Sabtu, 18 Februari 2012

TELEPON TERAKHIR


Aku begitu terpukul setelah tahu suamiku menyadap telponku dengan Zaenal. Aku tak punya pilihan lagi selain harus menjaga jarak dari mbak Umi dan teman-teman baikku yang lain. Padahal mereka sebenarnya nggak ada hubungannya dengan Zaenal.
Mbak Umi memang punya peran besar dalam hubunganku dengan Zaenal, tetapi persahabatanku dengan Mbak Umi sama sekali nggak ada kaitannya dengan dia. Aku begitu marah ketika dia dikait-kaitkan dengan lelaki itu. Selama ini aku kontak Zaenal memang karena mbak Umi, tetapi kan juga karena ada teman-teman yang lain.
Tapi apa boleh buat, mas Irfan rupanya benar-benar nggak mau tahu. Susah menjelaskan ke dia yang sudah memvonis aku seperti itu. Dengan terpaksa aku putuskan untuk tak lagi berhubungan dengan mbak Umi dan semua teman lamaku.
Beberapa hari ini aku tidak nyaman lagi memakai handphone. Aku memilih telepon dari rumah Emak, dan kuharap mas Irfan tidak tahu yang aku lakukan. Untung saja mbak Umi bisa mengerti. Padahal orang itu terlalu baik di mataku. Aku tak kuasa menahan tangisku saat harus mengakhiri persahabatanku dengan mereka, semata-mata demi menjaga keutuhan keluargaku. "Sepurane yo, mbak. Sak jane aku gak niat membuka masalah keluargaku kepada siapapun, tetapi apa boleh buat"
"Yo, Nyik. Aku ngerti. Yo mugo-mugo ae masalahe sampeyan cepet mari. Dongo dinongo ae"
Aku sengaja nggak telpon Zaenal. Aku nggak mau nambah masalah lagi. Meski aku nggak kasih tahu, aku berharap dia akan diberitahu mbak Umi dan mengerti keadaanku sekarang ini.
Beberapa hari ini hidupku benar-benar tidak nyaman. Sikap mas Irfan yang dingin membuatku serasa di ujung tanduk. Aku tahu dia tidak akan mengakhiri pernikahan ini, karena dia begitu sayang pada anak-anak.
Aku hanya kuatir dia akan melakukan sesuatu pada Zaenal, sebab diam-diam mas Irfan itu sangat tegaan. Dia sangat baik, tetapi kalau merasa tersakiti, dia akan melakukan sesuatu yang jauh lebih buruk dari yang dia terima.
Dari pada kepikiran, akhirnya aku telepon saja Zaenal lewat telepon rumah Emak. "Kon wis dikandani mbak Um, ta?"
"Yo, wis. Awakmu kok kathek telpon barang. Gak kuatir ta karo bojomu?"
"Iki nggae telpon omahe emak"
 "Aku bener-bener gak nyongko. Rasane koyo wong mlaku enak-enak terud ditabrak motor"
"Ga usah ngomong ngonolah"
"Iyo. Maksudku, prasaku gak nglakoni sing aneh-aneh, ngerti-ngerti dituduh sing enggak-enggak"
"Ncen kudune terus terang ae karo bojo. Lek aku telpon utowo SMS teko nggonmu tak duduhno bojoku. amrih podo padange"
"Mas Irfan iku gak podo karo umume uwong. Dekne iku yakin banget karo pendapati dewe. Wis, pokoke angelah ngomong karo dekne itu"
"Padahal prosoku yo ra ngomong sing aneh-aneh, to?"
"Iyo tapi kanggone dekne iku wis dianggep kesalahan fatal kae. Tapi yo embuh wis. Ngeneki ra kenek diomong, kok. Makane sepurane yo"
:"Ora popo. Ncen ngomong karo wing pinter iku angel kok. Sing penting keluargamu iso rukun maneh. Podo dongo dinongolah"
"Aku cuma kuatir mas Irfan engko terus ngapak-ngapakno awakmu. Soale koyo Fahmi kae yo ngono"
"Alah. Ra masalah"
"Dekne iku iso banget ngono iku"
"Wis ta tenang ae"
"Yo wis. Sepurane yo?"
"Wis podo-podo. Dongo dinongo ae"
"Hem... eh. Yo wis ngono ae yo?"
"Iyo. salam kanggo Umikmu"
"Iyo. Yo wis assalamu alaikum"
"Wa alaikum salam"
Aku nggak menyangka harus mengakhir hubunganku dengan dua orang yang paling baik di mataku. Demi keutuhan keluargaku, aku benar-benar harus mulai hidup tanpanya, mungkin seumur hidupku. Hanya lewat gagang telepon ini aku memberinya kecupan terindahku.
"Selamat berpisah kekasihku. Cintaku bersamamu selalu" 

