Rabu, 22 September 2010

KISAHKU 20 - TERANG CAHAYA PERNIKAHANKU

Beberapa bulan sejak keguguran, suamiku mengajakku tinggal di Jogja. Kami tinggal di rumah kontrakan yang sedikit lebih baik dari sebelumnya. Tinggal di Jogja boleh dibilang sebagai bulan madu terindah kami. Kami bercinta setiap saat, kadang di kamar, di ruang tahu, dapur bahkan kamar mandi.  
Masalahnya, aku sering kesepian tinggal di sana. Apalagi saat dia seharian berada di kampus. Aku juga tidak betah bila dia mengajakku seharian di perpustakaan. Aku kembali tertekan, dan akhirnya jatuh sakit untuk kedua kalinya. Padahal saat itu aku positif hamil untuk kedua kalinya. 
Suamiku teramat girang mengetahuinya, dan sesuai saran dokter aku tak boleh banyak bergerak dan stress. Akhirnya, suamiku merelakan aku kembali ke rumah orang tuaku. Kali ini dia juga mau lebih sering menemaniku, sekalipun sesekali masih suka tinggal di rumah kontrakan. 
Anak laki-laki yang tampan lahir dari rahimku. Anak itu persis dengan yang diharapkan oleh suamiku, hingga membuatnya begitu betah di rumah. Sekalipun laki-laki, suamiku tak segan memandikan, memakaikan pakaian dan membersihkan kotoran anak. 
Dia begitu menikmati kehidupannya di rumahku setelah kehadiran buah hati. Dialah yang selalu terbangun di tengah malam saat putera pertamaku terbangun, sampai-sampai puteraku spontan memanggilnya setiap kali bangun tidur.  
Suamiku bahkan seakan tak mengenal lelah bila berurusan dengan anak. Dia bisa langsung pulang ke rumah bila aku beritahu anaknya panas. Padahal dia baru saja sampai ke kota itu untuk kuliah.
Kehidupanku terasa baru dimulai dengan tenang sejak anak-anakku lahir satu demi satu. Suamiku menyambut setiap kelahiran anaknya dengan penuh bangga. Apalagi kelahiran mereka sejalan dengan peningkatan karier dan kesejahteraan keluarga kecilku. 
Sekalipun perlahan, kami mulai memiliki rumah, kendaraan, dan lembaga pendidikan yang berkembang pesat. Hampir-hampir tidak ada masalah berarti dalam kehidupan rumah tangga kami, sekalipun kadang merasa berat mengelola lembaga pendidikan ini.  

YANG TERBAIK DARIMU: PERAWAN TULEN!!!

Sikap istriku banyak berubah sepulang dari rumah sakit. Meski sakit typus yang diderita masih masuk pada masa-masa penyembuhan, tetapi dia cukup baik padaku. Dia menemaniku makan, menatakan pakaianku, dan banyak mengajakku berbicara. 
Sebenarnya aku sudah muak pada perempuan itu. Kalau bukan demi ibuku, aku malas melanjutkan kisah ini. Aku pikir, akan bersandiwara saja dengan semua ini entah sampai kapan. Mungkin aku hanya akan bersahabat saja dengan seseorang yang seharusnya menjadi kekasihku. Persetan dengan masa depan. Toh, selama ini aku sudah melupakan rencana pernikahan.
Sebagai lelaki normal, kadang tergoda juga melihat tubuh perempuan yang lumayan cantik rebah di sisiku, tetapi aku enggan menyentuhnya. Hingga acara ngunduh mantu selesai, aku masih enggan menyentuh perempuan itu sebagai istriku, tetapi tak aku pungkiri akhir-akhir ini kami semakin dekat.
Kami bercerita banyak hal tentang masa lalu, teman-teman, pekerjaan dan harapan-harapan masa depan. Saat itulah aku tahu bahwa meski terpelajar, dia memang perempuan yang "terlalu tradisional" untuk ukuranku. Meski pernah punya kekasih, dia sama sekali jauh dari hal-hal berbau seksual. 
"Menjelang menikah aku benar-benar resah, bagaimana caranya bersikap sebagai istri. Aku ingin menikah tapi tak membayangkan betapa malunya, bila harus tidur sekamar dengan lelaki. Aku membayangkan akan punya anak suatu saat, tapi aku nggak mau membayangkan bagaimana bisa sampai ke sana. Soal menikah aku cuma membayangkan akan punya teman lelaki begitu saja" Begitu pengakuannya.
"Soal sex?" Tanyaku perihal hubungan suami-istri. 
"Ih...., Aku begitu risih mendengarnya, apalagi membicarakan, bahkan sekedar membayangkan sekalipun aku tidak berani"
Setelah berbicara panjang kali lebar, perlahan kamipun mulai berciuman dan membiakanku meraba bagian-bagian tubuhnya. Masih jelas aku rasakan rasa rikuh pada sikapnya setiap kali aku menyentuhnya. Aku tahu dia tidak menikmatinya, tetapi dia membiarkanku melakukan semua yang aku mau.
Dia baru tampak kian gelisah dan seakan berat hati membiarkan jemariku menyusup ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu kemaluan yang teramat lebat menyelimuti bagian liang kewanitaannya. Meski awalnya seakan menolak, beberapa saat setelah jemariku meraba-raba miliknya, sikapnya  berubah seolah pasrah hingga aku dengan mudah melepas kain lembut pembungkus mahkotanya.
Segulir cairah licin tampak membasahi bulu-bulu kemaluannya yang lebar, membuat aku serasa tak tahan untuk tidak menikmatinya. Diapun membiarkan aku menindakan tubuhnya. Hanya saja, bulu-bulu itu terlalu lebat, sangat mengganggu, tetapi menembus liang istimwa itu terasa sulit kulakukan. Bulu kemaluannya sangat mengganggu, karena begitu lebat, bahkan gimbal tidak terawat. "Kok nggak dicukur? Lebat sekali" tanyaku.
"Aku tak pernah mencukur daerah itu" jawabnya.
"Masa?"
"Iya, nggak pernah. Memangnya pake dicukur segala?" tanyanya balik.
"Ya, iyalah..., kan terus tumbuh"
"Menyentuh saja aku tidak pernah. Aku malu, risih kalau harus menyentuh daerah itu"
Dia terkesiap, saat aku mengambil pisau cukur dan mulai mencukurnya. "Ih..., mas... Kamu ngapain?"
Dia tertawa geli saat perlahan aku benar-benar mulai mencukur bulu-bulu itu. "Mas..., Kamu itu aneh. Aku nggak bayangkan akan melakukan seperti ini" jelasnya.
"Memang biasanya seperti apa?" Godaku.
"Sure, aku nggak pernah menyentuh. Aku malu. Apa kamu nggak risih melakukan itu?" tanyanya berulang-ulang, tanpa aku jawab.
Agak susah juga mencukur bulu kemaluan yang tak pernah tersentuh pisau cukur itu, tetapi beberapa saat kemudian kelar juga. Liang terindahnyapun tampak menyembul indah berbalut cairah licin yang tak henti mengalir selama aku membersihkan bulu-bulunya. Sebentar kamudian, dia bangkit ke kamar mandi membersihkan sisa rambut yang menempel di permukaan dan dalam vaginanya.
Sesaat setelah kembali ke kamar dia membiarkanku mencoba lagi hubungan intim, tetapi terasa sangat susah kulakukan. Lubang itu terasa terlalu sempit menjepit. Bahkan jemarikupun tak mampu menembusnya. Dia tampak begitu tegang saat bagian itu tersentuh. Akupun kembali hanya memeluknya, larut dalam ciuman dan belaian. Beberapa kali jemariku menyentuh liang perempuan itu. Permukaannya terasa basah, tetapi lubangnya begitu ketat bahkan untuk ujung jemariku.     
Gairahku semakin panas, tapi kucoba bersabar. Perlahan kukulum lembut liang itu, hingga beberapa saat kemudian dia mengerang-erang sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi. Beberapa saat lamanya aku terus melumat bibir liang senggamanya yang menegang, dan tiba-tiba dia meminta, "Mas... Ayo... Ayooo" Ajaknya.
Dengan senang hati aku menuruti ajakannya. Semula terasa sedikit ketat, tetapi perlahan tubuh kamipun menyatu. Lengkap sudah jalinan pernikahanku sebagai suami istri, tepat seminggu sejak malam pertama yang seharusnya kami nikmati.
Sedikit kekecewaan menggelayuti perasaanku saat dia meminta berhenti saat baru beberapa menit saja kami menyatu."Cepet sudahan, mas" begitu pintanya beberapa kali. Akupun berhenti, meski hasrat yang kurasakan sama sekali belum usai. Membangkitkan kembali gairahnya dan mengulang percintaan itu tetap tidak mudah  hingga beberapa hari kemudian.
Kekecewaan demi kekecewaan "kecil" itu selalu kusimpan karena setiap ada kesempatan menyatu dengannya dia selalu minta sudahan, padahal hasratku masih menggebu. "Cepet keluarin, mas" begitu pintanya setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, kalimat yang paling kubenci tetapi selalu berulang kali dia katakan.
Meski begitu, aku mencoba mensyukuri. Mendapat layanan istri sejauh itu harus kuterima sebagai karunia yang jauh lebih dari cukup dibanding semua terget pernikahanku. Setidaknya, urusan dengan ortu selesai, urusan jaga nama baik masih bertahan, dan semua tampak baik-baik saja.
Meski belum benar-benar kurasakan sisi indahnya, aku mencoba mensyukuri keperawanan yang kudapatkan. Aku memang tidak pernah mempersoalkan keperawanan, bahkan terus terang aku lebih kecewa dengan yang aku dapatkan, tapi tak henti aku berusaha mensyukuri telah menikahi seorang perawan. Benar-benar  perawan.
Ya. Secara fisik dia benar-benar masih perawan, meski bagiku hatinya tak lagi demikian. Aku selalu ingat ketatnya jepitan vaginanya saat pertama kami menyatu. Seperti kisah-kisah malam pertama masyarakat tradisional, meski tak ada setitikpun darah menitik, tetapi miliknya begitu ketat menghimpit milikku, layaknya gadis yang baru pertama mengalami hubungan intim.
Aku berusaha mensukuri semua yang terbaik darinya, meski pada akhirnya keluh-kesah ketidakpuasan tak juga mampu kuingkari di kemudian hari.  

