Rabu, 31 Desember 2008

VIDEO SEKS PERTAMAKU

Berbekal handphone berkamera, akhirnya aku bisa mengabadikan momen percintaan bersama istriku. Diam-diam aku merekam adegan itu, tentu saja tanpa sepengetahuannya. Dia pasti marah-marah andai saja tahu ada rekaman percintaan itu.
Hmmm.... Indah juga. Sangat Indah. Melihat video itu membuat aku merasa sangat bersyukur menikahinya. Dia sangat cantik, seksi, begitu mempesona, dan teramat menggoda dalam tampilan tanpa busana. 
Video itu membuatku merasa betapa kenyataan cintaku jauh lebih indah dari yang aku rasa. Aku punya kisah cinta itu begitu luar biasa. Aksinya dalam bercinta tak kalah heboh dibanding video bokep yang beredar di internet, bahkan tak beda dari artis-artis porno yang beredar selama ini. 
Aku seperti diingatkan betapa selama ini, kami leluasa bercinta di mana saja, di kamar tidur, dapur, kamar mandi, bahkan saat rumah sakit. Kami begitu mesra dan bahagia. Maafkan aku, sayang. Selama ini aku tidak syukuri nikmat ini? 
Mungkin kamu benar. Kamu sudah memberikan semua seperti orang kebanyakan, tetapi rasa dahagaku akan percintaan yang terlalu berlebihan. 

Kamis, 25 Desember 2008

BERCINTA DALAM HAYAL


Aku selalu berhayal sedang bermesraan dan bercinta. Dari semua pengalaman bermesraan dan bercinta dengan perempuan selama ini, rasanya aku lebih suka seks dalam kemesraan yang berlama-lama dari pada seks yang heboh. Sesekali bolehlah seks yang heboh, tapi kenikmatan seks macam itu biasanya terlalu singkat dan kurang cukup memberikan relaksasi, bahkan kadang membosankan.
Realitasnya. Istriku memang bekas milik orang, tapi jelas-jelas bukan saatnya mempersolakan semua itu. Semua itu tak akan mengubah keadaan di masa lalu dan masa depan. Aku hanya berharap bagaimana menikmati semua yang ada semaksimal mungkin.
Aku sendiri juga bukan cowok yang suci dari perempuan. Kemesraan dengan pacar memang sudah insting. Mereka yang tidak begitu malah bukan manusia normal. Lebih payah lagi kan? Yang penting dia sayang aku, dan aku berusaha meyayangi dia semaksimal mungkin. Yang penting bagai mana kami berdua dapat menikmati realitas ini, bahagia atas semua ini. Itu saja.  
Dibanding beberapa wanita yang pernah aku kenal, dia termasuk terlalu pasif. Dulu aku memang berharap dapat perempuan seperti itu. Sebenarnya akhir-akhir ini dia sudah lumayan respon, meski masih belum seperti yang aku inginkan.  
Kalau payudaranya kupegang istriku cuma merasa geli dan risih. Hingga beranak dua, istriku tak pernah berani buka baju di hadapanku. Dia baru mau dibuka seluruh bajunya saat sedang bercinta.
Dia hanya merasa nyaman dengan kebersamaan tetapi kurang punya hasrat seks. Kalaupun dia mau lakukan yang aneh-aneh sedikit itu hanya karena dia ingin menyenangkan aku, padahal dia sendiri selalu kikuk melakukannya. Belum lagi keluhannya yang selalu menyertai, yang sakitlah, yang lemaslah…
Aku lebih suka bercinta dalam hayal. Berdua dengan seorang perempuan cantik. Berciuman mesra, saling raba, geli-geli nikmat sekali. Kuremas-remas lembut kedua payudaranya yang montok. Dia menggelinjang terbuai keenakan. Lama sekali kami larut dalam kemesraan. Aku kulum lembut payudara itu dan sekujur tubuhnya.
Dia mengulum penisku lembut dan lama sekali, membuatku tenggelam dalam nikmat yang tiada tara, lama sekali hingga spermaku hampir-hampir keluar. Lama sekali aku kulum vaginanya dengan lembut, lama sekali hingga dia hampir-hampir orgasme.
Lama sekali kami bersenggama, membiarkan penisku terjepit liang licinnya, sampi berciuman, saling raba, saling elus. Lama sekali hingga kami sama-sama lelah dan tertidur.  Bagnun tidur kami ulang kembali kemesraan itu, seakan tak pernah ingin mengakhirinya. 