PERAWAN TULEN - 5


Lewat seminggu sudah pernikahanku berlalu kami habiskan dengan berbagi cerita dan kemesraan. Istriku kelihatan bahagia dengan pernikahan ini, tapi aku masih sangat penasaran, karena belum sekalipun kami berhasil melakukan hubungan intim, bahkan saat acara resepsi pernikahan di rumahku siang tadi.
"Mas, kayaknya mens-ku sudah selesai" Begitu istriku bilang sesaat setelah ke kamar mandi.
"Iya?" Tanyaku kegirangan. Dia hanya mengangguk sembari mengulum senyum. Mungkin dia benar-benar menilaiku aneh untuk urusan itu.
"Tadi aku cukur lagi. Soalnya gatel karena rambutnya mulai tumbuh" Imbuhnya.
"Berarti harus kuperiksa dulu" Sahutku sembari menariknya rebah di atas tempat tidur. Diapun hanya menurut saja, dan kamipun kembali tenggelam dalam kemesraan yang dalam.
Dia selalu terlihat keki setiap kali aku lepaskan seluruh pakaian yang melekat di tubuhnya satu persatu. Dia selalu menyergah keki saat aku melepaskan kancing BH-nya. Dia bahkan meleguh keras setiap kali aku melepas celana dalamnya.
Aku tak tahan melihat vaginya yang mungil begitu ranum di hadapanku. Dia sangat kaget waktu aku mencium liang terindahnya. "Mas...., kok gitu sih" Sergahnya sembari bangkit.
"Sudahlah... "
"Mas..." Rengeknya menolak, tetapi diapun menyerah setelah sedikit kupaksakan.
Istriku menggelinjang hebat saat aku mulai menciumi bagian dalam vaginanya. Dia terlihat menikmati kulumanku hingga merintih-rintih manja.
Semakin lama aku mengulum, semakin hebat pula rintihannya. Dia bahkan mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi menahan geli, hingga akhirnya. "Nggak kuat, nggak kuat... nggak kuat, mas" Dia menyergah dan menolak aku lanjutkan kulumanku.
"Mas... nggak kuat. Ayo... Ayo..." Pintanya, tapi aku tak mengerti maksudnya.
"Masukkan... masukkan... Ayo..." Pintanya berulang kali.
Akupun bergeser di sela pahanya. Sambil berulang kali membaca bismillah, perlahan aku tekan pinggulku perlahan hingga penisku menyentuh liang vaginanya. Tetap saja sesak seperti tempo hari, tetapi perlahan terasa menembus mulai ke bagian yang lebih dalam. "Bisa, mas... bisa mas... terus" Pintanya.
Akupun berusaha menarik dan menekan penisku perlahan, dan akhirnya... seluruh batang kemaluanku merasuk ke dalamnya.
"Bisa mas..." Perkiknya kegirangan.
"Hmmh.. hmmmh..." Sahutku dengan nafas tersengal.
"Alhamdulillah..." Serempak kami memanjatkan puja dan puji ke hadirat ilahi.
Aku lega sekali bisa masuk ke liang vagina istriku. Liang itu begitu sempit dan terasa sangat cekat menjepit kemaluanku. Kami begitu bahagia menyambut keberhasilan kami siang itu. Kami benar-benar menyatu di liang vagina yang sungguh-sungguh masih perawan.
Terima kasih ya Allah... atas anugerah terindah ini.... Terima kasih.. Mohon Engkau ridloi kisah bahagia nan Indah, yang baru saja kami mulai.