TRUELY VIRGIN

Sikap istriku banyak berubah sepulang dari rumah sakit. Meski sakit typus yang diderita masih masuk pada masa-masa penyembuhan, tetapi dia cukup baik padaku. Dia menemaniku makan, menatakan pakaianku, dan banyak mengajakku berbicara. 
Sebenarnya aku sudah muak pada perempuan itu. Kalau bukan demi ibuku, aku malas melanjutkan kisah ini. Aku pikir, akan bersandiwara saja dengan semua ini entah sampai kapan. Mungkin aku hanya akan bersahabat saja dengan seseorang yang seharusnya menjadi kekasihku. Persetan dengan masa depan. Toh, selama ini aku sudah melupakan rencana pernikahan.
Sebagai lelaki normal, kadang tergoda juga melihat tubuh perempuan yang lumayan cantik rebah di sisiku, tetapi aku enggan menyentuhnya. Hingga acara ngunduh mantu selesai, aku masih enggan menyentuh perempuan itu sebagai istriku, tetapi tak aku pungkiri akhir-akhir ini kami semakin dekat.
Kami bercerita banyak hal tentang masa lalu, teman-teman, pekerjaan dan harapan-harapan masa depan. Saat itulah aku tahu bahwa meski terpelajar, dia memang perempuan yang "terlalu tradisional" untuk ukuranku. Meski pernah punya kekasih, dia sama sekali jauh dari hal-hal berbau seksual. 
"Menjelang menikah aku benar-benar resah, bagaimana caranya bersikap sebagai istri. Aku ingin menikah tapi tak membayangkan betapa malunya, bila harus tidur sekamar dengan lelaki. Aku membayangkan akan punya anak suatu saat, tapi aku nggak mau membayangkan bagaimana bisa sampai ke sana. Soal menikah aku cuma membayangkan akan punya teman lelaki begitu saja" Begitu pengakuannya.
"Soal sex?" Tanyaku perihal hubungan suami-istri. 
"Ih...., Aku begitu risih mendengarnya, apalagi membicarakan, bahkan sekedar membayangkan sekalipun aku tidak berani"
Setelah berbicara panjang kali lebar, perlahan kamipun mulai berciuman dan membiakanku meraba bagian-bagian tubuhnya. Masih jelas aku rasakan rasa rikuh pada sikapnya setiap kali aku menyentuhnya. Aku tahu dia tidak menikmatinya, tetapi dia membiarkanku melakukan semua yang aku mau.
Dia baru tampak kian gelisah dan seakan berat hati membiarkan jemariku menyusup ke balik celana dalamnya. Kurasakan bulu kemaluan yang teramat lebat menyelimuti bagian liang kewanitaannya. Meski awalnya seakan menolak, beberapa saat setelah jemariku meraba-raba miliknya, sikapnya  berubah seolah pasrah hingga aku dengan mudah melepas kain lembut pembungkus mahkotanya.
Segulir cairah licin tampak membasahi bulu-bulu kemaluannya yang lebar, membuat aku serasa tak tahan untuk tidak menikmatinya. Diapun membiarkan aku menindakan tubuhnya. Hanya saja, bulu-bulu itu terlalu lebat, sangat mengganggu, tetapi menembus liang istimwa itu terasa sulit kulakukan. Bulu kemaluannya sangat mengganggu, karena begitu lebat, bahkan gimbal tidak terawat. "Kok nggak dicukur? Lebat sekali" tanyaku.
"Aku tak pernah mencukur daerah itu" jawabnya.
"Masa?"
"Iya, nggak pernah. Memangnya pake dicukur segala?" tanyanya balik.
"Ya, iyalah..., kan terus tumbuh"
"Menyentuh saja aku tidak pernah. Aku malu, risih kalau harus menyentuh daerah itu"
Dia terkesiap, saat aku mengambil pisau cukur dan mulai mencukurnya. "Ih..., mas... Kamu ngapain?"
Dia tertawa geli saat perlahan aku benar-benar mulai mencukur bulu-bulu itu. "Mas..., Kamu itu aneh. Aku nggak bayangkan akan melakukan seperti ini" jelasnya.
"Memang biasanya seperti apa?" Godaku.
"Sure, aku nggak pernah menyentuh. Aku malu. Apa kamu nggak risih melakukan itu?" tanyanya berulang-ulang, tanpa aku jawab.
Agak susah juga mencukur bulu kemaluan yang tak pernah tersentuh pisau cukur itu, tetapi beberapa saat kemudian kelar juga. Liang terindahnyapun tampak menyembul indah berbalut cairah licin yang tak henti mengalir selama aku membersihkan bulu-bulunya. Sebentar kamudian, dia bangkit ke kamar mandi membersihkan sisa rambut yang menempel di permukaan dan dalam vaginanya.
Sesaat setelah kembali ke kamar dia membiarkanku mencoba lagi hubungan intim, tetapi terasa sangat susah kulakukan. Lubang itu terasa terlalu sempit menjepit. Bahkan jemarikupun tak mampu menembusnya. Dia tampak begitu tegang saat bagian itu tersentuh. Akupun kembali hanya memeluknya, larut dalam ciuman dan belaian. Beberapa kali jemariku menyentuh liang perempuan itu. Permukaannya terasa basah, tetapi lubangnya begitu ketat bahkan untuk ujung jemariku.     
Gairahku semakin panas, tapi kucoba bersabar. Perlahan kukulum lembut liang itu, hingga beberapa saat kemudian dia mengerang-erang sambil mengangkat pinggulnya tinggi-tinggi. Beberapa saat lamanya aku terus melumat bibir liang senggamanya yang menegang, dan tiba-tiba dia meminta, "Mas... Ayo... Ayooo" Ajaknya.
Dengan senang hati aku menuruti ajakannya. Semula terasa sedikit ketat, tetapi perlahan tubuh kamipun menyatu. Lengkap sudah jalinan pernikahanku sebagai suami istri, tepat seminggu sejak malam pertama yang seharusnya kami nikmati.
Sedikit kekecewaan menggelayuti perasaanku saat dia meminta berhenti saat baru beberapa menit saja kami menyatu."Cepet sudahan, mas" begitu pintanya beberapa kali. Akupun berhenti, meski hasrat yang kurasakan sama sekali belum usai. Membangkitkan kembali gairahnya dan mengulang percintaan itu tetap tidak mudah  hingga beberapa hari kemudian.
Kekecewaan demi kekecewaan "kecil" itu selalu kusimpan karena setiap ada kesempatan menyatu dengannya dia selalu minta sudahan, padahal hasratku masih menggebu. "Cepet keluarin, mas" begitu pintanya setiap kali kami melakukan hubungan suami istri, kalimat yang paling kubenci tetapi selalu berulang kali dia katakan.
Meski begitu, aku mencoba mensyukuri. Mendapat layanan istri sejauh itu harus kuterima sebagai karunia yang jauh lebih dari cukup dibanding semua terget pernikahanku. Setidaknya, urusan dengan ortu selesai, urusan jaga nama baik masih bertahan, dan semua tampak baik-baik saja.
Meski belum benar-benar kurasakan sisi indahnya, aku mencoba mensyukuri keperawanan yang kudapatkan. Aku memang tidak pernah mempersoalkan keperawanan, bahkan terus terang aku lebih kecewa dengan yang aku dapatkan, tapi tak henti aku berusaha mensyukuri telah menikahi seorang perawan. Benar-benar  perawan.
Ya. Secara fisik dia benar-benar masih perawan, meski bagiku hatinya tak lagi demikian. Aku selalu ingat ketatnya jepitan vaginanya saat pertama kami menyatu. Seperti kisah-kisah malam pertama masyarakat tradisional, meski tak ada setitikpun darah menitik, tetapi miliknya begitu ketat menghimpit milikku, layaknya gadis yang baru pertama mengalami hubungan intim.
Aku berusaha mensukuri semua yang terbaik darinya, meski pada akhirnya keluh-kesah ketidakpuasan tak juga mampu kuingkari di kemudian hari.  