MASALAHKU SENDIRI



Yang aku suka dari istriku adalah tubuhnya ramping, putih, mulus. Singkatnya, secara fisik aku suka banget. Yang kurang aku suka, dia itu kurang tertarik pada seks. Tidak setiap saat dia mau bermesraan, dan apalagi bercinta.
Dia tipe cuek seks, permikir monolitik dan gila kerja. Kalau sudah sibuk sesuatu sulit ditarik ke ranjang. Dia kurang ngêrês. Bahkan dia lebih banyak mengeluh soal seks. Keadaannya seperti aku kalau lagi sibuk sesuatu. Masalahnya, hampir tiap detik dia seperti itu.
Sedikit rahasia masa lalu terkuak. Meski Cuma pengakuan tak langsung, aku sadari bahwa sebenarnya istriku pernah dapatkan pasangan yang benar-benar cocok secara mental dan visi hidupnya. Makanya begitu awet dan sulit terpisahkan.
Ukuran cinta memang bukan bagaimana pandangan orang lain, tapi kebutuhan rasa pelakunya. Bila yang menjalani memandangnya sudah ideal dan cukup, maka orang lain tak dapat berbuat banyak. Aku tahu dia masih sangat mencintainya, memujanya, dan mengenangnya sebagai masa terindah dalam hidupnya.
Aku benar-benar yakin bahwa aku manusia yang gagal untuk urusan cinta. Aku hanya punya seorang perempuan, tubuh istriku, tapi bukan seluruh hatinya. Sebagai orang timur, aku terpenjara oleh lingkungan, terutama keluargaku. Aku harus menerima kenyataan ini, tanpa pernah dapat mengubahnya demi menjaga perasaan orang tuaku, keluargaku.
Satu-satunya yang mungkin aku raih hanya kenikmatan seksual. Itupun belum memuaskan. Terlalu sedikit kesempatan yang aku dapatkan dibanding yang aku butuhkan. Mungkin juga pengalaman bersama dik Iid membuat sensasi bersama istri menjadi kurang terasa. Setelah cinta yang gagal kuraih, aku tak perlu menyoal keperawanan.
Bagaimana mungkin menyoal masalah keperawanan, sedangkan yang aku nikahi jelas-jelas bekas bini orang.  Kisah kemesraan dan gairah itu jelas tak lepas dari roman cintanya di masa lalu. Hanya saja dia memang tertutup soal yang satu itu, tapi dari sikapnya jelas dia tak memungkirinya. Karena itu, yang mungkin aku harapkan hanya seks yang memuaskan. Aku ingin dia jadi seorang perempuan yang binal di hadapanku, haus seks dan penuh gairah. Aku ingin dengar, mas… aku puas… oh… ah…
Kalau mau jujur, jelas aku tidak puas dengan kenyataan jodohku. Tapi itu semua salahku sendiri. Resiko tindakan bodoh, puncak dari sekian kebodohan dalam tindakan yang pernah aku lakukan. Seperti halnya soal disertasi, aku juga nggak akan menyalahkan Nyoto. Dia memang nggapleki, tapi di sisi lain aku sendiri tidak mampu bekerja dengan baik, sebaik yang mestinya dapat kulakukan.  Orang lain bisa, kenapa aku gagal? Artinya masalah ada pada diriku sendiri.

MONDAY, JANUARY 22, 2007

Rabu, 24 Desember 2008

RINDUKAN AKU, PLEASE....!!!

