Kamis, 08 Januari 2009

NO MORE REASON

Saat mataku terjaga dari tidur pagi ini, rasanya malas beranjak bangun. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 04.30 pagi dan seakan turut malas berdetak. Dari gemericik air di kamar mandi kamarku kudengar seseorang tengah mandi. Istriku memang biasanya mandi pagi-pagi. Sekitar sepuluh menit kemudian kulihat dia keluar dari kamar mandi dengan tubuh berbalut handuk. Padahal biasanya selalu masuk dan keluar kamar mandi dengan pakaian lengkap.
Meski sudah bertahun-tahun menikah, dia jarang berani membuka pakaiannya di depanku. Bila suatu saat aku mencoba membuka atau menyingkap sebagian pakaian yang melekat di tubuhnya, dia pasti akan meronta menolak. Entahlah apa yang dia pikirkan. Mungkin dia malu, segan atau tidak biasa saja.
Mataku tak lepas memandang tubuh indahnya yang berdiri menghadap almari pakaian. Paha putihnya yang berisi tampak begitu segar, begitu menggoda dalam balutan kain haduk yang minim itu. "Hmm... sexy juga istriku" gumanku dalam hati. Beberapa saat dia asyik memilih-milih pakaian di almari dan mungkin tidak mengira aku memperhatikannya sedari tadi.
Perlahan aku bangkit dari tempat tidur. Tanpa suara aku melangkah mendekati wanita cantik itu, dan perlahan memeluk tubuhnya dari belakang sambil merajuk, "Sayang...."
"Eh..., Aduh.... bikin kaget aja" sergahnya sembari meronta.
Aku tak mempedulikan sergahannya dan terus memeluknya lembut. "Kok udah banguh, sih?" serganya lagi sembari berusaha melepaskan pelukanku. "A..., jadi malu, nih" sergahnya lagi, tapi aku tak peduli.
Aku terus mendekapnya sambil menciumi tengkuhnya yang putih. "Pa, pa... Aku mau sholat. Aduh..., jadi batal nih wudlunya..." rengeknya setengah marah.
"Ya.. ntar wudlu lagi kenapa?" jawabku ringan.
Dia benar-benar berontak saat jariku berusaha melepaskan lipatan kain handuk yang melingkari payudaranya. "Ih..., Apaan, sih! Nggak, nggak, nggak... Aku nggak mau!" Hardiknya sembari memegang erat tanganku.
"Sayang... kamu kok terus begitu, sih?"
"Habisnya, kamu nggak tahu tempat nggak tahu waktu" sahutnya.
"Memang harus kapan dan di mana boleh begini sama kamu?"
"Iya..., tapi aku mau sholat" sahutnya ketus.
"Mau sholat? Kalau agak siangan dikit kamu pasti bilang mau ke kantor, siang hari kamu bilang mau ke toko, malam kamu bilang capek, ngantuk, mau ini itu" sahutku kesal.
"Oke... Kalau kali ini kamu masih menolak, kurasa ini terakhir kalinya aku nyentuh kamu" ucapku sembari melepaskan pelukanku.
Dia hanya berdiri termangu mendengar ocehanku. Akupun ngeloyor tidur kembali ke atas kasur. Aku telungkupkan badanku di atas bantal dengan perasaan kesal, kesal dan kesal. Aku benar-benar kesal.
"Sayang..." panggilnya tiba-tiba sembari memelukku dari belakang.
"Gitu aja kok marah, sih?"
"Gitu aja?" tanyaku ketus.
"Kamu menganggap ini tidak berarti?" lanjutku.
"Dengar ya, kayaknya hari ini aku harus putuskan, kalau selingkuh dengan perempuan di luar sana halal hukumnya buatku"
"Kok gitu, sih?"
"Iya. Karena aku nggak merasa mempunyai istri"
"Kita sudah berapa kali bicara, tapi apa hasilnya? Hari ini adalah batas kesabaranku. Selama kamu seperti itu, artinya aku berhak dan boleh cari perempuan lain" lanjutku.
Beberapa saat dia kurasakan dia menangis di atas punggungku. "Pa..., Aku harus bagaimana sudah. Aku akan ikuti kemauanmu"
"Aku nggak lagi punya kemauan"
"Jangan gitu, dong"
"Aku ingin kali ini dan seterusnya kamu punya kemauan. Kemauan berubah, merubah otakmu, merubah pola pikirmu"
"Aku merasa sudah banyak berubah"
"Berubah apanya? Buka baju di depan suami saja masih kaya gitu. Berubah apanya?"
Dia hanya terdiam. "Kali ini aku nggak main-main, nggak tawar-menawar" tegasku.
Beberapa lama kami kembali terdiam. Dia masih menangis di atas punggungku. Sedikit demi sedikit rasa kesalkupun sudah mulai reda. "Pa..., pa..." beberapa kali dia memanggil dan mengguncang-guncang tubuhku.
Biasa, dia baru benar-benar melemah sikapnya dan mengiba saat aku kelihatan benar-benar marah. "Pa..." Kembali dia memanggilku, sembari menarik tubuhku hingga akupun terpaksa membalikkan tubuh.
Kulihat dia terduduk di hadapanku tanpa sehelai benangpun melekat di tubuhnya. Sepasang payudaranya yang indah terjuntai lemah. "Aku nggak suka papa bilang begitu" rintihnya.