Jumat, 17 Februari 2012

PERAWAN TULEN - 4


Beberapa saat kami kembali saling berpelukan. Dia berusaha meyakinkanku betapa dia bahagia dan merasa beruntung menikahiku. Dia tak henti memastikan tak akan pernah berharap pada mantan kekasihnya. Dia bahkan bersumpah tak akan menikah lagi bila berpisah dariku.
Sejujurnya hati kecilku masih tersimpan rasa kecewa, tetapi melihat kesungguhan istriku aku bertekad melanjutkan pernikahan ini. Dia sudah begitu lama menderita karena masa lalunya. Sungguh tak sepantasnya aku masih menambah deritanya.
Kami kembali saling memeluk, meraba dan beradu ciuman. Rasanya memang tak lagi semenggebu saat pertama kami memulai kemesraan ini, tetapi aku tetap saja tergoda melihat tubuh indahnya hanya bercelana dalam. Dia tersipu saat aku menyusupkan jemariku dibalik celana dalam tipisnya.
Dia seperti menahan nafas dalam-dalam saat ujung jemariku menyentuh bulu kemaluannya yang tebal. Jariku mengusik ke sana ke mari. Beberapa bagian terasa basah oleh cairan licin tetapi rasanya tak menemukan liang vagina yang aku inginkan. Saat kucoba mengusik bulu tebal itu, tiba-tiba dia menyergah seraya menarik tanganku dari sela celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya sembari memelukku.
"Kenapa?"
"Terus terang aku takut membayangkan malam ini"
"Kenapa?"
"Aku malu. Itu sebabnya aku beli selimut tebal supaya nggak kelihatan. Eh, malah dibuka-buka" Sergahnya keki.
"Kemarin aku bilang mbak Umi. Aduh. Gimana ya mbak nanti?"
"Terus?" Sahutku.
"Dia bilang, biasa sajalah. Semua orang juga begitu"
"Kurasa memang begitu"
"Memang apa yang kamu pikirkan sebelum nikah?" Tanyanya.
"Ya kaya gini"
"Kalau aku..., terus terang aku takut sekali"
"Apalagi saat ini tadi nempel di pahaku" Sambungnya seraya menunjuk kemaluanku.
"Kok besar sekali? Apa cukup?" Sambungnya tersipu.
"Masa, sih?"
"Hmmm..."
"Aku malah kuatir kurang besar"
"Idih...?"
"Iya. Terus terang sejak kecil aku suka minder, karena banyak yang bilang punyaku kecil. Katanya istriku nggak bisa puas"
"Masa sih?"
"Hmmm..."
"Itu sebabnya aku selalu berharap punya istri yang bertubuh ramping. Harapannya, punyaku nggak terlalu kecil"
"Masa?" Sahutnya keheranan.
"Padahal aku tadi kaget banget. Sumpah, aku mikir, aduh kok besar sekali?"
"Iya?"
"Makanya aku takut banget. Pasti sakit sekali"
"Hemmm.... Emang lubangnya seberapa, sih?" Godaku sembari memegang permukaan celana dalamnya.
"Ih..." Sergahnya geli.
"Gimana kalau dicoba saja?" tanyaku seraya mencoba bangkit dari pelukannya.
"Idih... Ntar dulu!" Sergahnya sambil menahan tubuhku.
"Kenapa?"
"Aku takut"
"Kan ada aku"
"Hih..." Sergahnya gemas sembari mencubit lenganku.
"Aku tahu setelah menikah akan melakukannya. Tapi aku membayangkan mungkin akan melakukannya sebulan atau dua bulan lagi"
"Aduh..." sahutku.
"Kenapa?"
"Mana tahan?"
"Nggak tahan apanya?"
"Segitu Lamanya"
"Memang kenapa"
"Kok kenapa, sih?" tanyanya.
"Memang kamu nggak ingin melakukannya?"
"Aku nggak pernah bayangkan soal begitu-begitu. Aku risih banget kalau ada orang yang bahas soal gituan" jelasnya.
"Memang selama pacaran nggak pernah..."
"Idih... Masa pacaran sampai ke situ-situ?"
"Ya, namanya sudah berhubungan begitu lama. Siapa tahu..."
"Ih... ngawur"
"Aku nggak bisalah" Sambungnya.
"Hemm... " Sahutku keheranan.
"Memang kamu pikir aku pacarannya kaya apa?"
"Ya, nggak bisa membayangkan, sih. Aku sendiri nggak pernah punya hubungan serius" Jelasku. Tiba-tiba dia mencubit lenganku keras-keras. "Aduh.. Kenapa, sih?" Rintihku menahan sakit.
"Jangan-jangan kamu bayangin aku sudah...." Hardiknya serius.
"Enggak, enggak" Sergahku mengiba.
"Alah..."
"Aduh, sakit"
"Aku nggak ada acara gitu-gituan" Jelasnya tegas sembari bersungut. Segulir perasaan lega menyelinap  ke dalam hatiku. Rupanya dia masih perawan. Ya, sepertinya memang masih perawan.
"Soalnya aku lihat kamu begitu sedih, seperti tak mungkin lepas darinya" Sahutku membela diri.
"Demi Allah, aku nggak pernah terpikir sedkitpun soal begituan" Tegasnya serius.
"Iya..., iya, deh... Tapi tadi belum dicoba pas apa enggak" Kilahku mengalihkan pembicaraan.
"Idih..." Sergahnya gemas. Dia kembali menahanku yang mencoba kembali bangkit, tetapi sejenak kemudian dilepaskan.
Dengan dada berdebar aku mencoba melepas celana dalamnya. Dia sempat mengelak dengan memiringkan tubuhnya, lalu dengan wajah tersipu dia kembali tengadah. dengan wajah tersipu dia mengangkat pinggulnya, membantu aku melepas celana dalamnya.
"Ih... kamu itu" Sergahnya keki sambil mengulum senyum.
"Bulunya lebat sekali, ya"
"Nggak tahu. Aku nggak pernah mencukur"
"Sejak dulu?"
"Iya. Aku malu menyentuhnya"
"Kan sunnahnya dicukur tiap jum'at?"
"Iya, tapi aku nggak tahu caranya. Lagi pula malu" Sahutnya sembari tak henti tersenyum geli saat aku menyentuh bulu kemaluannya yang lebat dan ikalnya.
"Sekarang baca bismillah" pintaku saat aku berusaha membuka pahanya, tetapi pahanya begitu kaku seakan enggan membukanya lebih lebar.
"Buka sedikit lagi pahanya" Pintaku yang kesulitan mendekatkan kemaluanku ke vaginanya. Saat kelaminku menempel di permukaan vaginanya, berulang kali kami membaca basmallah.
Beberapa kali kucoba menekan pinggulku, tetapi kelaminku tak bisa masuk ke liang vaginanya. "Aduh, sakit mas" Leguhnya saat aku sedikit memaksakan.
Beberapa kali aku menyibakkan bulu lebat dan bibir vaginanya, tetapi tetap saja tidak berhasil masuk. Liang itu begitu cekat dan sempit sekali. Dia selalu kesakitan setiap kali aku mencoba paksakan. Kami tak berhasil melakukan hubungan hingga subuh menjelang.
Akhirnya akupun menindihnya, dan membiarkan kelaminku terhimpit di sela pahanya. Beberapa saat setelah aku gesek-gesekkan, tiba-tiba cairan spermaku tumpah membasahi permukaan liang vaginanya