Delapan jam perjalanan dari Jogja lumayan melelahkan. Kalau bukan karena keluarga, rasanya malas bolak-balik menempuh perjalanan sejauh ini. Rasa kantuk dan lelah selama nyetir tersisih oleh keinginan bertemu keluarga, anak-anak dan tentu saja istri tercinta.
Apalagi di Jogja saat ini kian banyak pemandangan indah yang membangkitkan gairah. Di kalangan cewek sana lagi ngetred pakaian bawah model celana pendek dari kain tipis, entah apa namanya. Banyak cewek yang begitu PD jalan-jalan hanya dengan memakai celana pendek tipis, yang panjangnya tidak lebih dari separuh paha, atau lebih tepatnya hanya sekitar sepertiga paha, bahkan kurang.
Jujur saja, pemandangan ini secara signifikan selalu membangkitkan gairah. Meski
demikian , aku selalu alihkan godaan ini dengan mengingat yang biasa kutemui di
rumah, terutama saat istri sedang tidur. Aku manfaatkan saja daa tarik ini sebagai penambah kerinduanku pada kehangatan seorang istri. Meski dirundung rasa lelah, kantuk, aku berusaha tetap fokus, directing my car to stay on the way. Dalam hati aku berharap segera dapat memuaskan hasrat batin itu di rumah.
Sekitar pukul 10.30 malam akhirnya aku sampai di rumah dengan selamat, tapi kali ini tak seorangpun menyambutku. Kalau aku datang saat anak-anakku belum tidur, biasanya mereka pasti bersorak histeris seperti menyambut pahlawan yang baru datang dari medan perang. Cuma saja kali ini mereka sudah tidur, begitu pula istriku. Hanya pembantu yang suka rela membukakan pintu gerbang, garasi dan membuatkan kopi panas.
Segera saja aku mandi sebersih mungkin. Aku berharap kuman dan kotoran di jalanan tadi tidak menyebar ke seluruh penjuru rumah, apalagi menulari anak-anakku. Selain itu, aku juga berusaha agar bau badanku tidak jadi pengganggu saat aku mendekat pada istri.
Selesai mandi aku datangi anakku satu-persatu di kamarnya. Aku mencium pipi dan kening mereka dan tidak terkecuali istriku. Anak-anak hanya meregangkan tubuhnya saat merasa aku cium pipi dan keningnya, kemudian kembali tertidur pulas. Istriku juga hanya terbangun sejenak saat aku menciumnya, “Pa…, sudah nyampai?” sapanya sembari tersenyum.
Tentu saja, aku tak perlu menjawab pertanyaan itu. Segera saja kurebahkan tubuhku di samping tubuhnya. Perlahan kurengkuh tubuh sintal itu, tapi serta-merta ia menyergah, “Ih… apaan, sih?”
“Aku kangen, sayang” rajukku, sembari sedikit memaksa memeluknya. Perlahan kuelus lengannya yang terbuka, tapi serta-merta dia menepisnya. Aku tidak patah arang dan perlahan mencoba mengelus pahanya yang tersingkap. Kali ini dia tidak lagi menyergah melarang, melainkan menghardik, “Ih… capek… capek. Aku ngantuk! Sana tidur sama anak-anak saja. Orang lagi ngantuk, kok”
Akupun menyerah dan beranjak pergi. Persis seperti yang sudah-sudah, aku kembali harus menelan mentah-mentah kekecewaan batin untuk kesekian kalinya. Ditolak dan ditolak, bahkan sekedar untuk memeluk istriku sendiri.
Rasa lelah dan kantuk yang belum juga sirna kini telah bertambah rasa kesal dan kecewa. Aku hanya bisa menghibur diri dengan memotretnya dalam pose-pose seksi saat tertidur. Dalam hati aku selalu berguman, kenapa tubuh yang sebegini seksi seakan tak memiliki "strom" sama sekali?
Setelah hampir seminggu berpisah, kenapa tidak ada yang merindukanku? Ke mana kerinduan mesti kutumpahkan?
Mendapatkan hangatnya kemesraan suami-istri tak ubahnya menunggu hujan salah musim saja. Seolah perlu keberuntungan untuk mendapatkan kesempatan yang satu itu. Terus terang, kadang rasanya kesabaran ini sudah sampai titik akhirnya. Ketabahanku sudah kian kehilangan daya tahannya. Jiwa ini sungguh telah rapuh oleh kehampaan dan rasa-rasa yang tiada lagi bermakna. Bila suatu hari ada hati yang terbuka menyambut kerinduan ini, bila suatu saat ada hati yang menawari sejuknya kerinduan, aku tidak bisa janji akan mampu menghindarinya.

Minggu, 14 Desember 2008

DILEMA BATIN


Tidak Harmonis. Hubunganku dengan istri hari-hari ini terasa hambar, hambar sekali. Aku merasa rumah tanggaku sedang tidak harmonis. Mungkin saja istriku merasakan hal yang sama, tapi bisa jadi seperti biasanya dia tak mau tahu. Aku tak ingin membicarakan apa masalahnya, karena itu percuma. Bicara dengan istriku hanya nambah masalah saja, karena dia bukan orang yang bisa diajak bicara baik-baik. Lebih baik diam saja, dan lakukan apa yang menurutku baik.  
Seksualitas membeku. Kami praktis jarang sekali melakukan hubungan intim. Gairahku terhadap istri praktis menghilang, entah apa sebabnya. Aku bahkan ada perasaan tidak suka dengan istriku, padahal aku masih tertarik melihat perempuan seksi.
Sejak dia malas KB aku juga malas berhubungan intim. Diapun tak peduli pada perubahan sikapku soal penurunan tuntutan seksualitasku, yang sebenarnya sudah mulai kukurangi beberapa waktu sebelumnya. Bagiku, pada dasarnya dia memang tidak begitu membutuhkannya. Dia hanya butuh aku sebagai penjaga rumah, penjaga malam, yang membuatnya tak khawatir bila aku ada di rumah, dan sebaliknya, merasa tidak nyaman bila tidak ada aku di rumah.
Hubungan seks dengannya kian hari kian mengecewakan. Masa-masa yang lumayan seru saat pengantin baru hanya untuk dikenang. Seks tanpa gairah, dan berakhir dengan keluhan, yang sakitlah, yang keluar darahlah. Sangat dan sangat mengecewakan.  
Istriku sangat menginginkan punya anak perempuan, tapi aku sudah tidak ingin tambah anak lagi. Memang, aku lebih suka punya anak laki-laki, tapi di sisi lain, aku memang merasa berat bila harus membagi kasih sayangku pada Kaka dan Bilbil. Aku kasihan waktu Kaka punya adik. Dengan dua anak saja selama ini mereka tak terurus secara layak, apalagi bila harus tambah anak lagi. Makanya aku memilih menghindari berhubungan seks yang wajar dengan istriku. Aku tidak nyaman, karena takut istriku hamil lagi.
Istriku semakin tidak peduli dengan keluarga. Waktu dan tenaganya habis buat ngurus lembaga. Baginya tidak ada yang lebih penting dibanding sekolahan, toko dan segala macam kegiatannya. Anak, aku dan rumah kalah penting dibanding semua itu. Ini membuat aku semakin muak melihatnya. Aku tak mau terlibat, karena dia punya sifat ngêréh kalau dituruti. Dia hanya mau memperalat aku untuk memuluskan kemauannya. Respon pertama setiap ide dariku pasti penolakan. Kalaupun pada akhirnya dia pakai, itu hanya dapat terjadi atas kemauannya saja. Kalau dia tidak mau, ada beribu alasan akan dikemukakan sekedar untuk menolaknya.
Thursday, January 04, 2007