KISAHKU 19 - HADIAH YANG HILANG

Suamiku begitu bahagia saat tahu aku positif hamil. Di tengah kesibukannya dan hidup terpisah, dia berusaha selalu menjaga dan memanjakanku lebih dari biasanya. Tiada saat yang lebih membahagiakan dalam hidup melebihi saat hamil pertama, sekalipun dia enggan tinggal di rumah orang tuaku.
Untuk mencarikan suasana, keluargaku mengajakku dan suami ke Bandung dan Jakarta. Waktu itu kehamilanku menginjak bulan ketiga. Kami pergi ke Bandung menghadiri resepsi salah satu guru yang bekerja di rumahku, kemudian ke Jakarta untuk memperkenalkan suamiku dengan keluarga kakakku.
Dalam satu pertemuan keluarga di Jakarta, sikap kakak iparku tidak lebih baik dari adikku. Sekalipun hanya dengan kata-kata kakak iparku bersikap kasar pada suamiku, yang membuat suamiku enggan bicara dengannya. Bahkan sejak saat itu, dia tak pernah berkomunikasi dengan kakak iparku hingga suami kakakku itu meninggal dunia.
Keluargaku sudah biasa dengan sikap kakak iparku yang keras dan serba mengatur, juga dengan sikap adikku yang sering kalap bila sedang emosi, tetapi sikap itu tidak bisa diterima suamiku. Dia sama sekali bukan tipe lelaki yang bisa menerima kekerasan apapun. Meski sangat rasional dalam memandang banyak masalah, dia orang yang sangat perasa.
Dia tak menunjukkan ketidaksukaannya pada cara kakak iparku, tetapi dengan pasti menjaga jarak dan menghindari berbicara langsung. Dia bahkan lebih suka membawaku jalan-jalan di sekitar rumah sekedar menghindari komunikasi. Itu pula sebabnya dia mengajakku segera pulang ke rumah.
Satu hal lagi kupahami dari suamiku. Dia memang seorang yang lembut dan penyabar, tetapi bila dihadapkan pada situasi yang tidak sesuai, dia bisa bersikap sangat keras. Bahkan sejak saat itu aku menyebutnya bola karet, halus, empuk, lembut, tetapi bila terlempar dengan keras dia bisa sangat menyakitkan.

Pulang dari Jakarta keluargaku kembali meminta suamiku tingga di rumah orang tuaku. Kami butuh orang seperti dia untuk membangun kembali lembaga pendidikanku yang beberapa tahun terpuruk dan ditinggalkan masyarakat. Apalagi aku sedang hamil dan butuh perhatian dia lebih dari biasanya.
Dia tidak mengiyakan, tetapi setelah beberapa hari tinggal di rumah, tiba-tiba aku mengalami keguguran. Suamiku menemaniku selama aku menderita sakit yang tak tertahankan. Dia tak pernah jauh dariku, sekalipun raut kekecewaan jelas tergambar di wajahnya. Dia kehilangan anak yang menjadi harapannya.

MALAM-MALAM PENUH BEBAN

Hari kedua pernikahan rupanya tidak lebih baik. Kami memang semakin akrab, bicara banyak hal tanpa beban. Dia selalu tertawa lepas karena gurauan-gurauanku, meski sesekali menangis sedih saat membicarakan mantan kekasihnya.
Seharian hampir-hampir kami tidak berada di kamar, karena dia membawaku keliling dari satu rumah ke rumah kerabatnya yang lain untuk memperkenalkan aku. Baru sekitar jam 9 malam kami mengakhiri perjalanan itu.
Saat kembali ke kamar, kembali rasa kecewa menyeruak di hati, karena sejenak sejak masuk kamar dia sudah tertidur pulas. 
Rasa kesalku benar-benar tak tertahankan. Tanpa seijin dia dan siapapun, aku pulang ke rumah orang tuaku, hanya dengan meninggalkan pesan di secarik  kertas, “Aku pulang, tidak usah kamu cari, tidak usah kamu telepon”
Terus terang aku sendiri sebenarnya segan kembali ke rumah. Aku tak tahu bagaimana menjelaskan ini pada ortuku. Semalaman aku hanya duduk-duduk di terminal, menyiksa diri dengan berbatang-batang rokok. Aku baru berani ke rumah sekitar jam 10 pagi.
Ibuku kaget bukan kepalang melihat kedatanganku, “Lho, istrimu mana?” tanyanya mengawali. Semula aku berkelit ke sana ke mari, tapi akhirnya akupun mencoba bicara sehalus mungkin, “Bu..,  kalau pernikahan ini tidak dilanjutkan menurut ibu bagaimana?” tanyaku politis.
Bukan sempat menjawab pertanyaanku, ibu sudah terkulai lemas tak sadarkan diri. Berbagai usaha kulakukan, tapi dia seperti sulit untuk siuman. Segera saja kuangkat wanita itu dan membawanya ke rumah sakit. Yang paling istimewa pula, ini adalah pertama kalinya ibuku masuk rumah sakit. Beberapa saat setelah ditolong perawat ibu kembali siuman. Lega sekali hati ini melihatnya.
Beberapa saat setelah siuman, ibu memaksa bicara padaku, meski dokter melarangnya. “Le, ibu nggak mau mendengar kata itu lagi. Ibu sudah bilang, sekali melangkah, jangan pernah menoleh ke belakang, jangan pernah menarik ludahmu sendiri. Sekarang kamu pulang ke rumah istrimu atau kamu tidak usah datang padaku lagi”
Aku hanya diam saja, meski sebenarnya aku ingin menyampaikan alasanku. Aku tak tega bicara saat dia dalam keadaan seperti itu. Apalagi ibuku memang lumayan “otoriter”. Dia tidak pernah meminta argumen, Bagi anak-anaknya dia adalah pepunden, sesembahan. Apa yang dia mau, dia katakan tidak pernah sekalipun kami bantah. “Kamu harus pulang ke rumah istrimu sekarang”
“Tapi ibu kan masih sakit?”
“Aku sudah banyak yang ngurusi. Sekarang kamu pergi sana. Ayo pergi” hardiknya dengan nada yang kian tinggi.
Setelah merasa linglung beberapa saat, akhirna akupun berdiri. Aku mencoba sungkep (menyalami tangannya), tapi dia tepis. “Nggak usah. Besuk Minggu saja kalau kamu datang sama istrimu”
Hari minggu yang akan datang memang acara ngunduh mantu (resepsi di rumah pengantin pria) dirumah ibuku. Sebagai orang yang ditokohkan di kampungku, aku bisa mengerti betapa sedih dan malunya ibuku bila acara itu batal dengan cara seperti ini.
Aku merasa linglung. Aku tak tahu harus apa, tak tahu lagi harus bagaimana. Beberapa saat aku hanya terduduk di terminal bis. Kepulan asap rokok saja yang membantuku mengusir penat hingga beberapa lama.
Saat aku kian jauh larut dalam lamunan, tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya mertuaku menelpon, "Istrimu sakit, nak. Dia harus ke rumah sakit, tetapi tidak mau diantar ke sana tanpa kamu. Tolong pulanglah"
Sebentar kemudian istri yang berbicara sambil menangis. Dia minta maaf, dan memintaku kembali. Terus terang aku tidak berminat, tetapi kali ini benar-benar tak ada pilihan. Semua  harus kulalui meski teramat memuakkan. Setelah malam pertama yang memuakkan, minggu pertama pernikahan kuhabiskan dengan berjuta beban.  