Kamis, 16 Februari 2012

PERAWAN TULEN - 3

Obrolan demi obrolan membuat aku kian mantap dengan pernikahanku. Aku makin lega saat mendapati ternyata istriku masih perawan. Aku semakin mengaguminya sebagai wanita yang benar-benar baik. Sekalipun pernah pacaran begitu lama, tetapi dia begitu teguh menjaga kesuciannya, dan hanya mempersembahkannya untukku.
Hingga malam ketiga pernikahan, kami belum juga berhasil berhubungan suami Istri. Vaginanya benar-benar rapat dan sulit ditembus. Sekalipun begitu, itu memberi keindahan tersendiri. Kami lebih banyak menghabiskan hari-hari awal pernikahan dengan bermesraan demi bermesraan. Dia bahkan mulai tak segan lagi menyentuh kemaluanku, sekalipun terasa sangat kikuk.
Di malam ketiga pernikahan, akupun berinisiatif mencukur bulu vaginanya yang lebat. Dia terkejut saat aku membawa pisau cukur di hadapannya.
"Hei, buat apa?" Tanyanya keheranan.
"Sepertinya harus dicukur dulu, sayang"
"Idih..." sergahnya terkejut
"Kenapa?"
"Ya malulah..." sergahnya.
"Kayaknya mengganggu sekali, sampai kusut begitu" timpalku. Dia tersenyum geli dan terlihat sangat keki.
"Ya Allah.... Kamu ini" Sergahnya saat aku menyibakkan pakaiannya.
"Ih.... Ya Allah..." Dia menggelinjang kegelian saat aku mulai mencukur bulu kemaluannya. Dia terus menahan tawa keheranan melihatku melakukan itu. Aku sendiri agak kesulitan mencukurnya, sebab bulu kemaluan istriku sangat lebat bahkan gimbal berpilin-pilin di sana-sini.
"Kamu itu bener-bener aneh" Sergahnya sembari menahan tawa geli.
"Kenapa, sayang"
"Masa kaya gitu"
:"Memangnya kenapa?"
"Ih, aku sama sekali nggak bayangkan akan begini"
"Kamu nggak mau nyukur dulu, sih"
"Cukur gimana. Seumur hidup aku nggak pernah nyentuh ke situ-situ"
"Makanya sampai gimbal gini. Ini kan bikin penyakit" Jelasku santai.
"Apa iya, ya? Soalnya aku suka pingsan setiap kali mens"
"Iya. Pernah waktu SMA, terus di Surabaya juga"
"Tapi aku senang menjadi orang pertama yang menyentuhnya"
"Ih..." Sergahnya manja.
"Itu artinya kamu benar-benar milikku" Gumanku, dan diapun hanya tersipu.
"Sudah, dong" Rengeknya menahan geli.
"Belum. Masih bagian atas ini. Ini pas lubangnya belum"
"Uh...." Sergahnya lagi menahan geli.
"Sakit, ya?"
"Hemmm......" Leguhnya manja.
"Kok keluar cairannya? Cairan apaan ini?" Tanyaku berlagak pilon, saat Segulir cairan licin bergulir keluar dari kemaluannya.
"Ih... Kamu..." Leguhnya manja. Aku senang melihatnya tergoda. Dia menggelinjang hebat saat aku mengusik lubang kemaluannya yang basah. "Mas..." Leguhnya memanja.
Karena tak tahan lagi aku mencoba memasukkan kemaluanku ke liang vaginanya, tetapi tidak berhasil meski beberapa kali mencoba. Liang itu masih masih sangat rapat. Apalagi bulu kemaluannya masih menutupi liang itu. "Kok susah ya, mas?"
"Mungkin karena rambutnya masih banyak. Nih, tumbuhnya sampai ke dalam-dalam" Jelasku. Dia semakin menggelinjang saat aku mulai mencukur bulu yang tumbuh di dalam liang vaginanya.
"Idih... Kok sampai ke situ-situ, sih?" Sergahnya.
"Sakit ya?" Tanyaku berlagak pilon.
"Emmmh... Geli" Leguhnya menahan senyum.
"Kok nggak ketawa?"
"Ih... Kamu. Aku bener-bener nggak bayangin akan melakukan ini"
"Memang apa yang kamu bayangkan?"
"Ya cuma berduaan, bercerita ini itu"
"Nggak ngakui hubungan?"
"Ya tahu, tapi aku bayangkannya paling sesekali saja"
"Kamu nggak suka dong aku giniin"
"Ya, buatku surprise banget. Di luar yang aku bayangkan" Jawabnya sambil sesekali disertai desahan.
"Sudah, nih. Tapi cuci dulu, sana. Entar rambutnya masuk ke dalam" Pintaku selesai mencukur.
Dengan wajah girang, istrikupun bergegas keluar kamar. Aku membayangkan akan mencoba lagi sesaat setelah dia dari kamar mandi. Kupikir malam ini pasti bisa melakukannya tanpa membuatnya kesakitan.
Setelah beberapa lama ke kamar mandi, dia tak juga kembali. Aku girang saat tiba-tiba dia masuk kamar lagi dengan tegopoh-gopoh. "Mas..., mas... Kayaknya aku mens, nih"
"Hah? Ampun...." Keluhku sambil menepuk dahi.
"Emang kenapa?" Tanyanya sambil tersenyum.
"Rencananya aku harus sukses malam ini"
"Ih...." Sergahnya sembari mencubitku.
"Biasanya aku merasa sakit semua kalau lagi mens"
"Iya?"
"Tapi kali ini kok enggak, ya" Tanyanya keheranan. Kamupun tenggelam dalam obrolan, canda, tawa yang sesekali diselingi sentuhan, kecupan dan kemesraan hingga terlelap di peraduan.

