Sabtu, 30 Juni 2012

SAAT MEMUTUSKAN MENIKAH


Saat aku memutuskan menikah, pada dasarnya aku belum merencanakannya dalam waktu dekat. Aku sadar, usiaku tidak terlalu muda lagi untuk terus membujang, tetapi study S3 yang baru aku tempuh menyita hampir seluruh perhatianku. Aku bahkan tengah berfikir keras bagaimana menyelesaikan studi itu lebih cepat dari kebanyakan kolegaku.
Aku bukan belum membutuhkan wanita. Aku bahkan sudah sangat membutuhkan seseorang yang pasti akan mendampingi hidupku, tetapi aku kehilangan sosok ideal, sehingga tak pernah ada yang benar-benar sempurna di mataku. Mungkin benar kata orang, pertambahan usia menjadikan seseorang kehilangan pilihan, dan itu terjadi padaku.
Kesibukan dan kesendirianku membuat aku tak merasa harus tergesa-gesa untuk memutuskan pilihan. Aku pasti akan terus merasa baik-baik saja, bila saja adikku tidak mendorongku untuk segera menikah. Aku tak mungkin membiarkannya terus membujang seperti aku, karena dia bilang tidak akan menikah sebelum aku.
Saat itu aku terlalu percaya diri, tak perempuan yang akan menolakku, termasuk kamu. Meski begitu aku selalu berfikir, tahun-tahun pertama rumah tanggaku pasti tak akan mudah. Saat itu aku masih kuliah, mencukupi kebutuhan sendiripun bukan hal mudah. Padahal pekerjaanku belum benar-benar mapan dan layak diandalkan. Itu sebabnya, aku selalu berfikir, menikah adalah menjemput masalah.
Karena aku harus segera melangkah, akupun bertanya pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya kucari dalam hidupku. Akupun menyederhanakan kriteriaku. Aku butuh perempuan yang dari segi karakter dan fisik sesuai kriteriaku, yang cukup dewasa untuk mendampingi hidupku, yang mencintaiku dan hanya mencintai aku.
Di antara semua wanita yang ada di hadapanku, hanya kamu yang terbaik di mataku. Aku bahkan telah jatuh hati padamu sejak pandangan pertama. Hanya saja, sejujurnya ada satu yang menjadi pertimbanganku. Aku selalu berfikir dua kali untuk menjalin hubungan serius dengan perempuan yang telah berhubungan dengan lelaki lain, apalagi dengan kisah sedramatis kamu. 
Aku ingin seseorang yang hanya mencintaiku, tapi aku membuang beberapa kriteria itu karena aku pasti menyesal bila harus kehilangan kamu. Akhirnya kuputuskan menikahimu, meski akhirnya segudang perasaan ragu menghantuiku hingga hari  pernikahan. Bahkan hingga malam pertama kita, aku selalu bertanya, mengapa pernikahan tak seindah cerita orang.  
Aku begitu kecewa pada sikapmu. Sejak memutuskan menikah, sikapmu tampak tidak simpatik padaku. Aku merasa kamu belum menerimaku seutuhnya. Aku merasa kamu hanya terpaksa mengikuti kehendak orang tua.
Malam-malam pengantinku memberiku jawaban atas beribu tanya. Aku tahu mengapa aku merasa tak begitu berarti di hadapanku. Rupanya keraguanku bukan kenyataan semu. Batinmu memang belum sepenuhnya bisa menerimaku, meski kamu telah benar-benar bersedia menjadi istriku.
Kamupun mengakui semua itu, saat meminta aku mengerti perasaanmu, “Aku sudah empat tahun bersamanya, sedang dengan kamu baru kenal berapa bulan?”  Berulang kali kamu mengulangi beberapa kalimatmu, sekedar menegaskan betapa berartinya orang itu bagimu. “Dia itu sangat baik. Tak sekalipun aku melihat dia marah” Kamu juga menegaskan bahwa kalian mungkin tak bisa menikah, tapi bukan berarti kalian bisa berpisah, “Kami tak mengenal kata putus” begitu ucapmu entah berapa kali di hadapanku. Tangisan demi tangisanmu setiap kali bercerita tentang masa lalu menegaskan betapa kamu masih mencintai seseorang di luar sana.
Kalimat itu selalu terngiang-ngiang di telingaku. Rasa ragu yang sebelumnya begitu mengganggu berubah menjadi rasa kecewa yang sangat dalam, rasa penyesalan yang tak henti menyiksa hari-hari awal pernikahanku. Setiap hari aku menangis. Aku selalu menyesali betapa bodohnya aku. Aku telah menikah seseorang yang sebenarnya masih mencintai orang lain.
Terus terang aku sempat berniat mengakhiri pernikahan sejak hari-hari pertama pernikahan kita. Aku tersiksa dengan kisah ini, tapi aku tak tega melihatmu meratap mengiba dan akupun mengurungkan niatku. Aku kian tak berdaya saat melihat sikap ibuku yang begitu sedih mendengar kisahku.
Perlahan kembali aku tata hatiku, mengubah cara pandangku padamu, melepas dan membuang jauh-jauh egoku. Aku mulai menatapmu dengan tatapan iba. Aku berubah, memandangmu matamu yang begitu lama tersiksa oleh kegagalanmu bersamanya. Aku tak peduli lagi dengan hatiku. Aku hanya merasa betapa aku tak punya hati, betapa egoisnya aku, betapa jahatnya aku, bila kehadiranku hanya menambah deritamu itu dengan kegagalan kedua.