"Aku juga nggak suka bilang begitu, tapi nggak punya pilihan" sahutku lemah. Aku kembali mencoba kembali menegaskan, "Pokoknya, kalau kamu masih bersikap seperti ini..." Serta-merta dia membungkam mulutku, hingga aku tak bisa melanjutkan kata-kataku.
"Aku nggak mau papa ngomong gitu lagi" sahutnya.
"Aku juga nggak mau lihat istriku yang kaya gitu" sahutku.
Setelah terdiam sejenak dia kembali bilang, "OK. Aku akan berusaha..."
"Aku nggak mau kamu berusaha. Aku mau kamu melakukannya mulai sekarang"
"Sekarang? Ini jam berapa? Kita belum sholat"
"Aku nggak mau ada alasan. Apapun aku nggak mau dengar"
"Tapi kita belum sholat"
"Aku nggak mau ada alasan"
"Iya... tapi..."
"Nggak. Justru aku mau tahu kesungguhan kamu untuk tidak lagi cari alasan, belum mandilah, mau inilah, mau itulah, ada oranglah. Itu yang jadi setan di hati kamu"
"Tapi kalau belum sholat?"
"Tuhan Maha Tahu. Atau Tuhan memilih aku cari..." Dia kembali membungkam mulutku.
"Ya udah, kamu yang tanggung jawab lho, ya"
"Iya..."
Dia hanya memandangiku keki. "Sekarang mama harus janji. Mau aku apain aja mama mau. Gimana? dan... nggak pake alasan"
"Iya... " jawabnya keki tanpa bersuara.
Akupun bangkit dan membimbingnya berdiri bersandar ke dinding kamar. Aku memeluknya lembut, mengelus punggungnya, pinggangnya dan merabai payudaranya yang lembut dan dingin sehabis mandi. "Pa... hampir setengah enam" sergahnya tiba-tiba.
"Biarin, mau jam tuju, delapan, sepuluh, nggak ada alasan" sergahku sembari terus menciumi bibirnya, dagunya, dadanya, payudaranya.
"Pa... pa...." kembali dia merintih saat aku perlahan mulai menciumi vaginanya. Semula seperti enggan, tapi lama-lama dia membiarkan mulutku, bibirku, lidahku, menjelajahi liang rahasianya. Dia bahkan melangkahkan pahanya, membuka selangkangannya, hingga mulut, bibir dan lidahku bebas menjilat, mengulum-kulum mempermainkan daging-daging mungil kemerahan yang menggelambir di dalamnya.
Beberapa saat kemudian cairan lembut kurasakan keluar membasahi lidahku. Terasa asin, tapi kian membangkitkan gairahku. "Ah.... pa...." Berkali-kali dia mendesah, menggelinjang menekan kepalaku. Kakinya bergetar hingga tertunduk, disangga kedua tangannya yang mencengkeram pundakku.
Aku tergoda sekali dengan desahannya, hentakannya dan getaran tubuhnya. Adik kecilku tak henti menegang dan kian menegang tak tertahankan. Perlahan dan tanpa kusadari seluruh pakaian yang melekat di tubuhkupun terlepas satu-persatu. "Ya Alllah... Subhanallah.... Pa....." Dia terus mendesah dan semakin lama pinggul dan kakinya kian bergetar hebat hingga tubuhnya benar-benar rebah menimpa tubuhku. "Nggak kuat pa.... "
Aku kembali merengkuhnya, membimbingnya hingga kembali berdiri bersadar dinding. Tubuhnya yang lemah merangkul lemah tubuhku. Ketegangan yang sedari tadi mendera adik mungilkupun serasa menemukan pasangan yang dicari. "Subhanalahh....." bersama-sama kami memekikperlahan saat kami mulai menyatu dalam jalinan gairah yang terasa hangat, licin dan serasa bergetar. Ya, bergetar hebat, tak lagi terasa hambar.
Kami benar-benar larut dalam gairah, entah berapa lamanya. Rasa geli dan ngilu serasa memuncak saat akhirnya tubuh kami terguncang bermandikan peluh kehangatan. Kamipun lunglai bersandar dinding kamar.
"Sayang..." bisiknya perlahan setelah beberapa saat kami merasa sedikit tenang. Aku tak menjawab dan hanya mendaratkan ciuman lembut di bibirnya. "Kita mandi, yuk" ajakku kemudian. Sembari memeluknya dari belakang akupun membimbingnya beranjak ke kamar mandi.
Ini adalah acara mandi terindah yang pernah kurasakan. Kami saling beradu ciuman mesra , saling raba dan berpelukan, sementara shower di atas mengguyur tubuh kami dengan senang hati menyertai dengan guyuran air. Setelah mengulas rambutnya dengan setapak shampo, kululurkan sabun di sekujur tubuhnya dengan lembut dan penuh perasaan. Geli lembut terasa nikmat saat dia melulurkan sabun di sekujur tubuhku. Terasa lembut, geli dan kembali bangkitkan hasrat birahi.
Rupanya hasrat yang sama kembali menghangat dalam dirinya. Setelah bersama-sama saling mengguyur air, kamipun kembali larut dalam pelukan. Kami kembali larut saling meraba, mengelus lembut sekujur tubuh masing-masing dan Ciuman mesra menjadi bagian yang tak mungkin kami lewatkan.