PERAWAN TULEN - 2


Aku hanya memikirkan satu hal di malam pernikahanku. Aku akan menikmati indahnya kemesraan dan hubungan suami-istri dengan teman hidupku. Saat-saat berdua dengan pasangan hidupku menjadi saat yang paling kunantikan, apalagi sejak resepsi usai. Aku berusaha tenang meski hingga maghrib dia terlihat begitu sibuk untuk berbagai urusan di belakang.
Dia kelihatan rikuh berduaan denganku hingga lebih sering keluar kamar dengan berbagai alasan. Aku mulai mendekatinya saat dia duduk di meja rias sambil membersihkan wajah. Perlahan aku daratkan ciuman di pipi kirinya, tetapi dia tidak berekspresi apapun saat aku menciumnya pertama kali.
Kami tak banyak bicara hingga usai berjama'ah shalat maghrib. Meski raut wajahnya tampak tegang, dia menyambut hangat setiap kecupanku. Tanpa banyak kata tiba-tiba kami sudah tenggelam dalam ciuman dan lumatan yang dalam. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya, hingga semua terasa mudah, semua terjadi begitu saja. Kami baru berhenti setelah mertuaku mengingatkan kami untuk makan malam.
Usai jama'ah Isya' dia langsung merebahkan tubuhnya di atas peraduan. Balutan baju tidurnya yang lembut membuat lekuk tubuh rampingnya terlihat begitu seksi dan menawan, serasa mengundangku untuk segera menyusulnya.
Akupun segera merebahkan tubuhku di samping kirinya, lalu memiringkan badan menghadap tubuhnya. Kutindihkan paha kananku di atas paha kanannya hingga kelaminku yang sejak maghrib tak henti menegang menempel hangat di sisi pinggangnya.
Dia hanya tersenyum tanpa sepatah kata saat tanganku mulai melepas kancing baju tidurnya. Urat lehernya yang bening terlihat berdenyut keras seiring detak jantungnya, menyiratkan ketegangan yang masih tergurat jelas di wajahnya.
"Mas...." Leguhnya saat jemariku menyusup di balik penutup dadanya, lalu sepontan memiringkan tubuhnya menghadapku. Dia memelukku erat-erat dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan ciuman yang teramat dalam.
Dia hanya tersipu saat perlahan jemariku melepas seluruh kancing baju tidurnya. "Mas..." Sambil tersipu dia menyergah lembut saat aku melepas pengancing BH di belakang punggungnya. "Hmmm, kok dilepas sih?" Sergahnya lemah dengan wajah tersipu.
Aku tak menjawab dan membiarkan wanita itu kembali tengadahkan tubuhnya di hadapanku. Wajah cantiknya tak henti terburai senyum keki, dan kembali tersipu saat aku sibakkan penutup tubuhnya satu persatu. Sejenak aku pandangi keindahan tubuhnya yang putih yang terhampar indah di hadapanku, sementara dia tak henti memandangiku dengan senyuman keki.
Detak jantungnya terdengar kian cepat saat jemariku mulai merayap di atasnya. Dia menggelinjang lembut lalu menggenggam erat jemariku yang menyentuh putingnya. "Mas..."
"Kenapa" Sahutku lirih.
"Geli" Jawabnya lirih sembari terus menahan senyum, dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan yang penuh mesra.
Setelah beberapa saat terbuai kemesraan, aku tak kuasan menahan jemariku yang berjalan menyusup celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya lembut seraya menahan jemariku.
"Kok langsung ke sini, sih?" Sergahnya lagi penuh tanya.
"Ini kan malam pertama kita?" Sahutku menahan nafas yang kian menggebu.
Dia memegang erat jemariku yang kembali memaksakan jemari menyusup lebih dalam di balik penutup tubuhnya bagian bawah itu.
"Mas..." Sergahnya lagi.
"Kenapa" sahutku lembut.
"Aku pengennya malam ini kita ngobrol dulu" Pintanya lembut.
"Oke" sahutku sembari menarik jemariku dari sela celana dalamnya.