MALAM PERTAMA YANG MENYEDIHKAN

Bagi pasangan normal, malam pertama pasti jadi saat2 paling ditunggu. Setelah pesta usai dan tamu2 telah berlalu, tentu saja saat bersejarah itu yang paling kutunggu, tetapi hari pernikahan serasa sama sekali tidak istimewa bagiku. 
Ada perasaan aneh, hampa dan serasa menyongsong hari-hari yang suram. Meski begitu, aku mencoba sekuat tenaga berfikir positif. Inilah hariku, hari istimewaku yang harus kunikmati sebagaimana seharusnya. Apapun alasanya, apapun latar belakang pernikahan ini, apapun yang dipikirkan istriku, hari ini aku mempunyai istri. Aku akan menikmati hari-hari indah bersamanya.
Selepas acara pernikahan siang itu, aku merasa suasana semakin aneh, karena istriku seperti berusaha menjauh dan menghindariku. Dia bahkan berusaha menghindarkan aku dari kawan-kawannya. Praktis, aku sama sekali tidak berbicara dengan mereka. Beberapa lama aku hanya di kamar, sementara dia entah di mana. Menjelang Maghrib aku mulai sedikit kesal, karena dia tidak juga masuk ke kamar pengantin. Segera saja keluar mencarinya dan ternyata sejak tadi dia berada di kamar sebelah.
Kulihat dia begitu asyik telepon seseorang dan tidak mempedulikanku. Setelah tahu kehadiranku diapun menghampiri, lalu mengejutkanku saat berkata, “Mas, kamu tidur di kamar sana aja ya, aku di sini?”
Dengan menahan rasa kesal akupun mendekatinya dan bilang padanya, “OK. Nggak apa-apa. Biar aku mau pulang saja”
“Lho, kenapa?” sahutnya terkejut.
“Aku nggak merasa sedang jadi pengantin” jawabku datar dan segera beranjak pergi. “Jangan… Mas…, jangan pergi”
Aku benar-benar kesal, dan segera beranjak ke kamar untuk mengemasi barang ke kopor. Beberapa saat kemudian dia masuk ke kamar bersama ibunya. “Mau ke mana, nak?” tanya ibu mertuaku.
“Saya pulang saja, bu”
“Lho, kenapa? Ya nggak enak dong kalau dilihat orang. Masa baru jadi pengantin kok pulang”
Aku terdiam sejenak. Dengan menahan kesal aku berusaha bicara sesopan mungkin pada wanita itu. “Kalau di sini saya yang merasa tidak enak. Masa istriku tidur di kamar sebelah dan saya di sini?”
Kontan ibu mertuaku terhenyak, dan balik marah-marah pada istriku, “Kamu ini bagaimana sih? ….. Harusnya kamu temani suamimu”
Istriku diam saja, kemudian ibu mertuaku menasehatiku, “Nak, tolong kalau ada apa-apa dibicarakan dulu, jangan terus pulang begitu”
“Saya sudah bicara tadi, tapi kayaknya ….” Aku tak bisa melanjutkan kata-kataku. Aku kesal sekali.
Kembali mertuaku bilang sama istriku, “Sudah. Kamu harus di sini. Layani suamimu, ajak makan. Dari siang tadi sudah kamu ajak makan apa belum?”
Istriku hanya mengangguk.
“Nak, tolong sabar ya?” nasehatnya seraya pergi meninggalkan kami.
Aku tidak berkata-apa dan berhenti mengemasi barang-barang. Aku sendiri juga tidak enak kalau harus pulang di hari pernikahan. Aku tak bisa membayangkan apa yang yang harus kukatakan pada orang tuaku. Dengan dipenuhi rasa kesal, bingung dan perasaan yang tidak menentu, akhirnya aku memilih tidak berbuat apa-apa. Aku tetap tinggal, dan inilah awal kebodohanku.
Aku berusaha meredam kekesalanku. Aku mencoba tenang menghadapi sikap istriku yang memuakkan. Aku bahkan berusaha bersikap sebaik mungkin, Aku berusaha mendekat saat dia terus sibuk membersihkan kuku-kukunya dari cat. Aku mencoba membantunya membersihkan cat dari kuku jari tangan dan kakinya, tapi dia menolak. “Sudah, biar aku sendiri” pintanya.
“OK” tanggapku menyerah. Akupun merebahkan tubuhku di atas tempat tidur hingga waktu Maghrib tiba dan sholat berjama’ah. Sesudah itu, dia mengajakku makan di ruang makan.
Selesai makan, istriku pamit mau telepon temannya dari kamar sebelah. Lama sekali aku menunggu dan rasa kesal itu kembali menghantuiku. Aku merasa ini bukan hari indah pengantin baru seperti diceritakan banyak orang. Ini hari paling memuakkan dalam hidupku.
Selama ini ada puluhan gadis yang dekat denganku, tak satupun bersikap begitu. Mereka menghormatiku, memujaku dan mengharapkanku. Sementara dia yang kumiliki justeru terasa melecehkanku.
Akupun keluar rumah dan membeli beberapa bungkus rokok. Inilah pertama kalinya dalam hidupku aku merokok. Sukses, beberapa batang mengepul dari mulutku, meski kadang harus disertai batuk-batuk. Merokok itu pahit rasanya, getir di mulut dan lidah, tapi tak segetir perasaanku malam itu.
Mungkin karena diingatkan ibunya, istriku menyusulku di halaman depan. “Mas, ayo masuk” pintanya.
Akupun mematikan rokokku dan beranjak ke kamar bersamanya. “Lho, mas merokok, ya?” tanyanya keheranan.
“Sebenarnya sih tidak”
“Kok merokok?”
Aku diam saja dan beranjak masuk kamar bersamanya. “Aku ganti baju dulu ya?” pintanya sembari beranjak keluar.
“Lho, ke mana?”
“Di kamar sebelah”
Meski merasa aneh, aku hanya mengangguk dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Dalam hati aku heran, “Kenapa dia harus ganti baju di kamar sebelah, tapi sudahlah… biar aja” Aku menenangkan hatiku sendiri.
Sesaat kemudian dia muncul di kamar dengan memakai baju tidur dengan pakaian bawahan model celana panjang. Dia membuka-buka almari seperti mencari sesuatu. Sesaat kemudian dia kembali duduk di meja rias. “Ayo sini, dong” Pintaku.
“Sebentar” jawabnya sembari membersihkan wajah dengan kapas dan cairan kosmetik. Akupun segera bangkit dan mendekatinya. Saat dia tengah asyik memberishkan wajah dengan kapas, tanpa permisi aku mencium pipi kirinya. Dia sama sekali tidak bereaksi, dan “Ih…”  sergahnya sembari menghindar saat aku bermaksud mencium untuk kedua kalinya.
“Ayo dong” pintaku kembali sembari memegang tangannya. Diapun akhirnya menurut kuajak ke tempat tidur.
Saat tubuh kami rebah di tempat tidur, akupun mendekat dan bermaksud merengkuhnya. “Mas… Jangan” Tiba-tiba dia menyergah sembari menepis tanganku.
“Kenapa?” tanyaku
“Kita  kan pengantin baru?” sambungku.
“Ya, tapi jangan sekarang” pintanya.
“Kenapa?”
“Aku belum siap”
“Memangnya kita mau ngapain?”
“Hm…” leguhnya menergah.
“Aku pengen peluk aja”
Dengan sedikit memaksa, akhirnya kupeluk juga perempuan itu. Terus terang tergoda juga, saat tanganku melingkari tubuhnya dan pahaku menindih pahanya. Dia menahan jemariku dan memeganginya erat-erat saat bermaksud menyentuh payudaranya, tapi membiarkanku menciumi pipinya.
Dingin dan sama sekali tak terasa istimewa menciumi perempuan tanpa reaksi apapun. Terus terang ini bukan pertama kalinya aku mencium wanita, dan aku tahu bagaimana biasanya reaksi pertama mereka.
Aku tak memikirkannya, karena kamipun akhirnya ngobrol banyak hal, cerita masa lalu, teman-temannya dan tidak terkecuali aku tanya sikapnya seharian tadi. Saat aku tanya sikapnya padaku sejak acara resepsi selesai diapun mulai menjelaskan. “Perasaanku nggak enak aja” jelasnya.
“Kenapa?” tanyaku.
“Entahlah. Rasanya aku tidak siap sekamar dengan laki-laki”
“Kamu kan sudah pernah jalan sama cowok. Sudah lama ingin menikah, masa masih tidak siap?” tanyaku penuh selidik.
Sejenak dia terdiam. Kulihat matanya berkaca-kaca, seolah menahan sebuah beban perasaan yang tak mudah diungkapkan. “Mungkin itu pula sebabnya” dia berguman perlahan.
“Kamu nggak marah, kalau aku cerita?”
“Nggak. Kamu cerita saja”
Dia kembali diam sejenak. Setelah menghela nafas panjang dia melanjutkan ceritanya. “Tadi kami telepon. Dia sekarang sedang stress berat. Katanya dia sedih sekali karena aku menikah sama kamu. Sebenarnya kami memang belum rela mengakhiri hubungan kami, tapi apa boleh buat?” Segulir air mata mengembang di permukaan matanya, hingga meleleh di pipi.
Sejujurnya hatiku hancur sekali mendengar penjelasan itu, tapi aku mencoba tenang. Perlahan kuusap linangan air di wajahnya. Di satu sisi aku kasihan juga dengan wanita itu. Dia sungguh tidak beruntung harus menikah dengan orang yang tidak dia kasihi. Akupun mulai secara jelas menyesali pernikahanku.
Dia mengaku bersedia menerima tawaranku karena kesal pada  mantan pacarnya yang ternyata mencoba mendekati cewek lain. Meski kemudian usaha itu diurungkan, dia masih memendam rasa kesal itu kepadanya.
Sedemikian sedihnya dia mengingat kisah cintanya, membuat dia tak mampu lagi melanjutkan cerita. Akhirnya diapun menangis sejadi-jadinya. Aku hanya bisa memeluknya, menenangkannya dengan mengusap punggungnya perlahan.
Dalam hati akupun mencoba menenangkan perasaanku sendiri yang kecewa berat malam itu.
Aku mulai merasionalkan cara pandangku. “Masa bodoh dengan masa lalunya. Yang jelas, dia  istriku. Bersama dialah aku mesti habiskan sisa hidupku dengan berbagai masalahnya, terutama masa lalu dia dan kekasihnya, bahkan jalinan komunikasinya yang masih bertahan hingga saat ini.
Aku harus berfikir pragmatis saja. Malam ini aku tidur dengan perempuan. Malam ini malam pertamaku. Kunikmati saja semuanya. Siapa tahu ngobati pedihnya hatiku saat ini” pekikku dalam hati.
Beberapa lama setelah dia kembali tenang aku kembali memeluknya. Aku mulai fokuskan perhatianku pada perempuan itu. Dia masih menggoda di mataku, apalagi saat kembali memeluknya seperti tadi. Dia menyergah sembari menahan tanganku saat jemariku kembali bermaksud membuka kancing bajunya. “Mas,  jangan dulu, ya?” pintanya.
“Kenapa?” tanyaku.
Sejenak dia terdiam menahan perasaan. “Pokoknya jangan sekarang”
“Kapan lagi. Ini kan malam pertama kita, sayang?”
“Iya, tapi aku belum siap. Aku pikir mungkin satu atau dua bulan lagi aja”
“Hah…?” Pekiku lirih.
“Aku bener-bener belum siap. Maafkan aku, ya”
“OK” jawabku lemah. Perasaan kesal kembali memenuhi ruang hatiku. Segera saja aku beranjak bangkit, tapi dia memegangi tanganku sambil menyergah, “Mas… jangan!!”
Dia  mengira aku akan kembali berniat pulang. Diapun melepaskan tanganku saat aku bilang, “Aku cuma mau merokok saja”
Akupun keluar kamar dan menghisap batang demi batang rokok hingga pagi menjelang. Unik, Malam pertama bukan jadi malam mengasyikkan bersama lawan jenis, tetapi malam pertama bersama batang-batang rokok.