Aku terhenyak kegelian saat tanpa kusadari mulutnya sudah mengulum lembut milikku. "Oh... sayang..." rintihku menahan nikmat, saat dia menghisap lembut dan memainkan lidahnya di bagian bawah milikku. Aku benar-benar terbuai rasa geli tak terperi, hingga tubuhku serasa lunglai, lemas dan terduduk di lantai.
Diapun melangkah dan menduduki bagian vitalku hingga kami kembali menyatu saat benda berhargaku tenggelam dalam kehangatan miliknya yang licin. "Sayang..." Dia membangunkanku dari buaian rasa yang tiada terkatakan.
"Kamu senang ya kaya gini?" tanyanya lirih.
Aku menggangguk sembari berkata, "Aku pengen setiap saat kaya gini"
"Aku mau. Setiap pagi aku akan ajak kamu ginian"
"Bener?"
"Hmm...." dia mengangguk "Tapi, harus sholat subuh dulu"
"Iya... Tadi aku hanya mau pastikan nggak ada alasan lagi"
"Oke. Kalau perlu nanti siang aku juga mau" katanya.
"Bener, lho"
"Bener. Siapa takut?" sahutnya.
"Tapi nggak pake alasan apapun"
"OK..."
"Pa..., Ma...." tiba-tiba Si Sulung berteriak-teriak memanggil dari luar kamar.
"Aduh... Udah jam berapa, nih? Mas Sulung kan ada ujian?"
Buru-buru kami bangkit hingga bagian tubuh kami yang menyatu dalam kehangatan terlepas seketika. Kamipun segara berguyur air sekali lagi dan bergegas keluar kamar mandi dan ganti pakaian. Sesaat kemudian kamipun sudah menemani Mas Sulung makan pagi dan bersiap-siap berangkat sekolah.
Aku memang tak mau lagi ada alasan, tapi tidak buat alasan yang satu ini.

Senin, 05 Januari 2009

HAMBAR

Waktu sudah menunjukkan pukul 24.00. Aku masih asyik ngenet di depan laptop. Tiba-tiba istriku keluar dari kamar anakku yang nomor dua. Dia berjalan ke ruang makan, membuka kulkas dan kulihat mengambil sebotol air minum. Setelah minum beberapa teguk air dan menutup kulkas kembali, dia berhenti sejenak di depanku.
“Nggak tidur, Pa” Sapanya.
“Belum ngantuk” jawabku singkat.
“Besok kan papa ngantor?”
“Iya…., Nggak bisa tidur mau ngapain?”
Sejenak dia hanya terdiam memperhatikan aku yang asyik mainkan keypad laptop. Sambil merangkul pundakku, dia berbisik perlahan, “Papa nggak pengen (hubungan), to?” tanyanya.
“Sebenarnya, sih. Kita kan sudah lama pisah ranjang” jawabku ringan.
“Ih… ngomongnya” dia menyergah sambil menguncang tubuhku.
“Emang begitu, kan?” timpalku ringan, dan sejenak kemudian dia berlalu dan kembali masuk ke kamar anakku.
Memang sudah dua tahun kami tidak tidur satu kamar, tidak satu ranjang. Dia lebih suka tidur di kamar depan bersama anak nomor dua. Sedangkan aku tidur sendirian di kamar utama. Semula memang karena alasan menemani anak yang waktu itu sedang sakit, tapi setelah sembuh sekalipun dia tetap memilih tidur di sana.
Tidak ada komitmen apapun di antara kami untuk pisah ranjang. Kami bahkan masih melakukan hubungan suami-istri sesekali. Beberapa hari yang lalu kami bahkan pernah melakukannya, meski aku sendiri nggak sampai selesai.
Bicara soal ini sudah tak kehitung lagi, tapi tetap saja, dia kelihatannya memang lebih nyaman tidur tidak denganku. Dia memang lebih suka menikmati tidurnya seperti seorang balita. Dia tidak suka terganggu saat tidur, disentuh, dipeluk, dibelai, diraba, apalagi sampai hubungan intim.
Rupanya dia tidak enak dengan omonganku tadi. Beberapa saat kemudian dia kembali keluar kamar dan mendekat ke meja kerjaku. “Pa, ayo dong tidur” Ajaknya.
Aku diam saja, hingga dia mengulang ajakannya beberapa kali.
“Katanya kepingin, Ayo…” Ajaknya lagi.
“Aku juga lagi kepingin, nih” lanjutnya.
Setelah beberapa kali ajakan dan setengah memaksa, akhirnya akupun menurut. Aku ikut saja saat dia menggandeng tanganku masuk ke kamar utama. Di kamar itu, dia langsung merebahkan tubuhnya ke tempat tidur. Akupun merebahkan tubuhku di sampingnya dan mencoba memejamkan mata.
Beberapa saat kemudian dia memiringkan tubuhnya menghadapku. “Kamu nggak kepingin, ya?” tanyanya sembari melingkarkan tangannya ke dadaku. Pahanya yang tersingkap menindih pahaku.
“Tadinya begitu” jawabku malas.
“Kenapa?”
“Nggak tahu. Malas aja”
“Kok begitu, sih?” tanyanya sembari meraba dada dan bagian sensitifku. Beberapa saat kemudian benda istimewaku itupun berdiri.
