lama, mencari dukungan sanak saudara, minta dukungan tokoh-tokoh agama, bahkan tokoh spiritual (dukun), tetapi orang tuaku benar-benar tak berubah sikap. Emosi ayah bahkan spontan meledak-ledak setiap kali kami membicarakan masalah itu.

KISAHKU 05 - TAK BISA KE LAIN HATI


Aku sangat tertekan akibat ketidaksetujuan orang tuaku. Hari-hariku dipenuhi ketegangan dengan orang tuaku. Setiap kali bicara soal perjodohan selalu berakhir dengan emosi antara aku maupun orang tuaku. Aku yang selama ini bersikap penurut mulai terbiasa berdebat dengan orang tuaku.
Aku yang dulu tak banyak bicara yang tidak perlu, kini menjadi terbiasa bercerita banyak dengan teman-temanku. Berbagi cerita dengan banyak orang menjadi satu-satunya caraku meluapkan beratnya penderitaan batinku. Praktis, saat-saat terburuk dalam kehidupanku itu menjadi saat latihan berdebat.
Saat ketegangan hubunganku dengan ortu mereda, aku mulai berfikir untuk menuruti kemauan mereka, tetapi dengan syarat lelaki itu harus orang yang aku kenal. Aku mulai berfikir menentukan alternatif lelaki yang bisa kuterima sebagai suamiku. Aku merasa harus berpacu antara pejodohan dan keinginanku menemukan sendiri pasangan hidupku.
Aku mencoba mengalihkan perhatianku pada lelaki lain yang terdekat dengan kehidupanku. Pilihan pertamaku jatuh pada Sun'an. Anaknya cukup ganteng, tetapi sikapnya padaku tidak begitu jelas. Anak itu sering memberi perhatian padaku sejak semester satu. Berkali-kali dia seperti memberi hati padaku, tetapi tidak pernah dinyatakan secara langsung. Dia bahkan datang ke pernikahan temanku di Banyuwangi yang menurut teman-teman pasti karena ada aku di sana.
Aku kecewa ketika mendekati lelaki itu. Dia masih bersikap seakan menaruh perhatian khusus padaku, tetapi setelah aku menyinggung hubungan yang lebih serius, rupanya dia tidak serius padaku. Dia tidak memberi respon seperti yang aku harapkan. Aku sedikit kecewa karena dia seperti mempermainkan perasaanku.
Suatu hari orang tuaku bertanya, siapa alternatif yang aku bisa terima, aku bercerita tentang temanku Irfan di pondok dulu. Aku merasa dia menyukai aku, dan akupun sedikit banyak tertarik padanya. Dari sahabatku Erwina waktu di pondok dulu, aku tahu beberapa hal tentang lelaki itu, bahkan aku masing ingat nama keluarganya.
Tanpa menunggu lama, tiba-tiba orang tuaku memutuskan mengirim utusan ke rumah Irfan di Madiun. Sebenarnya aku bingung dan tidak enak hati, tetapi tidak ada pilihan lain. Dari utusan ortu itu tak banyak yang aku tahu tentang Irfan, selain kabar bahwa dia mendirikan TPQ di kampungnya.
Berita tentang Irfan baru lebih jelas setelah kakakku ke rumahnya beberapa waktu kemudian. Rupanya Irfan sudah menjadi dosen di kampusnya dan sedang kuliah S2 di Jogja. Aku mulai ragu dengan keputusanku, karena setelah begitu lama menanti anak itu tak juga memberi tanggapan.
Aku semakin resah hingga akhirnya aku merasa tidak ada pilihan lagi. Aku merasa terombang-ambing oleh keputusanku meninggalkan Zaenal. Aku bertanya pada diriku sendiri, mengapa aku tidak tegas pada pendirianku. Akhirnya kuputuskan untuk berhubungan lagi dengan Zaenal. Kami bahkan semakin dekat dibanding sebelumnya. Itu juga barangkali yang membuat aku merasa tak ingin lepas dari Zaenal.
Bahkan ketika tiba-tiba Irfan menelpon, aku dengan tegas bilang kalau aku tak mungkin ke lain hati. Irfan bahkan sempat ke rumah, tetapi hatiku sudah tertutup untuk siapapun kecuali Zaenal. Aku berfikir, kali ini aku harus berusaha lebih keras agar orang tua merestui hubungan kami. Aku yakin, setiap ada kemauan pasti ada jalan.
Berbagai cara kulakukan dari yang masuk akal hingga yang mistis, tetapi semua hasilnya nihil. Aku bahkan sudah menyiapkan batinku untuk menikah tanpa restu orang tuaku. Zaenal sendiri sudah menyatakan  siap, kalau aku mau nekad, tapi hingga beberapa waktu aku masih berfikir keras melakukannya.
Bagaimanapun aku tetap berharap menikah dengan restu mereka, tapi kondisi Zaenal membuat aku ragu untuk melangkah. Aku sangat berharap Zaenal segera bekerja apapun agar kami siap menjalani hidup bersama, tetapi dia kelihatan begitu santai, dan tidak menyiapkan diri dengan bekerja. Nyaliku masih lemah untuk melakukan itu. Aku tidak bisa membayangkan hidup dengan Zaenal, sedangkan laki-laki itu belum bekerja. Dia bahkan masih tinggal di pesantren.
Padahal kalau kami menikah tanpa restu orang tua, kami harus siap-siap hidup tanpa mengandalkan orang tuaku. Keluarganya memang cukup mampu, tetapi aku masih ragu apakah mungkin menggantungkan hidup pada mereka. Apalagi orang tua Zaenal kelihatan tidak begitu memfasilitasi materi anak-anaknya. Mobil dan motor saja dikunci, dan hanya dipakai orang tua, bagaimana kalau harus mencukupi kebutuhanku. 
Beberapa lama, keadaanku hanya menggantung tidak jelas. Kedekatanku yang kian jauh dengan lelaki itu membuatku kian tak mungkin ke lain hati, tetapi aku merasa tak ada lagi jalan untuk melangkah. Aku hanya mengandalkan kesabaran untuk meluluhkan hati orang tuaku, meski entah sampai kapan.