"Makan dulu" Ajak Tutik. Tanpa
menjawab Zaenal langsung duduk di sisi Tutik. Dengan cekatan, wanita itupun
mengambilkan nasi untuk Zaenal. "Segini cukup?" Tanya wanita itu.
Zaenal hanya mengangguk dan mengambil lauk pauk sendiri.
"Badanku lemes banget nih, Tut.
Rasanya ngantuk banget lagi" Celetuk Zaenal memecah suasana.
"Makanya tidur sini aja" Sahut Tutik.
"Nggak enak sama Tutik, soalnya
anakku agak panas badannya" Sahut Zaenal lagi.
"Memang kamu bisa bawa mobil?"
Tanya Tutik.
"Ya, nanti istirahat kalau
ngantuk" Kilah Zaenal.
"Nal..." Ucap Tutik lirih
sembari memegangi tangan lelaki itu.
"Aku ingin kamu temeni" Lanjut Tutik
merengek manja. Sejenak Zaenal hanya diam lalu menghela nafas.
"Aku pengennya juga gitu, Tut.
Masalahnya, entar Tutik curiga lagi. Trus kalau suami kamu pulang kan nggak
enak?" Kilah Zaenal.
"Aku bilang suamiku biar nggak pulang
dulu kan bisa?" Rengek Tutik lagi
"Tutik, Aku juga pengen banget
bersamamu, bukan hanya malam ini, tapi selamanya" Ucap Zaenal lirih
sembari memandang lembut ke wajah Tutik, hingga membuat wanita itu begitu
terbuai suasana.
"Aku ingin memilki kamu selamanya,
bukan hanya hari ini" Lanjutnya.
"Aku bener-bener nggak bisa hidup tanpamu.
Aku merasa kamu juga begitu. Hati kita benar-benar satu dan tak mungkin
dipisahkan oleh apapun" Lanjutnya serius.
Tutik tertegun mendengarnya, dan hanya
bisa diam memandangi wajah lembut mantan pacarnya itu. Sejenak wanita itu
menghela nafas seakan hendak bicara, tapi tak tahu apa yang harus dia katakan.
"Bahkan terus terang, aku ingin
menikahi kamu" Lanjut Zaenal serius.
Kata-kata Zaenal terakhir itu menghentak
perasaan Tutik begitu rupa. Wanita itu tak menyangka Zaenal berharap sejauh
itu. Padahal sebelumnya mereka sepakat untuk memadu cinta sekedar melepaskan
beban kerinduan yang selama ini terpendam tanpa harus mengakhiri rumah tangga
masing-masing.
"Tut... Tutik" Zaenal
membangunkan Tutik dari lamunannya,
"Oh... Iya, Nal" Sahut Tutik gelagapan.
"Kenapa? Kamu nggak mau?" Tanya
Zaenal meyakinkan, yang membuat Tutik tak tahu harus berkata apa.
"Emm.... Lalu istrimu
bagaimana?" Tanya Tutik.
"Suamimu bilang, kalau kamu mau aku
boleh memadu kamu" Jelas lelaki itu.
"Memaduk? Ih, enggak ah" Sergah Tutik.
"Terus gimana, dong" Rengek
Zaenal.
"Hemmm... Aku maunya kamu jadi
milikku saja. Aku nggak siap kalau dimadu" Gerutu Tutik.
"Terus, apa kita mau seperti ini
terus? Kan nggak enak sama suami kamu?" Zaenal berusaha meyakinkan.
"Dia kan nggak masalah?" Kilah Tutik.
"Tut, bagaimanapun suamimu juga
manusia. Dia punya perasaan. Kamu nggak mikir bagaimana perasaan dia
sebenarnya?"
"Coba bayangkan kalau kamu jadi dia.
Padahal jadi istri kedua saja kamu nggak mau" Jelas Zaenal lagi.
Tutik hanya diam. Beberapa saat wanita itu
benar-benar tak tahu harus bicara apa. "Pokoknya aku nggak bisa Nal kalau
dimadu" Gerutu Tutik.
