Kamis, 17 Maret 2011

MALAM PERTAMA, ROKOK PERTAMA

Saat resepsi berakhir, hari pernikahanku terasa muram. Sejak resepsi selesai, kudapati istriku  sudah berganti pakaian di kamar lain. Dia sama sekali tak menemaniku, bahkan aku merasa dia selalu menghindar dariku. Aku lihat dia telepon lama sekali di kamar sebelah, dan aku tak berminat mengganggunya.
Sejak jam 1 siang hingga maghrib tiba, dia hampir-hampir tidak masuk kamar pengantin, dan membiarkan aku di sana sendirian. Kudengar mertuaku beberapa kali memintanya menemaniku, tetapi dia hanya saat sesekali saja masuk kamar. Itupun hanya sebentar, dan  sama sekali tidak menyapa atau bertanya apapun padaku. 
Hingga larut malam aku bahkan masih mengenakan kemeja yang kupakai saat resepsi. Dia sama sekali tak peduli, apalagi berusaha melayani. Seluruh pakaian gantiku  bahkan masih ada di dalam kopor hingga beberapa hari kemudian.
Meski kecewa, kali ini aku mencoba mengerti. Aku pikir, "Barangkali karena kami baru kembali kenal 2 bulan ini, mungkin saja dia masih merasa canggung untuk menemaniku"

Dia baru masuk kamar ketika maghrib tiba. Itupun setelah ortunya meminta dengan sedikit memaksa. Setelah berjama'ah, dia kembali keluar kamar lama sekali.  Sayup-sayup kudengar banyak orang di luar mengolok-oloknya karena tidak berada di kamar bersamaku. Mertua juga beberapa kali memintanya menemaniku, tapi dia seolah enggan bersamaku malam ini. Dia baru masuk ke kamar lagi setelah mertua memintanya untuk mengajakku makan malam. 
Tak banyak kata kami ucapkan selama makan. Praktis, masa pengantinku diliputi kebisuan. Dia juga tak menemani aku kembali ke kamar. Dia baru masuk ke kamar lagi setelah orang tuanya berkali-kali meminta.  
Begitu masuk kamar, dia hanya duduk di depan meja rias, membersihkan make up yang masih tersisa  di wajahnya. Meski awalnya menolak, dia bersedia kubantu membersihkan pewarna kuku di tangannya. Aku mencoba mengakrabkan diri dengan berbasa-basi. Hanya ada jawaban-jawaban singkat dari mulutnya yang membuat pembicaraan itu sama sekali tidak mengasyikkan, tapi aku pura-pura tak peduli.  
Aku terhenyak saat tiba-tiba dia berdiri dan berkata, "Mas, sampeyan istirahat dulu, ya?"
"Kamu mau ke mana?" tanyaku.
"Aku di kamar sebelah" jawabnya sembari melangkah keluar kamar.
Emosiku membumbung seketika, tapi masih dapat kutahan, "Oke, kalau begitu aku pulang saja" jawabku datar. 
Dia membalikkan badan, dan balik bertanya, "Lho, kenapa?"
"Kenapa? Pertanyaanmu aneh sekali?" tanyaku kembali. Akupun beranjak mengambil pakaianku yang masih berserakan di tempat tidur dan memasukkannya kembali ke dalam kopor. 
Dia hanya tercenung menatapku, dan tiba-tiba dia menahan tanganku,  "Mas, jangan pergi, dong", pintanya dengan mata sembab, tapi aku tak peduli. 
Berkali-kali dia mengulangi permintaannya hingga disertai tangisan, tapi aku terus saja mengemas koporku dan berniat pergi. Aku benar-benar muak dengan sikapnya. Aku sudah menyesali pernikahanku, dan sikap istriku kian memperparah penyesalanku.
Saat aku mulai melangkah keluar kamar, tangisnya kian menjadi-jadi. "Mas, jangan pergi" pintanya berulang-kali sembari memelukku, membuat langkahku tertahan. Aku hanya berdiri memaku beberapa lama. Aku bingung. Aku benar-benar muak dengan sikapnya, tapi tak tega melihatnya menangis. 
