Kamis, 23 Desember 2010

CURHAT ZAENAL SAMA DIK ANIK

Aku hanya memikirkan satu hal di malam pernikahanku. Aku akan menikmati indahnya kemesraan dan hubungan suami-istri dengan teman hidupku. Saat-saat berdua dengan pasangan hidupku menjadi saat yang paling kunantikan, apalagi sejak resepsi usai. Aku berusaha tenang meski hingga maghrib dia terlihat begitu sibuk untuk berbagai urusan di belakang.
Dia kelihatan rikuh berduaan denganku hingga lebih sering keluar kamar dengan berbagai alasan. Aku mulai mendekatinya saat dia duduk di meja rias sambil membersihkan wajah. Perlahan aku daratkan ciuman di pipi kirinya, tetapi dia tidak berekspresi apapun saat aku menciumnya pertama kali.
Kami tak banyak bicara hingga usai berjama'ah shalat maghrib. Meski raut wajahnya tampak tegang, dia menyambut hangat setiap kecupanku. Tanpa banyak kata tiba-tiba kami sudah tenggelam dalam ciuman dan lumatan yang dalam. Sepertinya dia sudah terbiasa melakukannya, hingga semua terasa mudah, semua terjadi begitu saja. Kami baru berhenti setelah mertuaku mengingatkan kami untuk makan malam.
Usai jama'ah Isya' dia langsung merebahkan tubuhnya di atas peraduan. Balutan baju tidurnya yang lembut membuat lekuk tubuh rampingnya terlihat begitu seksi dan menawan, serasa mengundangku untuk segera menyusulnya.
Akupun segera merebahkan tubuhku di samping kirinya, lalu memiringkan badan menghadap tubuhnya. Kutindihkan paha kananku di atas paha kanannya hingga kelaminku yang sejak maghrib tak henti menegang menempel hangat di sisi pinggangnya.
Dia hanya tersenyum tanpa sepatah kata saat tanganku mulai melepas kancing baju tidurnya. Urat lehernya yang bening terlihat berdenyut keras seiring detak jantungnya, menyiratkan ketegangan yang masih tergurat jelas di wajahnya.
"Mas...." Leguhnya saat jemariku menyusup di balik penutup dadanya, lalu sepontan memiringkan tubuhnya menghadapku. Dia memelukku erat-erat dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan ciuman yang teramat dalam.
Dia hanya tersipu saat perlahan jemariku melepas seluruh kancing baju tidurnya. "Mas..." Sambil tersipu dia menyergah lembut saat aku melepas pengancing BH di belakang punggungnya. "Hmmm, kok dilepas sih?" Sergahnya lemah dengan wajah tersipu.
Aku tak menjawab dan membiarkan wanita itu kembali tengadahkan tubuhnya di hadapanku. Wajah cantiknya tak henti terburai senyum keki, dan kembali tersipu saat aku sibakkan penutup tubuhnya satu persatu. Sejenak aku pandangi keindahan tubuhnya yang putih yang terhampar indah di hadapanku, sementara dia tak henti memandangiku dengan senyuman keki.
Detak jantungnya terdengar kian cepat saat jemariku mulai merayap di atasnya. Dia menggelinjang lembut lalu menggenggam erat jemariku yang menyentuh putingnya. "Mas..."
"Kenapa" Sahutku lirih.
"Geli" Jawabnya lirih sembari terus menahan senyum, dan sejenak kemudian kamipun tenggelam dalam lumatan yang penuh mesra.
Setelah beberapa saat terbuai kemesraan, aku tak kuasan menahan jemariku yang berjalan menyusup celana dalamnya. "Mas..." Sergahnya lembut seraya menahan jemariku.
"Kok langsung ke sini, sih?" Sergahnya lagi penuh tanya.
"Ini kan malam pertama kita?" Sahutku menahan nafas yang kian menggebu.
Dia memegang erat jemariku yang kembali memaksakan jemari menyusup lebih dalam di balik penutup tubuhnya bagian bawah itu.
"Mas..." Sergahnya lagi.
"Kenapa" sahutku lembut.
"Aku pengennya malam ini kita ngobrol dulu" Pintanya lembut.
"Oke" sahutku sembari menarik jemariku dari sela celana dalamnya.
"Kamu belum siap ya?" Tanyaku sembari tak henti mengusapkan telapak tanganku di atas tubuhnya. Beberapa saat dia tak menyahut dan membiarkan jemariku memilin putingnya yang mengeras.
"Itu bekas operasi" Tiba-tiba dia celetuknya saat aku menyentuh bekas luka di payudara kirinya.
"Hmmm... memang kenapa"
"Waktu semester akhir dulu ada tumor kecil, lalu dioperasi" Diapun bercerita panjang tentang pengalamannya dioperasi, dan kamipun terlibat pembicaraan tentang banyak hal, tentang masa kecil, saat bertemu aku, hingga masalahnya dengan mantan pacar.
Beberapa saat dia menangis dalam pelukanku setelah bercerita soal mantan kekasihnya yang ternyata pernah mendekati gadis lain. "Oke. Sekarang kamu bersamaku. Aku berharap bisa membahagiakanmu" Ucapku menenangkannya.
Malam ini benar-benar milik kami, yang praktis tak lepas dari pelukan, kecupan dan belaian. Berbagi cerita tentang semua hal membuat kami merasa semakin dekat.
Sejujurnya aku kecewa dia masih begitu terobsesi mantan kekasihnya. Itu sebabnya saat suasana kembali tenang, akupun berujar, "Aku pikir kamu memang sudah siap menikah denganku, tapi sepertinya kamu masih terlalu terobsesi mantanmu"
"Mestinya mas ngerti. Aku sama dia sudah empat tahun. Bahkan kami sepakat tak akan ada kata putus, dan praktis baru dua bulan aku mengenal Mas" Sergahnya.
"Oke. Aku ngerti, sayang" Timpalku menenangkan.
"Bahkan kalau bukan karena dia, mungkin mas nggak menikah denganku, kan?" Sergahnya lagi.
"Oke. Aku ngerti. Maafkan aku, sayang" Timpalku lemah. Tanpa terasa segulir air mata mengalir di pipiku, tanpa mampu kutahan. Aku kecewa dengan sikapnya. "Mas.... Mas..." Rajuknya seraya memelukku. Akup tak mampu membendung rasa kecewaki, hingga isak tangis menyesaki dadaku.
"Maafkan aku... Kamu marah, ya?" Tanyanya beberapa kali, tapi aku tak mampu menjawabnya. Dia  tak henti membelai dan memelukku erat-erat. "Mas... kamu marah, ya?" Beberapa kali dia kembai bertanya, saat tangisanku mereda.
"Enggak"
"Lalu kenapa?" Tanyanya sedih.
"Aku hanya... aku merasa kecewa. Aku pikir kamu memang siap menikah denganku. Sebenarnya aku tak peduli kamu siapa dan hubunganmu dengan dia dulu seperti apa, tapi rupanya kamu belum benar-benar lepas dari masa lalumu" Jelasku dengan nada sedih.
"Aku memang siap menikah dengamu" sahutnya sendu sembari kembali memelukku.
"Aku bahkan bahagia sekali bisa menikah denganmu. Aku nggak mau kehilangan kamu" Sambungnya dengan nada menyesal.
"Kalau kamu masih ingin bersamanya, aku bisa bantu" Sahutku sembari bangkit terduduk.
"Enggak... enggak. Nggak mau. Aku sudah bilang nggak akan menikah dengannya" Sergahnya sembari menangis dan memelukku erat-erat. Aku hanya terdiam tanpa mampu berkata apa-apa. Aku sangat sedih dan kecewa padanya, tapi tak tahu apa yang harus aku katakan.
"Mas..., maafkan aku. Jangan tinggalkan aku" Rajuknya di punggungku sembari terus menangis mengiba. Aku jadi kasihan melihatnya begitu sedih dan tak henti mengiba.
"Kurasa keputusannya tergantung kamu, sayang. Kalau kamu memilih melanjutkan pernikahan ini, aku akan selalu menemanimu. Tapi selagi kamu masih mencintainya, lebih baik kamu bersamanya"
"Enggak, enggak... Aku mau sama kamu" Sergahnya sembari terus menangis.
"Aku nggak mau kamu bersamaku, tetapi hatimu masih bersama orang lain" Sambungku.
"Enggak. Kamu salah paham, mas. Aku sama sekali tak terpikir untuk kembali ke dia" Sergahnya sembari menariku tubuhku hingga tertelungkup di atas tubuhnya.