"Kamu belum siap ya?" Tanyaku sembari tak henti mengusapkan telapak tanganku di atas tubuhnya. Beberapa saat dia tak menyahut dan membiarkan jemariku memilin putingnya yang mengeras.
"Itu bekas operasi" Tiba-tiba dia celetuknya saat aku menyentuh bekas luka di payudara kirinya.
"Hmmm... memang kenapa"
"Waktu semester akhir dulu ada tumor kecil, lalu dioperasi" Diapun bercerita panjang tentang pengalamannya dioperasi, dan kamipun terlibat pembicaraan tentang banyak hal, tentang masa kecil, saat bertemu aku, hingga masalahnya dengan mantan pacar.
Beberapa saat dia menangis dalam pelukanku setelah bercerita soal mantan kekasihnya yang ternyata pernah mendekati gadis lain. "Oke. Sekarang kamu bersamaku. Aku berharap bisa membahagiakanmu" Ucapku menenangkannya.
Malam ini benar-benar milik kami, yang praktis tak lepas dari pelukan, kecupan dan belaian. Berbagi cerita tentang semua hal membuat kami merasa semakin dekat.
Sejujurnya aku kecewa dia masih begitu terobsesi mantan kekasihnya. Itu sebabnya saat suasana kembali tenang, akupun berujar, "Aku pikir kamu memang sudah siap menikah denganku, tapi sepertinya kamu masih terlalu terobsesi mantanmu"
"Mestinya mas ngerti. Aku sama dia sudah empat tahun. Bahkan kami sepakat tak akan ada kata putus, dan praktis baru dua bulan aku mengenal Mas" Sergahnya.
"Oke. Aku ngerti, sayang" Timpalku menenangkan.
"Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin mas nggak menikah denganku, kan?" Sergahnya lagi.
"Oke. Aku ngerti. Maafkan aku, sayang" Timpalku lemah. Tanpa terasa segulir air mata mengalir di pipiku, tanpa mampu kutahan. Aku kecewa dengan sikapnya. "Mas.... Mas..." Rajuknya seraya memelukku. Akup tak mampu membendung rasa kecewaki, hingga isak tangis menyesaki dadaku.
"Maafkan aku... Kamu marah, ya?" Tanyanya beberapa kali, tapi aku tak mampu menjawabnya. Dia  tak henti membelai dan memelukku erat-erat. "Mas... kamu marah, ya?" Beberapa kali dia kembai bertanya, saat tangisanku mereda.
"Enggak"
"Lalu kenapa?" Tanyanya sedih.
"Aku hanya... aku merasa kecewa. Aku pikir kamu memang siap menikah denganku. Sebenarnya aku tak peduli kamu siapa dan hubunganmu dengan dia dulu seperti apa, tapi rupanya kamu belum benar-benar lepas dari masa lalumu" Jelasku dengan nada sedih.
"Aku memang siap menikah dengamu" sahutnya sendu sembari kembali memelukku.
"Aku bahkan bahagia sekali bisa menikah denganmu. Aku nggak mau kehilangan kamu" Sambungnya dengan nada menyesal.
"Kalau kamu masih ingin bersamanya, aku bisa bantu" Sahutku sembari bangkit terduduk.
"Enggak... enggak. Nggak mau. Aku sudah bilang nggak akan menikah dengannya" Sergahnya sembari menangis dan memelukku erat-erat. Aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Aku sangat sedih dan kecewa padanya, tapi tak tahu apa yang harus aku katakan.
"Mas..., maafkan aku. Jangan tinggalkan aku" Rajuknya di punggungku sembari terus menangis mengiba. Aku jadi kasihan melihatnya begitu sedih dan tak henti mengiba.
"Kurasa keputusannya tergantung kamu, sayang. Kalau kamu memilih melanjutkan pernikahan ini, aku akan selalu menemanimu. Tapi selagi kamu masih mencintainya, lebih baik kamu bersamanya"
"Enggak, enggak... Aku mau sama kamu" Sergahnya sembari terus menangis.
"Aku nggak mau kamu bersamaku, tetapi hatimu masih bersama orang lain" Sambungku.
"Enggak. Kamu salah paham, mas. Aku sama sekali tak terpikir untuk kembali ke dia" Sergahnya sembari menariku tubuhku hingga tertelungkup di atas tubuhnya.