Beberapa saat kemudian akupun menyerah. Aku kembali meletakkan koporku dan merengkuhnya ke tempat tidur. Aku tak tahu mengapa dia harus menangis. Aku berusaha menenangkan, sampai tangisnya benar-benar reda. 
Saat tangisnya reda, dia kembali membuka koporku dan mengambilkan aku beberapa helai pakaian ganti. "Ganti pakaian dulu, aku ambilkan minum" pintanya seraya menyerahkan pakaian. 
Sesaat kemudian dia kembali keluar kamar. Dengan pikiran kosong aku kembali ganti pakaian. Selesai ganti pakaian, kurebahkan tubuhku di tempat tidur pengantin yang penuh hiasan itu. Aku tak tahu apa yang aku rasakan saat itu. Pikiranku benar-benar hampa. Sedih, marah, kecewa, kasihan, dan entah apa lagi beraduk dalam hatiku.
"Minum dulu, mas" pintanya sambil meletakkan segelas teh di meja rias. 
"Nanti saja" sahutku lemah.
Tanpa berkata apapun, diapun merebahkan tubuhnya di sampingku. Sedikitpun tak kulihat rasa canggung seperti yang sejak tadi kubayangkan. Kumiringkan tubuhku hingga aku bisa melihat wajahnya yang menatap kosong ke langit-langit kamar. Di lehernya yang putih, kulihat jelas urat lehernya berdenyut.
"Harusnya aku tak di sini malam ini" ucapku lirih. 
Dia menengok dan kembali merengkuhku tanpa berkata apa-apa.  Tanpa mampu kutahan lagi, air mata mengucur deras dari sudut mataku. Aku menangis. Aku menangis sedih, justeru di saat-saat aku seharusnya merasa paling berbahagia.
Saat isak tangisku mereda, aku kembali berkata, "Kalau kenyataannya kamu tidak suka, mungkin sebaiknya..."
"Mas..." sahutnya menghentikan kata-kataku.  Akupun terdiam membiarkan dia bicara.
"Aku nggak tahu harus bagaimana. Terus terang aku merasa belum siap berada di kamar ini bersama seorang lelaki yang baru aku kenal"  "Bukankah sejak kita ketemu, hampir setiap hari kita bicara lewat telepon?" sahutku.
"Iya, tapi..."
"Tadi kulihat kamu menangis saat telepon di kamar sebelah. Feelingku mengatakan, itu pasti dari dia (kekasihnya). Dan dari sikapmu seharian ini, kupikir seharusnya aku memang tidak di sini" 
"Mas... jangan ngomong begitu" ucapnya sembari menangis dan kembali merengkuhku.
Setelah tangisnya mereda aku mulai bercerita yang datar-datar saja tentang masa lalu dan banyak hal. Diapun cerita tentang masa-masa bersama kekasihnya. Dia bercerita seolah pacaran yang mereka lakukan sangat formal. "Aku paling tidak suka jalan berdua. Aku hanya jalan  sama dia kalau ada teman lainmenyertai" 
Sejujurnya aku tak percaya. Aku menangkap kesan dia sedang menutup-nutupi sesuatu. Aku bahkan menangkap masih ada segulir keangkuhan di hatinya yang menusuk harga diriku. Dengan nada bangga dia bilang, "... Kalau bukan karena sikap orang tuaku yang seperti itu, kamu pasti tidak menikah denganku" Dia seolah berfikir aku merasa beruntung telah menikahinya.
"Jujur sama, kamu bukan perempuan satu-satunya yang aku sukai. Kamu bahkan bukan pertama bagiku... Aku pernah dekat dengan orang lain. Aku  bahkan pernah berniat menikahi seseorang, tetapi karena orang tuanya tidak setuju, aku memilih mundur saja... Bagiku pernikahan itu menjemput masalah, karena kuyakin pasti ada banyak masalah setelah pernikahan. Karena itu, aku tak mau memulai masalah dengan masalah" Jelasku. 