HARI-HARI ISTRIKU YANG PENUH MEMORI

Akhir-akhir ini istriku makin sering kontak sama Zaenal. Diam-diam istriku makin seru saja sama Zaenal, mantan kekasihnya. Memang sih, tak banyak nangggapin godaan laki-laki itu, tetapi sikap istriku kelihatan menikmati setiap kata pujian dan rayuannya.
Wanita yang telah memberikan empat orang anak itu bahkan kian semangat saja telpon atau SMS lelaki itu sampai lupa waktu. Lucunya, kalau ada aku dia gelagapan ngacir pergi menjauh dan susah payah menghapus memori handphone saat akan tidur.
Praktis benda itu selalu ada dalam genggamannya. Hampir-hampir tak sekalipun benda itu jauh darinya. Kalaupun ditinggal pasti disembunyikan di bawah bantal, tas, di bawah tumpukan kertas di laci atau di tumpukan baju. 
Wajahnya berubah kusut setiap kali mengakhiri telepon. Padahal seharian bermain dengan benda itu seakan berada di dunia fantasi yang begitu indah. Selamat menikmati cintamu, istriku... Aku turut bahagia atas apapun yang bisa membuatmu bahagia.

AWAL KEBODOHAN ITU

Saat baru saja masuk program S3, ibuku kasih ultimatum, “Adik-adikmu sudah pada selesai kuliah, sudah kerja dan punya calon sendiri. Mereka nggak mau mendahului kamu menikah. Karena itu, sekarang juga sebutkan nama calon istri kamu. Kalau tidak bisa berarti kamu harus menikah dengan calon yang ibu pilih”
Apesnya, aku tidak mampu menyebut satu namapun. Sejak berpisah dari anak tetangga, hatiku sulit berkomitmen dengan wanita. Dengan modal tampang yang nggak terlalu malu-maluin, status sosial dan keluargaku, aku lebih suka datang dan pergi dari satu hati ke hati yang lain. 
Pernah sih, belum lama sebelumnya aku coba jalin hubungan serius dengan seseorang, tapi ortunya tidak setuju. Dengan ringan hati aku melepaskannya begitu saja. Aku pikir, menikah adalah menjemput masalah, kenapa harus dimulai dari masalah?
Di saat yang begitu kritis, ibuku menunjukkan sebuah foto seseorang yang aku tidak kenal, tapi ibu bilang kami sudah saling kenal. Aku baru ingat saat ibuku menyebutkan namanya.
Saat kuliah semester-semester awal dulu aku memang sempat kenal gadis itu di suatu acara organisasi. Terus terang lumayan cantik juga. Aku bahkan nyaris naksir dia. Cuma saja saat itu hatiku belum benar-benar tertarik untuk mencarikan pengganti anak tetangga di hatiku. Akhirnya, kamipun tak lagi berkomunikasi sekitar 7 tahun lamanya. Aku bahkan sudah lupa wajahnya.
Ternyata dia anak sahabat ibuku di organisasi. Saat bertemu dalam berbagai pertemuan organisasi tingkat wilayah (provinsi), rupanya mereka sempat saling bicara dan berniat menikahkan kami.
Tanpa berdaya akhirnya pinanganpun berlangsung, dan pernikahan ditetapkan kurang dari dua bulan sejak saat itu. Aku sendiri tidak terlalu antusias menyambut hari pernikahanku. Selain hari-hariku sibuk oleh kuliah yang padat di semester awal, aku biarkan semuanya mengalir begitu saja.
Kegelisahan justeru datang sekitar tiga minggu menjelang hari pernikahan. Entahlah, aku merasa telah salah langkah membiarkan semua ini harus terjadi. Aku mulai merasa dia bukan wanita yang cocok untukku. Dari pembicaraan kami di telepon aku merasa dia tidak enak diajak ngobrol. Dari nada bicaranya aku merasa dia gadis yang angkuh, seakan selalu merendahkan lawan bicaranya. 
Dengan berterus terang dia juga mengakui kalau pernikahan ini bukan atas kehendaknya, tapi karena ortunya tidak setuju dengan cowok pilihan hatinya. Segudang tanya kontan silih berganti menggangguku, "Kalau pernikahan ini atas dasar keterpaksaan, kenapa aku mesti menikahi perempuan seperti ini?" 
Aku sangat terpukul dengan pernyataannya, dan berniat membatalkan pernikahan. Hanya saja, sekali lagi aku tak berdaya, karena ortuku tak mengijinkan. “Kamu adalah contoh bagi adik-adikmu, dan tak kuijinkan kamu memberi contoh seburuk itu”
Yah…, serasa lemas seluruh tulang belulangku. Aku hanya bisa menyerah, pasrah dengan perasaan gundah, menyambut hari yang seharusnya indah. Aku hanya berfikir, andai saja aku bisa berkata tidak pada ibuku…. 

