Senin, 16 Juli 2012

MENGEMBALIKAN KEPERCAYAAN SUAMI


Saya adalah seorang ibu yang beberapa bulan lalu pernah konsultasi karena susah lepas dari mantan pacar. Terus terang, saya kurang menuruti nasehat ibu. Sejak saat itu saya tetap berhubungan dengan mantan pacar saya. Selain berat sekali, saya pikir tidak ada salahnya saya tetap berhubungan, karena saya berusaha menganggap dia hanya sebagai teman. Apalagi saya juga tetap bersikap baik pada suami seperti biasa.
Saya malah berniat menjelaskan ke suami perihal hubungan saya, bahkan berencana mengajaknya berkenalan dengan mantan pacar agar suasananya berbeda, tapi rupanya suami lebih dulu tahu. Tanpa saya sadari, rupanya suami merekam telepon saya, mendownload email dan SMS saya. Saya sempat kesal dan sangat marah karena merasa tidak dipercaya lagi, tapi suami diam saja. Dia orangnya memang pendiam, tapi sejak saat itu kami tidak saling sapa beberapa hari.
Beberapa hari kemudian suami bilang sangat kecewa dan tak lagi percaya pada saya. Dengan wajah sedih, dia bilang tak ingin lagi bersama saya. Dia menganggap hubungan kami sudah tidak ada artinya, sudah berakhir. Berulang kali dia bilang ingin bercerai, tapi belum berani memutuskan karena mempertimbangkan anak-anak.
Terus terang saya merasa sangat shock. Saya tidak membayangkan sikap suami akan sejauh itu. Saya sudah berusaha menjelaskan berulang kali bahwa saya hanya berteman, tidak lebih, tapi suami seperti tak mau mengerti. Kami  sering berdebat panjang tanpa kesimpulan. Dia begitu kukuh dengan penilaiannya. Saya sempat curiga dia ada “apa-apa”, sehingga mencari-cari kesalahan saya.
Saya sedih, mengapa di saat saya berusaha mengubah sikap saya pada mantan pacar, justeru semuanya memburuk? Saya benar-benar kehabisan akal untuk menjelaskan. Saya sudah tun jukkan berbagai argumen betapa mantan pacar saya itu bukan apa-apa dibanding suami dan keluarga yang saya miliki, tapi sepertinya suami sudah tak bisa percaya lagi.
Terus terang saya takut suami benar-benar menceraikan saya. Saya tak bisa membayangkan seperti apa jadinya keluarga saya, terutama anak-anak. Kadang saya merasa bodoh karena terlambat mengikuti saran ibu, tapi rasanya tidak rela dituduh seolah telah berselingkuh.
Meski saya akui sempat ada perasaan khusus, tapi hubungan kami masih wajar-wajar saja. Kami cuma telepon, sms dan email, tak sekalipun pernah kontak fisik, tapi mengapa di mata suami sepertinya perbuatan saya tidak bisa dimaafkan lagi?
Meski bawaannya diam, suami saya seperti sudah gelap mata. Dia tetap memvonis saya seolah sudah melakukan kesalahan besar. Saya merasa sangat terpojok oleh kata-katanya, yang menurut saya tidak sepadan dengan kesalahan saya.
Saya benar-benar kuatir, cepat atau lambat hal yang saya takutkan akan terjadi. Saya ingin memperbaiki hubungan saya dengan suami, tapi mungkinkah? Bagaimana membuat dia percaya pada penjelasan saya? Bagaimana caranya mengembalikan kepercayaannya? Mohon jawaban secepatnya, sebab saya tak ingin salah bertindak dan terlambat mengambil sikap.
Ny. F - somewhere