"Masalahnya lagi, apa suami kamu
bener-bener bisa terima kamu?" Tanya Zaenal yang kembali tak dijawab oleh Tutik.
"Memangnya kenapa?" Tiba-tiba Tutik
balik bertanya.
"Kurasa dia sengaja melepas kamu. Dia
nggak mau lagi sama kamu. Itu sebabnya dia biarkan kita melakukan semua
ini" Jelas Zaenal serius.
"Atau dia memang berharap kamu
ijinkan dia melakukan hal yang sama?" Lanjut Zaenal. Tutik hanya terdiam
dengan pikiran kosong.
"Enggak, dia nggak gitu"
tiba-tiba Tutik bicara memecah kebekuan.
"Terus mau kamu gimana?" Tanya
Zaenal.
"Aku nggak mau kehilangan kamu"
Sahut Tutik cemberut sembari bergelayut manja di pundak laki-laki itu.
"Kamu mau lepas dari suamimu?"
Sahut Zaenal bertanya, tetapi Tutik hanya menghela nafas melepas kebingungan
hatinya.
"Tut..." Zaenal
menggoyang-goyangkan tubuh Tutik, tetapi wanita itu diam saja.
"Aku nggak mungkin pisah dari
suamiku, Nal" Ucap Tutik lirih.
"Dia terlalu baik padaku meski dia
tahu aku mencintaimu" Sambungnya.
"Terus akan berapa lama kita
begini?" Tanya Zaenal heran.
"Selamanya" Sahut Tutik santai.
"Hah?" Zaenal terperangah.
"Pokoknya jangan pulang. Kamu milikku.
Aku nggak mau kamu menyentuh istrimu" Rengek wanita itu.
"Ya nggak mungkinlah, Tut. Hubunganku
dengan istri selama ini baik-baik saja" Sergah Zaenal heran.
"Pokoknya aku nggak rela" Rengek
Tutik memaksa.
"Tut...., Kamu jangan egois gitu,
dong"
"Aku nggak bisa, Nal. Aku nggak bisa
biarkan kamu nyentuh wanita itu. Tapi aku tahu, bagaimana lagi?" Sahutnya.
"Udah. Pokoknya malam ini kamu jangan
pulang dulu" Pinta Tutik lagi.
"Tut... Jangan gitu, dong. Anakku
lagi sakit. Lain kali saja, ya?" Kilah Zaenal.
"Please..." Pinta Zaenal serius.
Sejenak kemudian lelaki itu bangkit dari kursi makan, lalu bergegas mengambil
kunci mobilnya.
"Nal...." Rengek Tutik sembari
memeluk lelaki itu yang dibalas dengan pelukan dan kecupan mesra.
"Aku sayang kamu, Tut" Ucap
lelaki itu dengan tatapan penuh sayang.
Lelaki itu beranjak menuju mobilnya
setelah kembali mengecup bibir wanita itu dalam-dalam. Tutik tak henti
memandangi lelaki itu hingga mobilnya melaju di jalanan.
Tiba-tiba rasa kantuk yang sejak tadi
teramat berat membebani mata Tutik kian tak tertahankan. "Papa pulang,
dong" Wanita itu menelponku.
"Lho, kan ada Zaenal?" Tanya
suaminya di seberang telepon.
"Dia pulang. Anaknya sakit"
Sahut Tutik.
"Waduh, nggak ada yang kelonin,
dong" Godaku.
"Hemm... Cepetan pulang, ya? Aku
sendirian, nih" Rengeknya manja.
"Oke, oke" Jawabku.
"Mungkin nyampe rumah sudah tengah
malam" Sambungku sebelum mengakhiri telepon.
Setelah mengunci pintu, Tutik merebahkan
tubuhnya di tempat tidur. Bayang-bayang indah kebersamaannya dengan Zaenal hari
ini terpendar dalam wajahnya yang pucat kelelahan dan membawanya tenggelam
dalam tidur yang teramat lelap.