“Ayo” Ajaknya lagi, tapi aku diam saja. Diapun memiringkan tubuku menghadap tubuhnya, dan menempelkan bagian sensitifku pada miliknya.
“Ayo…, tekan, dong” pintanya, tapi aku diam saja.
Entahlah, malas sekali aku melakukannya. Aku benar-benar tidak tertarik, meski sudah di berada tepat di depan miliknya. Padahal selama ngenet tadi aku kepingin sekali melakukan ini. Aku bener-bener tergoda saat chatting dengan wanita yang mengaku tinggal di Jakarta tadi. Dia yang mengaku kesepian banyak cerita tentang hasratnya yang mudah meninggi, hingga kebiasaan seksualnya yang aktif semasa masih bersuami.
Kami sempat beberapa kali chatting asyik di internet. Aku percaya padanya, meski aku sama sekali tak mengenalnya. Dengan bebas aku suka sekali cerita tentang seks yang kuinginkan dan diapun begitu. Bahkan hasratku selalu seketika bangkit menggebu-gebu setiap kali mulai chatting dengannya. Apalagi bila dia mengaku sedang horny, menjelang dan sesudah haid. Dia mengaku sebenarnya termasuk wanita bergairah tinggi. Meski hanya lewat tulisan aku sendiri merasakan besarnya gairah wanita itu. Gairah yang selalu ingin kurasai, mengimbangi hasratku yang serasa persis dengan gairahnya.
“Ayo dong, sayang” pintanya lagi, tapi aku tak juga ingin bereaksi.
Diapun akhirnya menekan pinggulnya sendiri agar bagian itu menyatu, tapi tidak berhasil. Kurasakan bagian miliknya masih kering, hingga berkali-kali gagal masuk ke dalam. “Ih… Kering banget, ya” keluhnya.
“Sana ambil pelumas dulu” pintanya.
“Nggak usah ah. Malas” Jawabku melas.
Akhirnya diapun bangkit sendiri dan beranjak mengambil pelumas di kotak obat. Sesampai di tempat tidur, dia mengoles milikku dengan pelumas dari bagian pangkal hingga ujung. Diapun kembali merebahkan tubuhnya di sampingku dan menarik tubuhku hingga kami berhadap-hadapan. Dengan mudah milikku terbenam ke dalam lubang miliknya saat dia menekan pinggulnya. Sementara aku memegangi pantatnya yang terasa lembut di telapak tanganku.
Aneh. Sama sekali aku tidak merasakan apa-apa, meski dia terus-menerus menggerakkan pinggulnya hingga milikku keluar-masuk liang miliknya. Dia terus bergerak sesukanya, tapi aku sama sekali tak merasakan apa-apa.
Hambar. Vagina itu terasa hambar, tanpa rasa apapun. Tubuh itu dingin tanpa sedikitpun getaran. Tidak ada detak jantung yang berpacu. Tidak pula desah nafas yang memburu, tidak ada gairah yang menggebu. Bahkan cairan licin pertanda horny sekalipun tak keluar dari miliknya. Hambar. Hambar, tak berasa. “Nggak terasa to, sayang?” tanyanya sesaat setelah mengakhiri gerakan.
“Hmm…” Jawabku sembari mengangguk.
“Ayo dong, gerakkan. Kamu kok diam saja?”
“Nggak ah. Kamu sudah apa belum?” tanyaku
“Kenapa, sih? Tanyanya.
“Malas aja”
“Ya sudah. Kalau gitu masuk dari belakang aja, ya? Kamu kan sukanya begitu” Jawabnya sembari terus merayuku”
Diapun membalikkan tubuhnya membelakangiku. Pahanya menekuk ke depan.Akupun menempelkan milikku ke miliknya. “Bles…” Dengan mudah aku menekan masuk milikku ke miliknya. “Hmmm…” Diapun sedikit meleguh.
Lumayan. Sedikit lebih berasa. Aku memang suka masuk dari belakang. Aku suka sekali bila bagian depan tubuhku menyentuh pantatnya, tapi aku tetap saja malas menggerak-gerakkan pinggulku. Aku hanya terdiam menikmati sedikit rasa hangat dan lembut di beberapa bagian tubuhku, tapi tetap saja hambar, tak seberapa berasa.
Pantat dan paha itu memang terasa berisi. Aku suka rasanya yang lembut dan empuh. Cuma saja bagian tubuh terindahnya terasa dingin. Dingin, tiada berasa. Kenapa sih, sayang?” keluhnya tiba-tiba sembari menarik tangaku melingkari tubuhnya.
Aku diam saja, hingga dia kembali bertanya, “Kenapa sih?”
“Aku nggak ngerasakan apa-apa” jawabku.
“Kok bisa, sih?”
“Nggak tahu. Aku cuma bosan aja bercinta dengan boneka”
“Ih… ngawur. Masa orang dibilang boneka. Aku kan sudah gerak-gerak?”
Aku diam saja. “Sayang. Kenapa? Dia kembali mendesakku sembari mengguncang-guncang tubuhnya.
Akhirnya akupun mengeluh. “Kamu memang gerak-gerak, tapi kan nggak ada gairahnya apa-apa?”
“Gairah itu yang kaya apa?” tanyanya.