Sabtu, 13 Desember 2008

SECANTIK BONEKA

Melihat rok istri yang tersingkap, sebenarnya perempuan itu masih menggoda juga. Pahanya yang ramping dan mulus merupakan tipe tubuh perempuan yang aku sukai. Hanya saja seks, ternyata masih lebih sering merupakan pikiran kita sendiri dari pada perempuan. Dia yang sejak awal tak pernah punya gairah, sepertinya semakin tak ada gairah. 
Memegang, mengelus perempuan yang tidak sedang membutuhkan seks pada dasarnya percuma. Kalaupun memberi kesenangan, itu hanya ada di pikiran kita saja, seperti kalau sedang nonton video atau foto porno. Bahkan kalau kita elus atau raba paha atau payudara perempuan lain bisa timbul kemarahan buka tergoda.
Hari-hari bersama istri semakin hilang gairah. Gimana tidak, aku hanya ketemu orang yang sudah kecapekan, dan pasti sama sekali tak tertarik seks.  Ini terjadi setiap hari. Waktunya habis untuk sekolahan dan toko koperasi. Dia begitu antusias, begitu semangat, sampai tak peduli sama sekali sama anak, rumah dan keluarga.  

Di rumah ini seperti tidak ada seorang ibu rumah tangga, tak ada istri, tak ada ibu. Hanya ada seorang perempuan dengan kesibukannya sendiri. Sangat mengecewakan.
Aku tak mau memaksanya jadi seperti istri yang lain, seperti ibu yang lain, meski ini sangat mengecewakanku.
Aku bahkan nyaris tak pernah mengajaknya bercinta, kecuali dia yang memulai. Dia terlalu dingin, dingin sekali, seperti boneka yang tak kehabisan strum untuk bercinta. Siapa yang tertarik bercinta dengan boneka? Aku benar-benar telah kehilangan gairah, dan terus berusaha agar gairah itu hilang. Seks selalu jadi pengalaman mengecewakan. Untuk apa bersenang-senang kalau hanya untuk kecewa?
Dia benar-benar tak dapat aku harapkan untuk yang satu ini. Dipaksa juga tidak mungkin, dan aku terlanjur terlalu percaya bahwa itu mustahil. Jadi, biarkan saja dia dengan semua yang dia suka lakukan. 
Saturday, December 09, 2006


Kamis, 11 Desember 2008

SEBUAH ROMANTIKA CINTA


Satu hal yang kurang dalam rumah tanggaku, Aku kurang bisa menikmati hidup. Mengelola lembaga sosial benar- benar jadi beban rumah tanggaku. Hanya ada kesibukan demi kesibukan, dan masalah demi masalah, sementara manfaatnya masih tanda tanya. Apa yang bisa didapat dari semua ini? Untuk apa? Untuk siapa?  
Makna rumah tangga serasa sirna. Energi cinta habis untuk bersusah payah membangun istana, tapi bukan untuk kami sendiri, bahkan sama sekali untuk orang lain. Imbalannya? Tidak ada, selain keluh-kesah, caci maki bahkan kebencian orang pada kami. Apa yang kami dapat dari semua ini? Tidak ada. Sama sekali tidak ada. Ini konyol, bila kerja keras hanya untuk kerja keras tanpa hasil.
Jangankan manfaat bagi keluargaku, sedang pengorbanan yang telah tercurah selama ini seolah belum cukup untuk menegakkannya. Padahal anak-anakku sendiri, seolah harus jadi tumbalnya. Harapan utama keluargaku tidak terurus. Perhatian kami kalah jauh dibanding semua yang harus kami korbankan untuk kepentingan lembaga ini.
Istriku selalu menghindar untuk menjawab semua tanda tanya itu. Aku saja yang harus berusaha mengerti, bahwa dia menyukai semua permainan ini. Yang jelas, ini semua telah membuat hidupnya terasa berarti, meski sebenarnya sama sekali tak memberi manfaat bagi keluarga kai.
Hanya satu yang dapat aku lakukan, biarkan dia jalani yang dia suka. Aku berbeda prinsip dengannya dalam hal ini. Aku memilih tak mencampuri urusan dia, tak akan menggangu ataupun membantu. Ini jauh lebih baik dari pada kami bertengkar tentang masalah itu.
Aku memang suka perempuan, tapi kalau selingkuh kayaknya jauh dari mentalitasku. Istriku saat ini adalah orang yang benar-benar cocok denganku dalam hampir semua hal: kecerdasannya, pandangan hidupnya, bahkan aku rasa juga dalam urusan cinta di masa lalu.  
Di masa lalu, kami berdua sama-sama orang yang kurang comfort dalam urusan pacaran. Pacaran saat masih sendiri saja menjadi beban, ketika harus berdua di depan umum. Kita juga kurang inisiatif dalam pacaran. Kalaupun terjadi kemesraan dengan pacar, pasti inisiatifnya muncul dari lawan kita, meski terus terang kita sendiri juga suka dan menginginkannya.   
Selingkuh berarti kita harus bohong, dan kebohongan adalah pekerjaan yang sangat berat. Saat pacaran saja, kita harus bohong, sama orang tua, teman, bahkan pacar sendiri. Dan itu sangat menyiksa. Padahal aku suka keadaan yang adem-ayem. Karena bagiku kebahagiaan sejati adalah ketenangan jiwa.