HAMBAR

Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00. Aku masih asyik ngenet di depan laptop. Tiba-tiba istriku keluar dari kamar anakku yang nomor dua. Dia berjalan ke ruang makan, membuka kulkas dan kulihat mengambil sebotol air minum. Setelah minum beberapa teguk air dan menutup kulkas kembali, dia berhenti sejenak di depanku.
“Nggak tidur, Pa” Sapanya.
“Belum ngantuk” jawabku singkat.
“Besok kan papa ngantor?”
“Iya…., Nggak bisa tidur mau ngapain?”
Sejenak dia hanya terdiam memperhatikan aku yang asyik mainkan keypad. Sambil merangkul pundakku, dia berbisik perlahan, “Papa nggak pengen (hubungan), to?” tanyanya.
“Sebenarnya, sih. Kita kan sudah lama pisah ranjang” jawabku ringan.
“Ih… ngomongnya” dia menyergah sambil menguncang tubuhku.
“Emang begitu, kan?” timpalku ringan, dan sejenak kemudian dia berlalu dan kembali masuk ke kamar anakku.
Memang sudah dua tahun kami tidak tidur satu kamar, tidak satu ranjang. Dia lebih suka tidur di kamar depan bersama anak nomor dua. Sedangkan aku tidur sendirian di kamar utama. Semula memang karena alasan menemani anak yang waktu itu sedang sakit, tapi setelah sembuh sekalipun dia tetap memilih tidur di sana.
Tidak ada komitmen apapun di antara kami untuk pisah ranjang. Kami bahkan masih melakukan hubungan suami-istri sesekali. Beberapa hari yang lalu kami bahkan pernah melakukannya, meski aku sendiri nggak sampai ”selesai”.
Bicara soal ini sudah tak kehitung lagi, tapi tetap saja, dia kelihatannya memang lebih nyaman tidur tidak denganku. Dia memang lebih suka menikmati tidurnya seperti seorang balita. Dia tidak suka terganggu saat tidur, disentuh, dipeluk, dibelai, diraba, apalagi sampai hubungan intim.
Rupanya dia tidak enak dengan omonganku tadi. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar kamar dan mendekat ke meja kerjaku. “Pa, ayo dong tidur” Ajaknya.
Aku diam saja, hingga dia mengulang ajakannya beberapa kali.
“Katanya kepingin, Ayo…” Ajaknya lagi.
“Aku juga lagi kepingin, nih” lanjutnya.
Setelah beberapa kali ajakan dan setengah memaksa, akhirnya akupun menurut. Aku ikut saja saat dia menggandeng tanganku masuk ke kamar utama. Di kamar itu, dia langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Akupun merebahkan tubuhku di sampingnya dan mencoba memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian dia memiringkan tubuhnya menghadapku. “Kamu nggak kepingin, ya?” tanyanya sembari melingkarkan tangannya ke punggungku. Pahanya yang tersingkap menindih pahaku.
“Tadinya begitu” jawabku malas.
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Malas aja”
“Kok begitu, sih?” tanyanya sembari meraba dada dan bagian sensitifku. Beberapa saat kemudian benda istimewaku itupun berdiri.
“Ayo” Ajaknya lagi, tapi aku diam saja.
Diapun memiringkan tubuku menghadap tubuhnya, dan menempelkan bagian sensitifku pada miliknya.
“Ayo…, tekan, dong” pintanya, tapi aku diam saja.
Entahlah, malas sekali aku melakukannya. Aku benar-benar tidak tertarik, meski milikku sudah di berada tepat di depan miliknya. Padahal selama ngenet tadi aku kepingin sekali melakukan ini. Aku bener-bener tergoda saat chatting dengan wanita yang mengaku tinggal di Jakarta tadi. Dia yang mengaku kesepian banyak cerita tentang hasratnya yang lagi tinggi, hingga kebiasaan seksualnya semasa masih bersuami.
Ya, kami memang beberapa kali chatting asyik di internet. Dengan bebas aku suka sekali cerita tentang seks yang kuinginkan dan diapun begitu. Seketika hasratku selalu bangkit menggebu-gebu setiap kali mulai chatting dengannya. Apalagi bila dia mengaku sedang horny, menjelang dan sesudah haid. Dia mengaku sebenarnya termasuk wanita bergairah tinggi. Aku percaya padanya, meski aku sama sekali tak mengenalnya. Meski hanya lewat tulisan terasa sekali besarnya gairah wanita itu.
“Ayo dong, sayang” pintanya lagi, tapi aku tak juga ingin bereaksi.
Diapun akhirnya menekan pinggulnya sendiri agar bagian itu menyatu, tapi tidak berhasil. Kurasakan bagian miliknya masih kering, hingga berkali-kali gagal masuk ke dalam. “Ih… Kering banget, ya” keluhnya.
“Sana ambil pelumas dulu” pintanya.
“Nggak usah ah. Malas” Jawabku melas.
Akhirnya diapun bangkit sendiri dan beranjak mengambil pelumas di kotak obat. Sesampai di tempat tidur, dia mengoles milikku dengan pelumas dari bagian pangkal hingga ujung. Diapun kembali merebahkan tubuhnya di sampingku dan menarik tubuhku hingga kami berhadap-hadapan. Dengan mudah milikku terbenam ke dalam lubang miliknya saat dia menekan pinggulnya. Sementara aku memegangi pantatnya yang terasa lembut di telapak tanganku.
Aneh. Sama sekali aku tidak merasakan apa-apa, meski dia terus-menerus menggerakkan pinggulnya hingga milikku keluar-masuk liang miliknya. Dia terus bergerak sesukanya, tapi aku sama sekali tak merasakan apa-apa.
Hambar. Vagina itu terasa hambar, tanpa rasa apapun. Tubuh itu dingin tanpa sedikitpun getaran. Tidak ada detak jantung yang berpacu. Tidak pula desah nafas yang memburu, tidak ada gairah yang menggebu. Bahkan cairan licin pertanda horny sekalipun tak keluar dari miliknya. Hambar. Hambar, tak berasa. “Nggak terasa to, sayang?” tanyanya sesaat setelah mengakhiri gerakan.
“Hmm…” Jawabku sembari mengangguk.
“Ayo dong, gerakkan. Kamu kok diam saja?”
“Nggak ah. Kamu sudah apa belum?” tanyaku
“Kenapa, sih? Tanyanya.
“Malas aja”
“Ya sudah. Kalau gitu masuk dari belakang aja, ya? Kamu kan sukanya begitu” Jawabnya sembari terus merayuku”
Diapun membalikkan tubuhnya membelakangiku. Pahanya menekuk ke depan.Akupun menempelkan milikku ke miliknya. “Bles…” Dengan mudah aku menekan masuk milikku ke miliknya. “Hmmm…” Diapun sedikit meleguh.
Lumayan. Sedikit lebih berasa. Aku memang suka masuk dari belakang. Aku suka sekali bila bagian depan tubuhku menyentuh pantatnya, tapi aku tetap saja malas menggerak-gerakkan pinggulku. Aku hanya terdiam menikmati sedikit rasa hangat dan lembut di beberapa bagian tubuhku, tapi tetap saja hambar, tak seberapa berasa. “Kenapa sih, sayang?” keluhnya tiba-tiba sembari menarik tangaku melingkari tubuhnya.
Aku diam saja, hingga dia kembali bertanya, “Kenapa sih?”
“Aku nggak ngerasakan apa-apa” jawabku. 
“Kok bisa, sih?”
“Nggak tahu. Aku cuma bosan aja bercinta dengan boneka”
“Ih… ngawur. Masa orang dibilang boneka. Aku kan sudah gerak-gerak?”
Aku diam saja. “Sayang. Kenapa? Dia kembali mendesakku sembari mengguncang-guncang tubuhku.
Akhirnya akupun mengeluh. “Kamu memang gerak-gerak, tapi kan nggak ada gairahnya apa-apa?”
“Gairah itu yang kaya apa?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafas. “Kamu memang mau, tapi sebenarnya kan nggak pingin”  jelasku.
“Terus aku harus bagaimana?”
“Nggak harus bagaimana-bagaimana. Udahan, nih” sergahku sembari melepaskan milikku dari liang miliknya.
Diapun bangkit terduduk. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Bisaku ya memang begitu” ungkapnya sembari memijit-mijit lenganku. “Kamu nggak puas, ya?” lanjutnya, tapi aku enggan menjawab.
Dia terus memijit-mijit tubuhku, dan akupun memilih berusaha terlelap tidur. Aku berusaha hadirkan teman chattingku itu memenuhi angan-anganku. Aku berharap bayangan wanita virtual itu akan kembali bangkitkan gairahku, memberi rasa jalinan asmara kami. Sebagai sebuah sajian, wanita di sisiku tetap saja hambar, tanpa rasa. Aku berusaha hayalkan kehangatannya wanita virtual itu hadir di tubuhnya, tapi aku tak bisa. 