Senin, 09 Juli 2012

MAAF, AKU TAK MUNGKIN JUJUR PADAMU


Menyenangkan sekali bisa berhubungan kembali dengan mantan pacar. Eh, sebenarnya bukan mantan sih…, soalnya aku dan Zaenal sudah sepakat tak akan pernah ada kata putus di antara kami. Aku senang kesepakatan itu dia tepati.
Senang rasanya bisa kembali berbagi kabar berita dengannya, berbagi cerita, berbagi canda tawa seperti dahulu kala, dan sesekali mendengar kembali bujuk-rayunya. Lega rasanya bisa menumpahkan kerinduan yang sekian lama tersimpan di dada. Bahagianya hatiku mendengar dia bilang masih suka padaku seperti saat dulu masih bersama, dan tak pernah berubah, meski dia telah bahagia dengan keluarganya.
Sejak kembali bisa bicara nyaman dengannya, aku menjadi selalu ingin kontak dia lagi dan lagi. Setiap kali memegang handphone, aku selalu tak sabar untuk segera menghubunginya.Aku merasa tak sabar menunggu balasan SMS darinya. Aku tahu kapan dia bisa dihubungi dengan bebas, diajak bertukar SMS silih berganti, atau telepon seolah tak mampu berhenti. Bersamanya benar-benar menjadi penghibur duka, di tengah beribu beban dan masalah yang tak henti mendera.
Dia lelaki paling sempurna di mataku. Selain pribadinya teramat baik, dia sosok yang paling bisa "ngemong" aku. Adikku, Anny, selalu bilang, Mas Zaenal adalah tempat curhat ternyaman. Akupun merasakan itu. Dekat dengannya selalu memberikan kedamaian yang tak pernah kudapatkan dari siapapun, termasuk mas Irfan, suamiku sendiri.
Sayangnya, pasangan resmiku ternyata mengetahui semua. Dia begitu kecewa karenanya. Seketika aku tak bisa berkata-kata, saat dia mengatakan semuanya. Aku sadar telah melukai hatinya. Diam-diam aku memang bermain hati di belakangnya, tapi aku tak rela dia menganggapku telah mengkhianatinya.
Saat kesedihannya mulai mereda, aku berusaha memperbaiki semua. Aku berusaha keras meralatnya. Berulang kali kutegaskan padanya, bahwa aku hanya berteman saja. Aku harap dia menganggap semua itu hanya sebagai hal biasa. Kuharap dia tak lagi mempersoalkannya, karena aku merasa tak melakukan apa-apa.
Dia memang tidak murka, meski raut kekecewaan begitu jelas memenuhi hari-harinya. Beribu penjelasanku ternyata percuma, bahkan hanya menambah duka hatinya, membuat aku semakin tak berharga di matanya. Kata-kataku hanya angin lalu baginya, bahkan membuatnya kian tak percaya, dan sama sekali kehilangan rasa percaya.
Aku kehilangan jalan untuk kembali meyakinkannya. Tanpa kusadari, penjelasan-penjelasanku yang begitu banyak justeru menegaskan betapa aku hanya berdusta. Di matanya aku tak lebih dari pendusta yang berusaha menutupi dusta dengan dusta.
Kuakui, aku memang tak mampu memberi penjelasan masuk akal padanya. karena dia terlalu banyak tahu lebih dari yang aku duga. Meski begitu, aku tak pernah menyerah untuk membenarkan diriku. Sering kali aku balik menyerang dia, terutama masa lalunya, tapi hanya mempertegas kedunguanku di hadapannya. Dia justeru kian yakin, betapa aku hanya berusaha menutupi kesalahanku.
Aku tahu dia hanya butuh kejujuran dariku, tapi aku tak mungkin  memberikannya. Aku tak mau dia menganggapku telah mengkhianatinya. Aku lebih suka berharap dia akan mempercayai ocehan bodohku suatu hari nanti, meski sepertinya sia-sia. Aku tahu perasaannya padaku tak lagi sama. Baginya, kehadiranku tak lagi seberarti masa-masa sebelumnya. Rasa tanggung jawab saja yang membuatnya bertahan. Andai bukan karena buah hati yang terlalu berharga baginya, dia pasti memilih mengakhiri kisahku bersamanya.
Sejauh ini dia baik-baik saja, tapi kuakui ada ruang hampa antara aku dan dia. Aku sadar dia hanya menempatkan aku sebagai teman di kehidupannya, bukan lagi sebagai kekasih. Sikapnya bahkan menegaskan betapa sebenarnya dia tak lagi membutuhkan aku meski tetap hidup bersama. Dia terlanjur memiliki keyakinan sendiri tentang aku. Dia memilih cara sendiri untuk menata hatinya di hadapanku, dan aku tak tahu bagaimana mengubahnya.
Kadang aku ingin memberikan kejujuran yang dia minta, tapi harga diriku terlalu berat melakukannya, tapi aku tak yakin akan memperbaiki keadaan. Dia manusia biasa, bukan malaikat. Aku tak yakin dia bisa menerima kenyataan di hatiku, sebab aku sendiri merasa berat menerima bila dia mengatakan yang tak aku inginkan.