Friday, November 24, 2006

Rabu, 10 Desember 2008

KETIKA ISTRI TAK MEMBUTUHKAN SEKS

Istriku adalah perempuan paling unik yang pernah kujumpai. Sejak awal menikah dia memang punya pandangan berbeda tentang urusan yang satu ini. Alam pikirannya sangat dikuasai oleh pandangan-pandangan tradisional yang memandang seks sebagai sesuatu yang tabu bahkan menjijikkan. Bahkan sejak malam pertama, dia sudah bilang hanya mau melakukannya karena ingin punya anak saja.Semula aku kira hanya gurauan, ternyata benar demikian. 
Yang terberat bagiku justeru sikapnya yang seakan tidak membutuhkanku. Aku bahkan sempat berniat  meninggalkannya kurang dari seminggu sejak hari pernikahan. Aku urungkan niatku itu karena tak tahan melihatnya menangis, bahkan bebrapa kali harus opname di rumah sakit. Dengan derai air mata berkali-kali dia bilang, "Jangan tinggalkan aku". Akhirnya akupun luluh melihatnya. Aku berjanji tak akan meninggalkan wanita yang sebenarnya bertampang cantik ini. 

Rupanya tidak hanya pola pikir dan pandangan keagamaannya saja yang membuat dia tidak menyukai seks. Secara fisik dia memang terkategori frigid. Tidak sebagaimana cewek yang pernah jadi kekasihku sebelumnya, dia tidak pernah merasa terangsang meski diapakan juga. Dia hanya merasa seperti digelitik saja.
Satu-satunya cara supaya dia bisa melayani kebutuhanku hanyalah dengan teknik culiningus (oral). Kurang dari lima menit, dia pasti menggelinjang hebat dan minta aku segera intercourse. Itupun biasanya tidak lama. Sekitar lima menit kemudian, dia pasti minta aku menyudahi hubungan. Ini dikarenakan dia ternyata juga menderita vaginismus, penyempitan vagina. Punya dia memang terasa sempit sekali, ketat sekali jepitannya, seperti dijepit karet saja. 

Tentu saja aku sangat kecewa dengan semua ini. Belum apa-apa, bahkan aku belum sempat keluar dia minta sudahan. Kalaupun sampai keluar, biasanya karena aku setengah memaksa. Hati ini rasanya sangat tertekan. ML sama istri tak ubahnya dengan memperkosa perempuan tak berdaya saja. 

Berbagai usaha telah kulakukan, mulai dari bujuk rayu yang setinggi langit manapun yang pernah ada, nonton film porno, buku dan artikel seksualitas, tapi hasilnya tidak seberapa memuaskan. Bukan saja tidak romantis, dia benar-benar tidak tahu, tidak merasakan apa yang disukai dan diinginkan kaum adam, dan tidak peduli. 
Sampai hari ini dia bahkan merasa sebagai wanita normal, meski dokter wanita yang dia percaya sudah bilang kalau dia terindikasi bermasalah dalam hal yang satu ini. Dia bener-bener wanita yang sangat kukuh dengan keyakinan dan pendiriannya, bahwa seperti dia itulah seharusnya sikap wanita ideal. Sikap mentalnya itu pulalah yang kelihatannya membuat dia lebih suka mencurahkan perhatiannya pada beberapa usaha yang kami rintis bersama
Mungkin karena dorongan seksualnya yang demikian, dia bukan hanya tidak peka terhadap suami, tetapi juga pada anak-anak. Praktis mereka menjadi anak-anakku saja, dan kurang peduli pada mamanya. Seolah-olah aku ini suami yang bertindak sebagai ibunya. 
Sejak anak-anakku lahir, aku curahkan habis perhatianku pada mereka, hingga akibatnya menjadi anak-anak yang menurut tetangga sering dibilang manja. Di tengah kesibukan di kantor dan kelola usaha aku berusaha membuat mereka senang dengan segala permainan yang mereka suka. 
Meski begitu aku selalu mencoba bertahan. Sempat juga sih, terpikir untuk selingkuh. Ada banyak kesempatan yang bisa kulakukan. Pekerjaan resmiku ada di luar kota, pegawaiku mayoritas perempuan, tapi selalu enggan aku melakukannya. Mungkin belum berani saja ya? Mantan pacarku yang dulu sempat punya hubungan paling intim denganku (untuk ukuran orang pacaran) adalah satu-satunya orang yang selalu mendukungku untuk bertahan. Dia bilang tak akan bangga lagi padaku bila aku main sama wanita komersial. Kalau aku mau, dia bahkan siap memberiku kehangatan yang aku butuhkan. Hanya saja, sekali lagi aku masih enggan melakukannya. 
Selain untuk memenuhi kebutuhan yang mengecewakan ini, sebenarnya aku sudah malas berurusan dengan perempuan. Aku tidak siap dengan resiko affair dengan wanita lain. Aku kuatir kena penyakit, hamil atau dia maksa minta dinikahin. Wah, pasti bikin susah. Orang yang paling aku khawatirkan justeru anak-anakku. Aku ingin mereka tetap bangga padaku seperti hari ini. Aku takut kehilangan kepercayaan mereka, karena di hatiku merekalah yang paling berharga buatku. 
Menikah bukan semata-mata urusan seksual, tapi juga menyangkut nama baikku dan keluarga. Aku hanya dapat tumpahkan keluh kesahku dalam berjilid-jilid buku harianku, hingga suatu hari saat aku sedang di luar kota, istriku membacanya satu persatu. Malam itu dia langsung telpon lama sekali sambil menangis sesenggukan. Dia tak henti meminta maaf atas keadaannya. Dia berjanji akan berubah. 
Benar saja, saat aku pulang dia benar-benar berusaha berubah, meski itu hanya untuk sekali waktu saja. Selebihnya dia masih tetap istriku selama ini. 