SURAT CINTA UNTUK NENEK CANTIK

Papa tidak tahu bagaimana harus bicara pada mama. Papa tahu, mama tidak pernah tertarik untuk membicarakan masalah ini. Setiap papa mencoba bicara, mama selalu menghindar, mengalihkan, menyangkal dengan berbagai alibi, tersinggung dan sering kali naik darah.
Kadang papa berfikir, mungkin seharusnya papa bicara sama orang lain saja, bukan sama mama.  Sebenarnya papa pesimis mama mau merespon secara positif, tapi papa ingin mencoba sekali lagi bicara, siapa tahu mama bersedia berbagi dan syukur-syukur berubah.
Terus terang, papa sangat tertekan dengan pola hidup dan kehidupan asmara kita selama ini.
PERTAMA: Sikap mama selalu penuh ketegangan yang membuat hidup kita terasa penuh tekanan. 
Papa menyaksikan mama selalu menyambut pagi dengan wajah tegang dan keluh kesah. Setelah itu, dengan wajah tegang pula buru-buru ke sekolah.
Sepanjang hari mama mondar-mandir seperti tak sabar, tak puas melihat kinerja semua pegawai. Sesekali mama keluar masuk rumah, melakukan ini dan itu dengan wajah tegang.
Sore hari, mama pulang ke rumah dalam keadaan kelelahan. Praktis hingga malam hari  papa hanya melihat wajah cantik mama ber-make up kelelahan, tampak lusuh tanpa daya.
Wajah cantik dan tubuh molek yang sangat papa kagumi itu tergolek lemas tanpa daya, tanpa gairah. Itupun sering masih ditambah sikap BT kalau anak-anak kita kadang rewel.
Di mataku, mama adalah wanita tercantik dengan tubuh paling menggoda. Tapi gairahku selalu sirna melihat tubuh molek itu seolah tanpa jiwa. Ketertarikanku, hasratku dengan mudah pudar oleh sikap dingin yang seakan tak menyimpan gairah untuk bercinta dan menikmati hidup.
Papa tahu, mama merasa tidak ada yang salah dengan semua itu, tapi tidak demikian buat papa. Papa ingin hidup kita lebih mengasyikkan, penuh semangat, penuh gairah dan semua terasa indah.
KEDUA: Papa kian tidak nyaman dengan hubungan kita sebagai suami-istri yang semakin hari terasa kian tidak harmonis.
Papa sudah sering mengatakannya, tapi tidak pernah direspon mama, tetap saja tidak ada yang berubah. Papa merasa hubungan kita kian hambar dan tak bermakna.
Sudah sekitar 3 tahun kita pisah ranjang di usia pernikahan yang seharusnya memasuki masa-masa paling hangat. Kita kian jarang bercinta. Belum tentu seminggu, bahkan sebulan sekali kita bercinta, bahkan sekedar menghabiskan bercengkerama berdua.
Sepertinya mama menganggap kita masih baik-baik saja. Mama sepertinya merasa telah melayani kebutuhan papa lebih dari cukup. Mama tidak mau tahu bahwa papa merasa sebaliknya. Mama sama sekali tidak menganggap kita sedang bermasalah, apalagi berusaha memperbaikinya.
Buat papa ini sangat menyedihkan dan menyiksa. Rasanya seperti menikahi nenek cantik yang sudah menopouse, yang tak merasa butuh bercinta, yang hanya butuh dibantu dan ditemani.
Yang perlu mama tahu, punya 4 orang anak bukan ukuran bahwa kebutuhan sexual tercukupi. Agar mama hamil, kita hanya perlu satu kali hubungan sex saja. Sedang untuk memenuhi kebutuhan batin, yang kita lakukan selama ini jauh dari mencukupi.
Papa masih terlalu sehat untuk jalani kehidupan seperti ini. Papa haus kehangatan wanita dan menikmati hidup seperti pasangan seusia kita.
KETIGA: Bertahun-tahun papa mencoba mengerti kondisi mama. Papa berusaha menyukuri keadaan mama sebagai wanita istimewa, berbeda dari perempuan kebanyakan.
Mama adalah wanita yang “terlalu baik”, yang tidak mudah tergoda oleh hasrat sex. Mama “terlalu bersih”, sampai-sampai tidak memiliki fantasi romantis dalam bercinta yang mampu mewarnai kehidupan sexual kita.
Sebenarnya mama wanita normal, tapi hasrat, gairah dan sensitivitas mama telah dimatikan oleh pola pikir yang menganggap sex sebagai sesuatu yang memalukan, kurang penting dan bisa diabaikan. Mama bahkan kelihatan risih untuk sekedar membicarakannya.
Akibatnya, mama terlalu dingin dalam bercinta. Kehidupan sexual kita jadi sering terasa hambar, sering mengecewakan, kurang mengasyikkan, dan terlalu jarang.  
Mama kehilangan sensitvitas bercinta, tidak mudah terangsang, tidak tanggap pada ajakan bercinta, dan hampir-hampir tidak pernah mengalami beratnya menahan hasrat yang menggebu.
Selalu butuh energi luar biasa untuk membuat mama siap bercinta. Satu-satunya saat di mana mama bergairah dan siap bercinta hanyalah saat mahkota mama dikulum papa.
Mama terlalu enggan untuk memahami kebutuhan papa sebagai laki-laki. Meski mama tahu papa sering bilang tidak puas, tapi mama seperti tidak peduli. Mama seperti sama sekali tidak bisa merasakan seperti apa dan seberapa berat apa beban batin yang papa alami. Mama tak pernah kelihatan menyesal atau merasa bersalah karena menolak ajakan bercinta.  
Mama belum punya empati, hingga tidak bisa merasakan betapa berat rasanya menahan hasrat. Mama tidak tahu kan seberapa sering, kapan saja, di mana saja dan bagaimana saja cara bercinta yang papa butuhkan?
Mama kelihatan belum merasa butuh untuk memuaskan diri mama sendiri, apalagi memuaskan papa. Mama kelihatan belum benar-benar menikmati dan menganggap bercinta sebagai kebutuhan. Makanya, mama tidak pernah berinisiatif mengajak papa bercinta karena keinginan mama sendiri.
Sikap mama setiap bercinta masih kurang mengasyikkan, kaku, tidak luwes, seperti baru pertama kali melakukannya. Selain itu, selalu ada ribuan alasan, aturan, dan hal-hal yang mama khawatirkan setiap kali bercinta.
Seperti sejak awal menikah dulu. Mama biasa enggan bercinta hanya karena malu kelihatan habis keramas, ada banyak orang, korden terbuka dan sebagainya. Rasa malu, kuatir ini dan itu, serta berbagai hal terlalu mudah mengalahkan kebutuhan untuk bercinta.
Mama memang selalu bilang siap bercinta, tapi kenyataannya wajah mama yang kusut, ngantuk dan tidak bergairah itu sama sekali tidak mendukung yang mama ucapkan. Mama masih dengan mudah menolak, mendiamkan, bahkan menganggap aneh ajakan papa untuk bercinta.
Papa sering mencoba menggoda mama, tapi tidak ada respon berarti. Sepertinya yang papa goda cuma tubuh mama, sedangkan hati dan pikiran mama entah ada di mana.
Yang paling menjengkelkan, mama terlalu membatasi saat bercinta dengan waktu, tempat, keadaan dan aturan. Seolah mama tidak peka, tidak sadar bahwa sikap itu sangat mengecewakan dan membunuh gairah.
Mama sering bilang, “Cepetan, keburu ngantuk”, “jangan sekarang”, “jangan di sini”, “ini bukan bolliwood”. Mama seperti tidak tahu, bahwa itu artinya mama tidak membutuhkan. Kalaupun mama mau, mama hanya melayani papa, padahal papa tidak butuh pelayan. Papa butuh seseorang yang membutuhkan papa. 
KEEMPAT:  Sejak menikah papa merasa kesulitan bicara dengan mama dari hati ke hati tentang masalah pribadi semacam ini.
Mama selalu bersikap reaktif setiap kali menanggapi pembicaraan. Mama biasanya langsung menolak, menentang balik apa yang papa bicarakan atau minimal diam saja. Ini membuat papa sering merasa kurang nyaman kalau bicara dengan mama.
Dengan sangat terpaksa papa sering memilih bicara dengan orang lain yang mau mendengar dan mengerti keluhan papa. Untung saja, sejauh ini belum terjadi apa-apa antara papa dan mereka.
Sering pula terbersit di pikiran papa untuk menyalurkan hasrat di luar sana, tapi sampai hari ini secara mental papa belum siap melakukannya. Kalau sudah benar-benar tak tahan, papa memilih masturbasi, sebuah kebiasaan yang justeru sering papa lakukan sejak menikah.
Tentu bukan ini yang papa inginkan. Papa ingin mama, bukan orang lain, bukan ilusi papa sendiri. Tapi kalau mama memang tak mungkin berubah, sepertinya ini satu-satunya pilihan.
KELIMA: Setelah menikah sekian lama, papa ingin kita bisa memperbaiki pola hidup dan kehidupan asmara kita selama ini.
Pertama, papa ingin wajah anggun mama tidak diselubungi dengan ketegangan demi ketegangan. Papa ingin melihat mama lebih rilex, penuh gairah dan menikmati hidup.
Papa tidak ingin melihat wajah kusut dan kelelahan itu. Papa tidak ingin berada di dekat tubuh indah tanpa jiwa.
Kedua, papa ingin mama memahami betapa selama ini papa merasa tersiksa oleh hasrat yang lebih banyak tertahan.
Papa ingin mama bersedia membicarakan dari hati ke hati, belajar memahami dan menerima kenyataan bahwa kebutuhan laki-laki seperti papa tidak seperti yang mama pikirkan.
Yang mama berikan pada papa selama ini masih jauh dari cukup. Gairah papa muncul sewaktu-waktu, sejak bangun tidur hingga tertidur kembali.
Papa selalu merasa sangat tertekan, suntuk, dan pikiran terasa buntu setiap kali hasrat itu muncul dan mama tak berminat menyapanya. Papa merasa sangat kecewa dan menderita setiap kali mama menolak dan tidak mempedulikannya.  
Papa ingin bisa bercinta dengan mama setiap saat, tanpa batasan waktu, tempat atau keadaan. Bahkan saat mama menstruasi, papa berharap mama bisa bantu menyalurkan hasrat papa dengan semua cara yang mama bisa.
Papa tahu, tak mudah buat mama untuk berubah, tapi papa yakin mama bisa, mama cuma tidak biasa, dan belum bisa menganggapnya penting. Papa yakin mama tak keberatan untuk bicara, dan kita perbaiki kehidupan kita bersama-sama. 