Aku terdiam sejenak sambil menghela nafas. “Kamu memang mau, tapi sebenarnya kan nggak pingin” jelasku.
“Terus aku harus bagaimana?”
“Nggak harus bagaimana-bagaimana. Udahan, nih” sergahku sembari melepaskan milikku dari liang miliknya.
Diapun bangkit terduduk. “Aku nggak tahu harus bagaimana. Bisaku ya memang begitu” ungkapnya sembari memijit-mijit lenganku. “Kamu nggak puas, ya?” lanjutnya, tapi aku enggan menjawab.
Dia terus memijit-mijit tubuhku, dan akupun memilih berusaha terlelap tidur. Aku berusaha hadirkan teman chattingku itu memenuhi angan-anganku. Aku ingin sekali bayangan wanita virtual itu akan kembali bangkitkan gairahku, memberi rasa jalinan asmara kami. Tapi sebagai sebuah sajian asmara, wanita di sisiku tetap saja hambar, tanpa rasa. Aku berusaha hayalkan kehangatannya wanita virtual itu hadir di tubuhnya, tapi tak bisa.

Sabtu, 03 Januari 2009

TELEPON MANTAN PACAR

Beberapa kali handphone istriku berdering di kamar tidur utama. Rupanya dia lupa membawa benda itu ke toko senja ini. Aku sengaja tidak mengangkatnya. Selain memang tidak pernah mengangkat teleponnya, aku memilih melanjutkan dongenganku yang tampaknya begitu memukau kedua jagoanku. Sepertinya mereka begitu terbawa oleh kisah yang kuceritakan, dan perlahan terlelap saat ceritaku belum juga usai.
Kesunyian mulai memenuhi malam saat  kedua jagoanku tak lagi terdengar celotehnya. Aku kembali ke kamar dan merebahkan diri di atas tempat tidur, melepas sisa kelelahan yang masih merayapi tubuhku. Ada sedikit perasaan lega setelah terbebas dari penatnya pekerjaan seharian, menaklukkan kemacetan jalan, dan apalagi ditambah sukses mengantar anak-anak ke alam mimpi.
Handphone itu kembali berdering untuk kesekian kalinya. kali ini aku mengangkatnya. Saat menekan tombol jawab sekilas kulihat nama Aby di layarnya. "Halo" sapaku, tetapi tidak ada jawaban. Hanya samar-samar terdengar desah nafas, dan sekejap kemudian dimatikan.
Aku sedikit penasaran dan sejenak kusempatkan membuka daftar panggilan. Rupanya sejak sore tadi sudah 8 kali nama itu telepon ke nomor ini. Dari SMS yang masih tersimpan aku tahu bahwa Aby adalah inisial dari nama lengkap mantan kekasih istriku, yang membuat keningku sedikit mengernyit tanpa kusadari.
Kembali kuletakkan benda itu di  sisi bantal dan kurebahkan diriku menjemput mimpi. Kubiarkan tubuhku melemas dan mataku terpejam, membiarkan jiwa ragaku istirahat lepas dari semua persoalan.
Saat aku hampir terlelap, sayup-sayup kudengar pintu kamar terbuka. Istriku masuk kamar saat jarum  jam hampir menunjuk angka 10. Setelah meletakkan tas di sofa, sejenak dia berganti pakaian, kemudian sibuk menata beberapa barang di meja rias.
Raut kelelahan tampak menggelayuti wajah cantiknya. Aku bersiap bangun, karena biasanya selalu saja ada yang dia keluhkan. malam. Menjelang tidur dia biasa mengeluhkan banyak hal, mulai dari soal keuangan keluarga, usaha, relasi dan terutama soal sikap pegawai yang tidak sesuai keinginannya.
Pengurusan toko selama ini kami percayakan pada karyawan, tapi akhir-akhir ini dia lebih suka menunggui toko hingga larut malam. Berbeda dari biasanya, kali ini dia hanya diam saja. Dia sibuk membersihkan rias wajahnya di depan cermin tanpa bicara sepatah katapun. “Kamu kok tidak bawa telepon?” Sapaku membuka pembicaraan.
“Lupa” Jawabnya pendek.
“Tadi Beny telepon beberapa kali” kataku memberi tahu.
“Siapa?” Tanyanya seolah tidak mendengar, tapi dengan jelas kulihat raut mukanya berubah seketika.
“Aby, tapi kayaknya Beny” jawabku datar.
“Tadi dia telepon berkali-kali, tapi waktu terakhir kuangkat malah dimatikan” sambungku.
Dia diam saja, seolah tidak tertarik untuk menanyakan lebih lanjut. Raut kekesalan kulihat jelas kian menggunung di wajahnya, tapi aku coba tak peduli. “Kulihat dia juga SMS, kok” sambungku memecah kebekuan sembari menyodorkan handphone itu ke hadapannya.
Dengan sikap kesal dia meraih handphone itu dan melemparkannya ke meja rias. Raut kemarahan kian jelas merona dari sikapnya. Aku tidak tahu mengapa. Yang jelas, dia memang selalu teringgung bila aku menyebut nama itu. Kamipun kembali larut dalam diam beberapa saat.
“Kalau marah tambah cantik, ya?” godaku, tapi dia justeru semakin bersungut.