SURAT CINTA BUAT MAMA

Buat Mama Tersayang

Salam Sayang

Untuk kesekian kalinya papa ingin mama tahu kalau papa tidak puas dengan urusan seks di antara kita. Papa bahkan sering kagol berat. Makanya, papa sering ogah-ogahan meski kadang mama mau. Soalnya sering kali mama baru mau setelah papa terlanjur mangkel, jengkel dan kehilangan mood. Kalau sudah benar-bener nggak kuat aja kadang papa dengan terpaksa mencuri-curi masukin adik ke kamar mama, meski kadang mama marah-marah.

Buat papa, frekwensi hubungan seks kita itu terlalu sedikit, rata-rata cuma 1 sampai 2 kali sebulan, bahkan sering tidak sama sekali. Jarang sekali dalam sebulan kita melakukan sampai tiga kali atau lebih. Bahkan untuk ukuran pasangan normal jumlah itu terlalu sedikit, karena normalnya hubungan seks suami istri itu rata-rata 2 sampai 3 kali seminggu.

Padahal hampir setiap hari papa selalu didera keinginan itu. Hasrat seks papa itu mudah sekali muncul hampir setiap saat. Papa merasa libido papa cukup tinggi, tapi mama sama sekali tidak mau mengimbangi. Harap mama tahu, papa merasa sangat tertekan, karena terlalu sering ngempet, ngempet dan ngempet terus. Lagi pula, apa tidak aneh pria beristri harus sering ngempet keinginan?

Sebenarnya papa sudah malas membahas ini. Papa merasa membicarakan hal seperti ini sama mama akan sia-sia saja. Papa melihat mama menganggap ini bukan masalah dan tidak perlu dipermasalahkan. Ibarat orang sakit, mama tidak menganggap ini penyakit dalam rumah tangga kita. Mama menganggap hubungan seksual kita itu sudah wajar sebagaimana mestinya, padahal bagi papa sangat kurang. Bagi papa ini benar-benar sebuah beban yang membuat papa sangat tertekan.

Meski papa sebenarnya termasuk orang yang tidak setuju poligami apalagi perselingkuhan, tapi melihat pengalaman papa sendiri akhirnya papa bisa memahami mereka yang melakukannya karena alasan seperti yang papa alami. Meski begitu, papa tetap tidak ingin seperti itu, meski sebenarnya sangat mudah bagi papa untuk melakukannya. Papa masih yakin hubungan asmara, khususnya seksualitas kita masih dapat diperbaiki.

Yang papa inginkan,
pertama, papa ingin hubungan kita selalu hangat, mesra dan semakin mesra, meski papa tahu mama tak suka dengan romantis-romantisan. Paling tidak, ekspresi kasih sayang itu ada di antara kita dengan bahasa dan cara yang sama-sama kita mengerti.
Kedua
, kalau saja mungkin, papa pengen sekali istri papa mengimbangi kebutuhan papa. Kalau bisa sih, papa ingin dapat dengan mudah bercumbu, bermesraan dan berhubungan intim dengan mama di manapun dan kapanpun, meski papa tahu itu mustahil. Paling tidak, papa sangat berharap frekwensi hubungan kita lebih sering lagi. Ya... barang seminggu sekali, kukira sudah lumayan.Ketiga, mama tahu kan, kalau papa tak ingin melukai perasaan mama? Ya, papa sayang mama. dan akan selalu sayang mama. Asal mama mau kembali berusaha, papa tak akan melakukan sesuatu yang bisa menyakiti perasaan mama.