Sekilas kulihat sorot matanya berbinar menatapku. Dia seolah setuju dengan kata-kataku. Aku sengaja bercerita terbuka tentang masa laluku. Aku mencoba memancing pembicaraan, agar dia lebih terbuka padaku.
Akhirnya, diapun berbicara lebih terbuka. Aku hanya diam mendengarkan, dan sama sekali tak menyanggahnya.
".... Sebenarnya aku memang tak membayangkan akan menikah dengan orang lain. Bagiku itu tak mungkin... Tadinya aku sudah bertekad apapun yang terjadi aku harus menikah dengannya, meski kamu tahu orang tuaku tak merestui. Aku sudah empat tahun lebih jalan bersamanya. Kami sudah terlalu dekat  untuk dapat dipisahkan... Hanya lelaki itu yang mungkin aku nikahi" kisahnya yang sesekali terhenti karena tak mampu menahan tangis sedih sembari memelukku.Aku membiarkannya kembali menangis dan menangis di sela ceritanya. Aku berharap dia lebih terbuka dan melepaskan segala beban batinnya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya saat ceritanya terpenggal tangis kesedihan. Kemarahanku sama sekali sirna mendengar cerita demi ceritanya. Aku merasakan betapa berat kesedihan yang dia tanggung selama ini.
"... Sebenarnya aku tak ingin sejauh itu sebelum menikah, tapi terpaksa... Kami sempat kehilangan akal sehat, dan mengira itu satu-satunya jalan agar orang tuaku merestui... Aku sangat kecewa saat tahu dia mendekati perempuan lain... Dia sama sekali tak menghargai pengorbananku..." lanjutnya lagi sembari kembali menangis sesenggukan beberapa lama.
Pikiranku kosong seketika mendengarnya. Aku bingung, tak tahu harus bagaimana. Aku sedih dan kian kecewa, tapi juga merasa iba melihatnya. Aku merasakan betapa selama ini dia begitu menderita.
"Aku tahu kamu menyesal telah menikahiku..." sambungnya.  "Tapi aku sungguh tak mau kamu meninggalkan aku... Jangan tinggalkan aku, mas..." Pintanya di akhir cerita. Kembali dia meledakkan tangis sesenggukan sembari memelukku erat-erat.
Aku hanya berusaha menenangkannya sembari tak henti mengelus punggungnya. "Sudahlah.." ucapku menenangkannya. 
"Kamu menyesal ya menikahi aku?" ucapnya seteleh kami larut dalam keheningan beberapa saat. Dia mengulangi beberapa kali pertanyaan itu sambil menangis, tanpa kujawab. Beberapa lama aku hanya terdiam dalam kehampaan. Aku bingung. Pikiranku kosong. Aku tak tahu yang kurasakan saat itu.  
"Mas, kamu menyesal ya?" tanyanya lagi berulang kali sambil mengguncang-guncang tubuhku.
"Aku menyesal dengan sikapmu. Kamu yang tampak menyesal telah memilihku..." jelasku.
"Enggak, aku sama sekali tidak menyesal... Aku yang mencari kamu, bukan sebaliknya... Aku cuma takut, bingung... Aku takut kamu kecewa... Aku tak tahu harus bagaimana"  sahutnya menegaskan dan kembali menangis.
Setelah menghela nafas dalam-dalam, akupun melanjutkan. "... Aku tak peduli dengan masa lalu... Aku menikah untuk hari ini dan masa depan... Aku menikah karena butuh seseorang untuk berbagi... Tentu saja aku butuh dicintai, tapi aku lebih butuh komitmen kamu untuk mencintaiku" tegasku. Dia tampak begitu berbinar mendengar ucapanku, dan kembali memelukku erat-erat.