Rabu, 15 Februari 2012

PERAWAN TULEN - 1

Aku tidak pernah menganggap penting urusan cinta. Bahkan semenjak menjelang semester akhir aku paling risau dengan urusan masa depan, pekerjaan dan karier. Hari-hariku dipenuhi dengan kursus, kuliah bahasa asing dan berbagai persiapan untuk melanjutkan ke jenjang S2.
Tidak seperti kebanyakan teman kuliahku, aku tak mungkin pulang kampung tanpa pekerjaan yang pasti dan pantas. Itu sebabnya pernikahan jauh dari agenda hidupku, meski sesekali aku kadang berhubungan dengan wanita, tetapi urusan dengan lawan jenis aku anggap sebagai hiburan sesaat saja. Sebelum statusku mapan, aku tak mungkin berfikir serius soal wanita.
Bahkan saat masuk S3 dan bekerja lebih mapan, sebenarnya aku tetap belum punya agenda untuk menikah, padahal usiaku sudah cukup matang, dan termasuk terlambat menikah dibanding teman-temanku. Selain belum menemukan seseorang yang benar-benar pas di hati, hari-hariku habis untuk urusan pekerjaanku. 
Aku baru tertuntut untuk segera menikah setelah adikku sudah lebih dulu menemukan calon istri. Sejak kecil dia sangat dekat denganku. Dia tidak mau menikah sebelum aku menikah lebih dulu. Tekadnya sungguh mejadi beban moral buatku. Aku tidak sampai hati kalau harus menghambat masa depannya, dan itu sebabnya aku mulai berfikir untuk segera menikah.
Pilihan terdekatku hanya seorang gadis, sebut saja Tuty, teman lama yang kini menjadi istriku. Dia adalah my love at the first sign. Aku sempat naksir cewek itu waktu masih kuliah dulu, tetapi tak pernah terucapkan. Apalagi sudah 7 tahun lebih kami tak pernah lagi bertemu, terhitung sejak dia kuliah di luar kota. 
Beberapa waktu sebelumnya keluarga teman lamaku itu dua kali datang ke rumah dan menanyakan apakah aku sudah menikah atau belum. Aku terkejut sekaligus senang. Aku tak menduga perasaanku yang dulu kupendam untuknya ternyata tak bertepuk sebelah tangan. 
Aku sedikit kecewa saat menelpon dia, karena dia mengaku sebenarnya sudah punya kekasih, tetapi tidak disetujui orang tuanya. Dia menyebut namaku ketika orang tuanya meminta dia memilih lelaki lain yang bisa dia terima sebagai suami, meski dia sama sekali tak tahu di mana dan bagaimana aku saat itu.
Aku sendiri terlambat menghubunginya, sebab sejak beberapa bulan sebelum aku telepon, dia telah memantapkan hati untuk kembali pada kekasihnya, dan tak akan ke lain hati. Dia memutuskan untuk memegang teguh pilihannya, dan tak akan menyerah pada orang tuanya. Meski begitu, aku merasa bahagia. Aku senang menjadi lelaki yang masuk dalam kriterianya.
Banyaknya kesibukan membuat aku tak terlalu terbuai oleh rasa kecewaku. Apalagi urusan cinta memang tak pernah menjadi prioritas dalam hidupku. Sejak saat itu aku justeru makin dekat dengan banyak lawan jenis di luar kesibukanku. Meski tak ada satupun wanita yang benar-benar sesuai dengan seleraku, aku sangat menikmati kebersamaanku dengan mereka. Aku menghabiskan banyak kesempatan untuk bersenang-senang dengan mereka, tetapi selalu menghindari komitmen dengan setiap wanita yang dekat denganku, tanpa pernah mau terikat. 
Aku memang menyukau teman lamaku itu sejak pandangan pertama. Aku berharap bertemu wanita seperti itu lagi di lain kesempatan. Aku tahu, tak ada lagi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan pujaanku itu, tetapi sesekali aku tetap sempatkan menelpon dia. Hatiku selalu merasa segar setiap kali mendengar suaranya di telepon. Di hadapan wanita lain yang berusaha membuat komitmen denganku, aku selalu bilang akan menikahi teman lamaku itu, meski sebenarnya aku tak tahu tak ada lagi jalan buatku.
--**--