Selama sembilan tahun ini papa sudah berusaha mengerti dan menyesuaikan diri dengan
mood mama, meski mood itu hampir-hampir tak pernah ada tanpa sedikit kupaksakan. Kenyataannya mama kan tidak pernah mood, kecuali bila papa kasih obat perangsang. Papa menyadari ini sungguh tidak adil buat mama. Masa, sama istri sendiri kaya main sama korban perkosaan.

Masalahnya tinggal ada pada mama. Mama selalu merasa normal dengan semua ini, dan tidak memerlukan terapi apapun. Padahal beberapa dokter yang kita datangi sudah bilang, kalau mama ada masalah dengan yang satu itu. Papa tidak menyesali kondisi mama. Papa juga tidak berharap mama akan seperti kebanyakan wanita normal. Papa hanya berharap kembali mau mencoba, seperti beberapa waktu yang lalu, dan kenyataannya mama bisa, kan? Mama hebat sekali waktu itu.

Mama juga lihat video yang kita buat, kan? Mama bisa!! Mama hebat sekali!!! Papa sampai ketagihan, papa sudah tidak kuat lagi.

Mama hanya perlu belajar mengubah pola pikir dan cara pandang mama terhadap semua masalah, termasuk yang satu ini. Yang paling utama dalam hidup kita adalah kebahagiaan kita berdua dan anak-anak. Usaha, lembaga sosial dan semua yang kita miliki tak ada artinya bila kita sendiri tidak bahagia, dan mama sudah dengar sendiri dari banyak orang, termasuk teman dekat mama sendiri, bahwa seks adalah ekspresidari kasih sayang di antara kita.

Yang pasti, semua terserah pada mama. Apakah mama mau menghargai sikap papa atau mama tetap teguh pada pendirian mama. Yang pasti, semua selalu ada resikonya.

Salam sayang….

Love,


PAPA

AKU INGIN BERCINTA


Hasrat ini muncul lagi dan lagi, bikin perasaanku nggak tenang, suntuk seharian. Kenapa juga sih adik kecil ini nggak juga bobok? Padahal ada banyak kerjaan hari ini. Ayo dong adik kecil... bobok ya? Papa lagi banyak kerjaan, nih. Aduh... kok tambah menjadi-jadi, deh.Stop... stop... stop, ya. Kalau nakal terus, ntar diplester lagi sama papa. Jam tiga nanti papa mau presentasi, masa harus bicara dari belakang meja aja, kan nggak lucu?
Kadang aku benci dengan diriku sendiri, terutama untuk urusan yang satu ini. Tanpa diminta hasrat ini selalu saja datang dan datang lagi. Aku sudah banyak-banyakin rokok biar hasrat itu mereda, bila perlu biar impoten. Kantong sudah penuh kapur barus yang katanya bisa bikin adik nggak bangun-bangun, tapi nyatanya selalu saja dorongan itu datang tanpa diminta.
Ngomong sama istri juga percuma. Kami terlanjur bikin kesepakatan mengenai jatah mingguan. Kebetulan saja jatah minggu ini sudah habis. Aku bahkan tidak sempat memanfaatkannya. Aku biasa kehilangan mood dengan sistem seksual semacam ini, tapi apa boleh buat? Maksain sedikit bonus hanya bikin runyam suasana rumah saja.
Rasanya pengen sekali selingkuh dengan teman kantor, pegawai, mahasiswa atau mantan pacar, tapi selalu urung kulakukan. Entahlah, selalu saja ada rasa enggan melakukannya, meski sebenarnya mudah saja kualkukan.
Seks selalu menjadi keinginan yang sangat mengganggu. Aku selalu haus seks, aku selalu menginginkannya, tapi tak selalu ada. Punya istri seperti punya pacar saja. Selalu kepingin mesra-mesraan, tapi tak selalu dapat kesempatan. Istriku begitu lelah setelah seharian tak henti bekerja. 
Dia begitu bersemangat dengan tokonya, dengan sekolahan dengan semua hal yang ada di sini. Dia sama sekali tak mengerti kebutuhanku, selain sesekali mau melayani. Hubungan seks dengan istri semakin tidak menyenangkan. Semakin hilang gairah. Dia juga sama sekali tak peduli soal satu ini, jauh lebih parah dibanding saat-saat pertama aku masih bisa memaksanya dengan segala cara. 
Aku tidak puas, sungguh tidak puas dengan keadaan ini, tapi harus selalu berbohong kalau aku puas. Aku juga tak mau memaksakannya. Lagi pula seks secara paksa sering kali sangat mengecewakan. Lebih baik swalayan saja, sambil berhayal ke langit yang tinggi sekali. Kadang terpikir olehku untuk tidak melakukannya lagi dengannya. 
Beberapa kali aku menghindari hubungan seks, bahkan berhari-hari tanpa seks, tapi dia seperti tak merasa lain, tak peduli. Dia dan aku memang berbeda untuk urusan yang satu ini. Bagiku seks adalah kebutuhan dan kesenangan, tapi baginya hanya kwajiban, atau lebih jauh sedikit, tanda kerinduan. Masih untunglah ada yang merindukan.