Setelah beberapa saat terdiam lagi, aku kembali mengalihkan pembicaraan, “Gimana tokonya tadi?”
“Biasa” jawabnya datar.
“Tapi jangan pakai marah, dong” godaku merajuk.
“Habisnya, orang lagi capek, kamu ngomong sembarangan”
“Sembarangan bagaimana?”
“Itu tadi. Papa kan cuma mau ungkit-ungkit masalah itu lagi, kan?”
“Ungkit-ungkit bagaimana? Beny memang telepon” jelasku meyakinkan.
“Alah… Aku tahu papa mau mancing aja.  Berapa kali aku bilang? Nggak usah bicara soal itu”, ucapnya ketus. Aku makin sadar, rupanya dia benar-benar sedang tidak enak hati. Mungkin saja dia kesal karena aku mengangkat teleponnya.
“Beny memang telepon beberapa kali. Sebenarnya aku tidak bermaksud buka HP mama, tapi karena berkali-kali bunyi, makanya aku buka” tegasku.
“Lihat aja HP kamu” sambungku.
Dia diam tak bereaksi, lalu bertanya, “Dari mana papa tahu kalau itu Beny?”
“Feeling saja” jawabku malas.
Dia tidak merespon dan terus bersungut. Dia memang sensitif kalau kami bicara soal Beny. Entahlah, aku tak tahu apa yang dia rasakan. Aku tak mengerti apa yang dia pikirkan. Sebenarnya aku tidak bermaksud mengungkit-ungkit soal itu. Aku hanya mengingatkan saja, tapi rupanya dia terlalu sensitif untuk urusan yang satu itu.
“Sebenarnya ada apa sih, ma? Papa kan cuma kasih tahu kalau Beny telepon. Papa tidak tahu kenapa tanggapan mama begitu?”, tanyaku mengklarifikasi.
“Kalau bicara soal itu artinya papa menaruh curiga sama mama. Habis itu, pasti jadi bahan buat nyindir mama” sahutnya.
“Papa nggak curiga, sayang… Coba mana kalimat papa yang bernada curiga?” jelasku.
“Alah, Sudahlah... Mama tegaskan, ya? Mama tidak ada apa-apa sama dia. Kalau mama telepon dia atau dia telpon mama, itu nggak ada artinya apa-apa. Kami cuma berteman. Itu saja” tegasnya emosional.
“Papa kan tahu, kami sudah bertahun-tahun bersama, berteman, berhubungan baik, mana mungkin diputus begitu saja? Kami pisah juga bukan karena ada masalah di antara aku dan dia, tapi karena orang tuaku tidak setuju aku menikah dengan dia. Bahkan kami juga tidak pernah menyatakan ada kata putus. Jadi wajar kan kalau mama tetap berteman baik sama dia?” Sambungnya dengan nada tinggi.
“Iya... Papa tahu itu, tapi kenapa mama begitu sensitif?” tanyaku.
“Habis bagaimana lagi? Toh kalau sudah ngomong yang satu itu papa mesti…” sahutnya dengan nada parau bahkan hampir menangis.
Aku terdiam, dan tak ingin larut dalam perdebatan. Aku mulai berfikir, mungkin dia sedang banyak masalah di toko, sehingga suasana hatinya kurang enak. Mungkin pula dia kesal karena peristiwa tadi pagi. Aku berada di belakangnya cukup lama saat dia sedang asyik telepon dengan Beny di halaman depan. Dia terkejut dan nyaris marah-marah saat dia tahu aku menunggui di belakangnya, meski sebenarnya waktu itu aku hanya mau pamit berangkat kerja.
Mereka memang sering saling telepon berlama-lama, siang, malam, dan terutama saat di toko. Aku sering memergoki mereka telepon atau SMS. Aku sudah hafal sikapnya bila Beny yang telepon. Kalau sedang telepon Beny dia pasti berusaha menjauh dari hadapanku, dengan pura-pura jalan ke belakang rumah, halaman depan, naik lantai atas atau mengunci diri di kamar.
Setelah terdiam beberapa saat aku kembali bicara, “Dengar ya, Ma? Papa nggak enak kalau kita selalu bertengkar hanya karena masalah ini. Papa ingin mama yakin kalau papa bener-bener tidak bermaksud apa-apa. Papa tidak keberatan mama telepon sama Beny, sungguh” tegasku meyakinkannya.
“Alah…, papa mau mancing lagi”
“Enggak. Bener!! Aku justeru suka kalau mama telepon dia, sebab kalau habis telepon-teleponan sama dia kamu pasti horny banget” kilahku menggoda.
“Hemh…!”, sungutnya sinis.
“Sungguh” tegasku.
“Lagi pula, itu kan berarti papa juga boleh begitu?” sambungku santai.
Sepertinya dia enggan merespon, tapi tiba-tiba bertanya, “Boleh apaan?”
“Ya telepon mantan pacar papa, dong. Memang mama saja yang punya pantan pacar? Berteman dengan mantan pacar kan boleh?”, tegasku santai.
Dia tak menyahut dan terdiam beberapa saat. Hanya raut wajahnya yang berubah kecut memandangku, tapi dengan santai aku bilang, “Jelek-jelek papa dulu kan juga laris manis. Cuma selama ini kalau Fasya, Alfi, atau Yeni telepon, papa merasa nggak enak hati aja sama mama. Papa tidak nyaman kalau harus sembunyi-sembunyi, menghindar dari mama. Makanya, aku bilang ke mereka, kalau sebaiknya kita tidak telepon lagi” sambungku dengan raut geli.