Kebekuan yang sejak resepsi tadi begitu mengganggu, kini mulai mencair. Kami mulai saling terbuka dan saling bercerita banyak hal, terutama tentang  masa lalu saat kami pernah bertemu. Rona ceria kini terpancar di wajahnya, tapi terus terang ada segumpal perasaan yang mengganjal batinku. Sejujurnya ada perasaan kecewa dan penyesalan yang sangat dalam di hatiku, tetapi aku berusaha menepisnya. Aku mencoba mengabaikannya, menyimpannya dalam-dalam di lubuk hatiku. 
Aku berusaha menikmati keadaan yang kini kuhadapi. Kupandangi tubuhnya yang lembut di hadapanku. Perlahan kucium pipinya yang basah oleh air mata, tapi dia tak bereaksi apapun. Dia juga hanya diam saat aku mulai menindihkan paha kananku di atas kedua pahanya yang berbalut celana tidur panjang. Dia hanya tersenyum saat perlahan kususupkan jemari tanganku di balik bajunya, dan menurut saja ketika kancing BH-nya kulepaskan.
Tanpa kusadari, kegundahan yang sedari tadi kurasakan telah berganti gairah. Sembari saling bercerita, jemariku bergetar lembut saat menyentuh payudaranya. Ada perasaan sedikit aneh, karena dia seperti tidak merasakan apa-apa. Feelingku merasakan bahwa ia seperti sudah biasa dengan semua itu, tapi kutepis jauh-jauh perasaan itu dari pikiranku. Aku tak mau peduli dengan semua itu. Aku hanya berfikir, saat ini dia milikku. 
Beberapa saat kemudian aku ingin menyusupkan jemariku di bagian bawah tubuhnya. Saat jemariku mulai menyusup ke balik celana tidurnya, tiba-tiba dia memegang erat tanganku. "Mas, jangan dulu" sergahnya.
"Kenapa?" tanyaku.
Sejenak dia terdiam. "Aku merasa belum siap. Tolong jangan sekarang" pintanya.
Akupun menarik kembali tanganku. Dia kembali menyergah ketika beberapa saat kemudian jemariku mencoba menyusup ke sana. "Mas, please... aku belum siap"
"Aku cuma ingin menyentuh saja"  sahutku.
"Please..., jangan sekarang. Aku belum siap" Pintanya menegaskan.
"Kenapa?"
"Aku nggak tahu, aku cuma merasa belum siap. Maaf, ya? Pleas..." Pintanya lagi sembari memelukku. Sedikit rasa kecewa menggelayuti hatiku. Beribu tanya hanya dapat kusimpan dalam-dalam. "Oke, nggak apa-apa. Mungkin kamu belum bisa melupakannya" jawabku mencoba tenang.
"Maafkan aku. Kami sudah empat tahun bersama. Bahkan masih kontak beberapa jam lalu. Sedangkan kamu, aku merasa baru mengernalmu saat ini. Kumohon kamu bisa mengerti" jelasnya.
"Oke. Aku mengerti" jawabku sembari melepaskan pelukan.
"Sebenarnya aku lelah sekali, aku capek, ngantuk... Sedari pagi aku hampir-hampir tak istirahat. Aku ingin tidur" Ucapnya beberapa saat kemudian.
"Kamu istirahat saja. Biar aku keluar dulu" jawabku.
"Ke mana?"
"Ke depan sebentar. Sepertinya di sana masih ada orang" jawabku.
Dia tidak menanggapi dan akupun bangkit keluar kamar.  
Akupun keluar dari kamar pengantin yang penuh bunga dan pernak-pernik yang memenuhi ruangan itu. Hari sudah menyongsong pagi. Di luar rumah keutemui pembantunya tengah duduk sambil merokok. Akupun memintanya membelikan sebungkus rokok. 