Kamis, 16 September 2010

SELAMAT MENIKMATI ISTRIKU, MAS ZAENAL !!!

Sesaat setelah parkirkan mobil, aku langsung jalan ke stadion Jombang untuk membeli rokok. Sedangkan istriku langsung masuk rumah di Anik. Pedagang rokok agak jauh dari rumah di Anik, sehingga butuh waktu yang lumayan lama untuk sampai kembali ke rumah di Anik.
Saat sampai kerumah di Anik, aku lihat istriku sedang telepon seseorang dengan wajah ceria. Spontan dia berlari ke belakang sambil meneruskan telponnnya. Dik Anik kelihatan cengar-cengir dan salah tingkah dengan kedatanganku. "Sopo? Zaenal, ta?" tanyaku to the poin. Dik Anik hanya tersenyum. 
"Sampeyan nggak marah, mas?"
"Buat apa?" tanyaku santai.
"Sampeyan itu sabar banget, ya mas? Kalau aku pasti sudah jadi masalah. Bahkan berteman dengan orang yang ada hubungannya dengan mantanku saja tidak boleh" Jelasnya.
Aku diam tak menanggapi. Aku memilih menghisap rokokku dalam-dalam, menenangkan perasaanku yang mulai berantakan. Lama sekali istriku telepon, dan baru keluar beberapa saat setelah aku tanya kapan pulang.
Aku sendiri berusaha bersikap semanis mungkin pada istriku dan dik Anik. Aku bersikap seolah tak ada apapun yang terjadi. Hingga kami sampai ke rumah kembali, aku tak banyak bisa menanggapi saat istriku berusaha banyak bicara. Aku tahu dia berusaha menutupi rasa gugupnya, tetapi wajahnya tak bisa sembunyikan kebahagiaan hatinya.
Aku mencoba membuka phone record handpone istriku saat dia ke kamar mandi. Rupanya Mukhlisoon orang yang telepon siang tadi. Di rekaman SMS juga terlihat beberapa kali istriku kontak lelaki yang sebenarnya bernama Zaenal itu.
Istriku buru-buru menyahut handphone sesaat setelah keluar kamar mandi. Sejak saat itu, dia terus menggenggam benda itu ke manapun. Bahkan saat tidur, dia menyimpannya di bawah bantal. 
Aku tahu itu pertanda dia menyembunyikan hubungan dia dengan seseorang di luar sana, tapi aku tak mau berbuat apa-apa. Aku justeru berpura-pura tidak tahu. Apalagi setelah itu dia pasti merayuku, mengajakku bercinta yang luar biasa.
Aku mencoba menikmati layanan bercinta yang luar biasa, meski hatiku terasa sangat perih terluka. Aku merasa hanya jadi pelampiasan cintanya pada lelaki itu, meski mungkin dia hanya berusaha menutupi affairnya. Aku berusaha menikmati percintaan itu, meski di sisi lain rasa cintaku padanya sudah berakhir ini. ini. Andai bukan karena anak-anak, sungguh aku tak ingin lagi bersamanya.
Air mataku terus mengucur deras semalaman di depan komputer. Aku browsing sana-sini hanya dengan satu tujuan. Aku butuh perangkat penyadap dan aku menemukannya.
Aku berusaha menata sikapku meski hatiku benar-benar telah hancur berkeping-keping. Aku tahu lelaki itu selalu dia rindukan dan sekarang dia semakin nyaman menikmati pesona cintanya lagi. Aku tak henti berguman, Selamat datang Zaenal. Selamat menikmati istriku.