“Sekarang, karena mama boleh berteman dengan mantan pacar, berarti papa juga boleh, dong? Lagi pula, ini kan nggak ada apa-apanya dibanding mama. Mama belum pernah putus dari Beny, sedangkan papa sudah putus dari cewek-cewek itu. Lumayan adil, kan?” sambungku lagi dengan mimik girang.
Istriku tidak lagi menyahut pembicaraan. Beberapa saat dia hanya memandangiku dengan tatapan penuh tanya. Bening matanya mulai berkaca, tapi aku pura-pura tidak memperhatikan. Sejenak kemudian aku bangkit dari tempat tidur dan meraih hanphone-ku di meja.
Aku utak-atik benda mungil itu. Dia sama sekali tidak bereaksi dan terus memandangiku dengan sorot mata yang kian berkaca. Sambil menelungkupkan tubuh ke atas tempat tidur, aku kembali berguman, “Oh iya, mungkin mereka sudah tidur. Aku SMS dulu aja. Besok bisa telepon-teleponan lagi”gumanku pura-pura girang.
Segera saja jemariku mengutak-atik keypad dan mengirimkan SMS ke Fasya, cewek terakhir yang aku pacari. Sebentar kemudian ternyata Fasya langsung menelpon. Segera saja aku dan Fasya terlibat pembicaraan yang menyegarkan hati. Rupanya dia sedang sendirian di rumah karena suaminya keluar kota. “Ini sama istriku, Fasy… kamu belum pernah kenal, kan?” godaku di sela-sela telepon.
Tiba-tiba istriku bangkit dan bergegas ke luar kamar, sepertinya ke kamar mandi. Suasana penat sejak senja tadi tiba-tiba mencair oleh obrolan yang penuh kerinduan dengan  dengan mantan kekasihku yang selama hampir delapan tahun tak bertemu. Aku tak peduli apa yang dilakukan istriku di kamar mandi. Aku mengusir rasa kesalku dengan memilih menikmati pembicaraan menggetarkan ini.
Selesai telepon, kutelungkupkan wajahku ke atas bantal. Aku sendiri tak tahu apa yang sebenarnya kurasakan pada istriku. Sedih, kesal, marah, tersinggung, dan mungkin cemburu kubiarkan terkubur dalam-dalam di hati. selama enam tahun menikah, aku tahu tak ada gunanya menunjukkan perasaan itu, bahkan biasanya hanya memperburuk keadaan.
Kalau saja kami masih pacaran, masalahnya pasti lain. Aku tak akan memaafkan sikap dan pendirian istriku. Setelah berkeluarga dengan beberapa anak, aku jelas tak mungkin bersikap begitu. Seburuk apapun perasaanku harus kujinakkan demi anak, demi sebuah harmoni, meski akhir-akhir ini terasa semu belaka. Aku tak ingin anak-anakku berkembang dalam keluarga broken, meski terus terang hatiku sebenarnya sudah broken oleh kebiasaannya itu. Belum lagi, sikapnya selalu uring-uringan dan penuh keluh kesah.
Aku berusaha memejamkan mata, tapi tak mampu tertidur juga. Aku hanya bisa berpura-pura tertidur saat istriku kembali ke kamar. Beberapa saat dia duduk terdiam di sisi tempat tidur. Aku tak tahu yang dia lakukan, tetapi beberapa saat kemudian kurasakan jemarinya mengelus punggungku, kemudian memelukku, menindihku. “Pa…” panggilnya pelan.
Aku diam saja, seolah tidak mendengar. Kali ini aku malas sekali menanggapi. “Pa…, pa…”, berkali-kali dia mencoba membangunkanku.
Setelah dia terus memanggilku untuk kesekian kalinya, akhirnya akupun merespon malas, “hem…” sahutku lemah. Dia tak berkata apa-apa, tapi beberapa saat kemudian aku tahu dia sedang menangis di punggungku. Beberapa gulir air matanya bahkan meleleh membasahi pipiku. “Pa…”, kembali dia menyergah untuk kesekian kalinya sembari menarik tubuhku.
Sejujurnya aku enggan sekali menanggapinya, tapi akhirnya akupun membalikkan tubuhku, hingga kulihat jelas wajahnya yang berurai air mata. “Apa lagi sih?” tanyaku seolah tidak tahu.
Dengan nada berat dia mengatakan, “Maafkan aku… ”, ucapan lirih bersambung derai tangis.
“Apa yang harus dimaafkan? Justeru papa yang minta maaf, tadi sudah membuat mama marah" jawabku sekenanya.
“Enggak, aku yang minta maaf” sahutnya sembari kembali menangis. Sejenak aku menghela nafas dalam-dalam lalu melepaskannya penuh perasaan, meredakan beban batin yang serasa menyesaki dadaku sejak sore tadi.
“Sayang, papa senang sekali kita sudah mempertegas komitmen, tentang apa yang boleh, yang pantas kita lakukan dan tidak” tegasku lembut.