Meski sebelumnya tak pernah menyentuh barang itu, untuk pertama kalinya aku merokok. Pahit, getir, dan sedikit terbatuk-batuk kurasakan, tapi tak segetir perasaanku malam itu. Hingga fajar menyongsong, kepulan asap dari batang demi batang rokok seakan membantuku melepas kegundahaan yang masih bersemayam di dasar hati. Sejak saat itu pula aku punya kebiasaan baru, merokok. 

SEBUAH KESIMPULAN: JUTEK DAN KONSERVATIF


-->
Akhirnya aku menemukan kata-kata yang mewakili karaktermu. Seharusnya sudah kusadari sejak awal kita menikah, tapi selama ini aku sulit memahami kamu. Selama ini kamu selalu menunjukkan sikap egois, kasar, tidak peka perasaan, tidak mengasyikkan, dan frigid.
Aku benar-benar terlambat menyadari, bahwa di balik sikapmu yang lembut dan pemalu di depan orang, sebenarnya kamu penya kepribadian jutek, penakut, dan konservatif. Inilah pangkal dari semua masalah di antara kita. Inilah yang selama ini membuat aku merasa tidak nyaman bersama kamu.
Kali ini aku harus benahi kesimpulanku tentang kamu. Mudah-mudahan aku juga segera menemukan cara yang tepat untuk menyikapi perempuan seperti kamu. 
JUTEK, JUDES, GALAK
Reaktif
Kamu adalah orang yang reaktif. Kamu tidak pernah mampu berfikir panjang dalam menyikapi segala sesuatu. Kamu mudah merespon negative terhadap segala sesuatu, baik sekedar mempertanyakan maupun menunjukkan amarah. Kamu sangat reaktif dan mudah marah.
Badmood dan Negative Thinking
Mental dan pikiran kamu dipenuhi badmood. Kamu kurang bisa melihat segala sesuatu secara positif. Tidak ada keadaan yang sempurna buat kamu. Selalu ada yang salah dan kamu keluhkan. Hari-hari bersama kamu sering tidak mengasyikkan karena selalu penuh keluh kesah. Bahkan wajahmu lebih banyak kau tekuk dari pada kau biarkan memancarkan cantikmu.
Kurang Punya Empati
Kamu tidak mampu merasakan yang dirasakan orang lain. Kamu suka asal komentar dan bersikap, tanpa bisa menyadari bahwa itu bisa menyinggung atau merendahkan orang lain.
Angkuh, Egois dan Suka Menyalahkan Keadaan
Kamu selalu merasa paling benar. Kamu juga memandang diri kamu terlalu tinggi, hingga tanpa kamu sadari sebenarnya kamu merendahkan orang lain. Kamu hampir-hampir tidak pernah mampu mengintrospeksi kekurangan kamu sendiri. Kamu selalu menyalahkan keadaan, juga orang lain.
Kaku dan Tidak Romantis
Sikap kamu kaku, tidak manis. Kamu bahkan enggan menunjukkan rasa cinta kasih kamu pada orang yang seharusnya kamu cintai. Kamu lebih suka mengikat, memaksa dari pada merayu.
PENAKUT, PESIMIS
Sifat jutekmu lumayan tersembunyi karena kamu bukan pribadi yang optimis dalam melakukan segala sesuatu. Terlalu banyak hal kamu sikapi secara pesimis. Kamu orang yang takut resiko, bahkan takut pada hal-hal yang sebenarnya tidak kamu ketahui. Kamu lebih suka memperalat orang lain untuk mewujudkan keinginanmu, padahal kamu sendiri takut menghadapinya.
KONSERVATIF
Sifat jutekmu semakin tidak asyik karena kepribadian kamu dikuasai norma-norma tradisi yang tak rasional. Kamu memandang seks sebagai hal tabu. Membuka pakaian di depanku saja kamu malu, bahkan memakai pakaian sexy saja kamu sudah risih.
Terlalu banyak hal yang kamu tabukan, hingga hidup selaksa dalam bingkai penjara. Hidup bersama kamu selalu penuh larangan, pantangan dan pastinya tidak mengasyikkan.