Berbeberapa tahun aku enggan pulang ke rumah, kecuali hari raya. Aku malas mendengar desakan orang tua yang selalu menanyaiku soal pernikahan. Aku enggan menanggapi berbagai tawaran calon istri yang diajukan padaku. Beban moral terasa berat saat adikku menegaskan tidak akan menikah sebelum aku menikah. Dia tahu aku pasti semakin terlambat menikah kalau dia lebih dulu berkeluarga. 
Aku sendiri belum menemukan calon yang sesuai, meski dekat dengan beberap wanita. Setelah lama tidak kontak, aku mencoba menelpon wanita idamanku itu, sekedar tahu keadaannya. Di telepon dia bilang kalau memilih mengakhiri hubungan dengan kekasihnya. 
Tanpa pikir panjang aku menawarkan diri. Aku tak ingin sia-siakan kesempatan itu untuk kesekian kalinya.  Dia memang tidak langsung mengiyakan, tetapi dari tawanya aku tahu dia setuju. Seminggu kemudian akupun memastikan hubunganku dengannya dan siap menikah dua bulan berikutnya.
Aku sama sekali tidak berfikir apakah calon istriku masih perawan atau tidak. Padahal aku tahu sebelum menikah denganku dia sudah berpacaran dengan seseorang selama 4 tahun. Kisah percintaan mereka bahkan penuh liku, sebab mereka harus menghabiskan kebersamaan dengan berjuang mendapat restu orang tua calon istriku.

Aku menepis keraguan yang sempat menyelinap di hatiku, terutama karena kedekatan calon istriku dengan mantan kekasihnya. Aku tahu mereka tak ingin berpisah, dan memutuskan untuk tidak pernah ada kata putus di antara mereka.
Aku memulai pernikahan di usia yang sudah sangat matang, dan menikahi wanita yang paling menarik hatiku selama ini. Aku mulai menata hati untuk menerima apapun kelebihan dan kekurangannya. Aku hanya butuh komitmen darinya sebagai menemaniku sepanjang sisa hidupku.
Hari pernikahan terasa sedikit aneh, karena istriku kelihatan begitu tegang, bahkan hingga resepsi pernikahan usai. Aku mengira dia belum terbiasa denganku. Apalagi sebelumnya dia mengakui belum bisa sepenuhnya melupakan mantan kekasihnya. Dia bilang butuh waktu untuk benar-benar  bisa menerimaku, karena baru dua bulan saja dekat denganku. Meski sedikit kecewa, aku terima kenyataan itu. Aku sudah menikah dan sekali melangkah pantang untuk kembali.