Aku tahu, sebenarnya dia tidak setuju dengan komitmen itu, tapi kali ini dia sama sekali tidak mampu berkata apa-apa. “Buat orang yang sudah menikah cinta itu tidak semata soal rasa, tapi lebih sebagai sebuah komitmen. Ini komitmen kita, dan papa suka banget dengan komitmen ini. Kita nikmati saja” sambungku lirih sembari tersenyum.
Dia sama sekali tidak bicara, dan hanya berlinangan air mata. Sejujurnya akupun tak suka dengan komitmen seperti ini, tapi kurasa ini pilihan kata paling tepat malam ini.
“Sudahlah… papa ngantuk”, sambungku sembari berusaha menelungkupkan kembali tubuhku, tapi dia menahannya hingga aku tetap terlentang. Akupun menutupkan bantal ke wajah dan bejuang keras memejamkan mata agar segera tertidur. Aku ingin segera berlari ke alam mimpi, membunuh semua rasa yang sangat tidak mengenakkan kepadanya malam ini.
Saat jiwa ini tak jua terlelap, kurasakan jemari tangannya menyusup lembut di balik pakaianku. Sepertinya dia ingin mengatakan sesuatu, tetapi tak sepatah katapun dia ucapkan. Jemarinya melepas penutup tubuhku satu demi satu, kemudian merayapi setiap lekuk tubuhku menebarkan semua yang menggugah gairah. Meski sebenarnya aku sama sekali kehilangan gairah, tapi kubiarkan dia melakukan semua yang dia mau. Aku tahu dia berusaha menghiburku, meski aku juga tahu, ini hanya penebusan rasa bersalah

Kamis, 01 Januari 2009

ISTRIKU BAGIKU

Phisically, profile istriku sangat ideal untuk seleraku, seorang perempuan bertubuh ramping, wajah menarik dan smart. Bagiku dia perempuan yang sangat cantik dan

sempurna di mataku. Aku menemukan semua imaginasiku tentang profil wanita ideal
pada dirinya.
Pertama, dia perempuan yang paling cantik di mataku, berwajah lembut tapi tidak melankolis. Dia tipe perempuan cantik and smart, seperti Ira Kusno, Desi Ratnasari atau Sahnaz Haque.
Kedua, aku suka bentuk tubuhnya yang indah. Ramping dan berkulit bersih seperti yang aku impikan selama ini. Aku membayangkan andai dia mau memakai pakaian mini, pasti sangat-sangat seksi. Ketika tubuhnya agak berisi seperti saat ini, ternyata jauh lebih menggoda. Andai dia mau aku bahkan paling suka melihatnya telanjang bulat.
Ketiga. Dia perempuan yang selalu pantas memakai pakaian apapun. Tapi aku paling suka kalau dia memakai pakaian ketat. Lekuk tubuhnya yang indah selalu membangkitkan semangat.
Keempat. Dia perempuan satu-satunya di dunia ini yang benar-benar menggetarkan hatiku sejak pertama kali aku menatap matanya.  Aku seperti menemukan takdir masa depanku sejak pertama aku melihatnya, dan ternyata terbukti.
Kekurangan dia di mataku terletak pada sikap dankepribadiannya yang kurang “ngeseks” saja. Sebenarnya dia bisa sangat hot saat bercinta, tapi itu terlalu jarang. Aku merasa dia kurang begitu enjoy bahkan kurang butuh seks. Sejak malam pengantin dia biasa mengulum sekujur tubuhku, seperti yang biasa kulakukan padanya, tapi seiring waktu semua itu semakin jarang dan jarang kunikmati.
Dia seperti kurang tertarik pada seks, atau bahkan terganggu bila diajak peluk-pelukan, ciuman atau raba-rabaan. Sepertinya dia kurang obsesif untuk urusan seks atau libidonya relatif lemah. Dia kurang sensitif, kurang respon sehingga tidak mudah terangsang. Dia seperti kurang begitu membutuhkan seks. Seks dan kemesraan sepertinya hanya kwajiban atau hanya untuk menyenangkan suami saja.
Satu-satunya yang membuat dia terangsang adalah ketika dikulum vaginanya, yang itupun tidak setiap saat mau digituin. Dia tidak mudah merespon erotik, terlalu kaku, menghindar  dan tak suka berlama-lama kalau diajak bermesraan. Dia kurang enjoyfull, kikuk dan menganggap aneh telanjang di depan suami.

Dia terlalu terikat ruang & waktu. Dia terlalu terikat nilai tradisi & selalu dibayangi rasa khawatir diperhatikan orang lain. Dia juga hanya mau bermesraan dan ML (Making a love) saat dan tempat tertentu

saja yang bagi dia benar-benar aman. Itu artinya, bagi dia bermesraan dan ML (Making a love) bukan kebutuhan akan kesenangan dan kenikmatan, tapi sekedar jatah buat suami. Persoalannya bukan karena dia tidak bisa, tapi kurang banyak.  
MY HOPE
Sebenarnya aku ingin hubungan suami-istri yang selalu hangat dan penuh kemesraan. Aku selalu ingin bercinta yang penuh gairah. Aku kurang puas kalau dilayani karena kwajiban. Tapi kalau hasrat sedang memuncak, asal masuk vaginanya bagiku sudah jauh lebih dari cukup.
FRIDAY, APRIL 06, 2007