AKHIR DESEMBER

Dia pasti sudah bahagia saat ini, atau minimal sibuk dengan urusan bisnisnya. Dia pasti tak mengingatku lagi, entah memang tak ingat lagi, atau sengaja tak ingin mengingatnya. 
Bulan Desember pasti tak lagi istimewa baginya, atau dia memang tak mau mengistimewakannya. Jangan-jangan dia memang ingin benar-benar melupakan semua yang pernah dia jalani bersamaku.
Yang jelas hari ini aku teringat lagi, begitu jelas mengingatnya. Bulan ini pernah menjadi momen paling istimewa antara aku dan dia. Bulan inilah kami memulai semuanya, menjadi begitu dekat, teramat dekat, tanpa sedikitpun jarak antara aku dan dia. 
Semua terjadi begitu saja. Tiada kata terucap, hanya hati yang berbicara. Tiba-tiba kami sudah bersama dalam perjalanan terjauhku pertama kali selama di Jogja, menembus kegelapan jalanan Parangtritis, mengabaikan rintik hujan yang tak henti mengguyur malam, hingga akhirnya kami menginap di Parangkusumo. 
Tiada kata, tiada komitmen apapun, tiapa sergahan, tiada... ya terjadi begitu saja. Dia membiarkanku melucuti seluruh pakaiannya, dan bergumul sebagai sepasang kekasih yang dimabuk asmara. 
Di akhir bulan ini pula dia membiarkanku melepaskan segala hasratku padanya. Begitu jelas teringat dia membelaiku penuh mesra, menenangkanku yang kehilangan kendali. Begitu jelas  kuingat seluruh rasa yang luruh bersama segenap jiwa raga, hingga aku terkulai manja di atas  tubuhnya.  
Mungkin kenangan indah ini hanya untukku dan untuknya. Hanya saja harus kusadari mungkin dia tak ingin mengenangnya lagi....