Rabu, 03 Desember 2008

TAK PANTAS PACARAN

Kepergian Tutik dan cerita Samsul yang telah melamar gadis pujaanku membuat aku memutuskan untuk fokus menata jalan meraih masa depan. Memasuki semester V, aku sudah mulai memikirkan akan ke mana setelah lulus kuliah. 
Diterimanya kakak kelasku di jenjang S2, menginspirasiku untuk mengikuti jejaknya. Sayang sekali kemampuanku untuk masuk S2 masih sangat kurang, terutama penguasaan ilmu dan bahasa asing. Itu sebabnya sejak saat itu aku mulai belajar sendiri dan mengambil kursus bahasa asing. Ke manapun pergi, selalu ada buku atau kamus yang aku bawa.


ROMANTIKA CINTAKU

Tidak terasa sembilan tahun sudah kisah kasih ini bertaut. Ini waktu yang cukup panjang untuk saling memahami, saling berbagi, dan bahkan terlalu lama untuk disebut memulai. Dia adalah cintaku pada pandangan pertama, meski pada akhirnya bukan kisah kasih yang pertama.
Aku benar-benar terpesona sejak pandangan pertama. Waktu itu di sebuah acara organisasi aku tergetar oleh bening matanya seorang pendamping MC (pembawa acara). Tiada tegur tiada sapa, tapi bayang-bayang dirinya selalu menghantuiku setiap saat. Hanya saja, saat itu aku masih pemalu berat, diapun begitu, dan akhirnya rasa itu serasa hanya berlalu dan berlalu hingga dia jauh meninggalkanku untuk kuliah di kota lain.
Hingga tujuh tahun berlalu, perasaan itu terkubur sangat dalam di hati. Tahun demi tahu berlalu, berjuta kisah lain telah aku lalui, begitu pula dengan dia. Saat aku sudah tidak berfikir lagi tentangnya, bahkan aku sudah lupa wajahnya, tiba-tiba dia datang lagi dengan sebuah harapan.
Semula aku memandangnya sebagai sebuah keanehan, tapi aku tak mau sia-siakan mimpin yang terlalu lama tersembunyi. Gayung bersambut, dan tanpa pacaran dan ini itu, kamipun langsung menuju ke pelaminan.
Setelah pernikahan, ternyata ada terlalu banyak hal yang tidak sejalan di antara kami. Dia bukan gadis yang dulu kupuja dalam hati, dan aku rasa diapun memandang aku begitu. Kami sungguh berbeda dalam segalanya.
Di mataku dia begitu angkuh dan selalu memandang rendah diriku. Dia memandangku seolah terlalu beruntung telah mendapatkannya, dan karenanya aku mesti siap menjadi pelaksana semua perintahnya. Di tengah masa jayaku di saat muda, di saat banyak gadis lain memuji dan mendambaku, dia yang kupilih sebagai istri justeru memandangku tanpa makna.
Aku sungguh menyesali pilihanku saat itu. Bahkan hingga beberapa tahun berjalan. Aku bahkan sempat berfikir untuk mengakhiri kisah ini, tapi tidak mungkin. Nama baik keluarga dan terutama si Lucu tak mungkin aku korbankan demi egoku. Pada akhirnya tinggal daya tahan mental saja menjalani jalinan asmara yang menyedihkan. Perasaan tertekan dan tertekan memenuhi hari-hari dan setiap detik dalam hidupku.
Ternyata pernikahan bener-bener tidak cukup hanya dengan mengandalkan adanya laki-laki dan perempuan, tidak hanya soal kesediaan masing-masing untuk menjalani, tapi juga perlu kecocokan. Sedangkan kami bener-bener pasangan yang sebenarnya sangat tidak cocok. Apapun yang aku katakan pasti ditentang, paling tidak diremehkan. Dia tidak peduli dengan keinginanku, masalahku, apalagi cuma ideku.
Apalagi dalam hal seksualitas, dia sangat-sangat mengecewakan. Beberapa kali aku pernah dekat dengan beberapa wanita sebelum menikah. Aku tahu reaksi anita yang hampir selalu sama, tapi ternyata sungguh berbeda yang kudapati dari pasangan abadiku.
Praktis tahun demi tahun berlalu dengan penuh perasaan tertekan. Aku merasa tidak dicintai oleh seorang yang seharusnya paling mencintaiku. Aku bahkan merasa dianggap beban baginya. Hambar, jemu, muak dan penuh kemarahan, itulah kata yang pas untuk menggambarkan hidup dan jalan perasaanku saat itu.
Tapi rupanya memang better late than never, pada akhirnya perubahan itu datang juga. Tahun demi tahun berlalu, rupanya diapun berubah sikap. Aku mulai memahami mengapa sikapnya begitu, dan diapun mulai memahami aku dan kebutuhanku. Di saat sejawatku mulai jemu dengan jalinan asmaranya, kami justeru tengah menghangat jauh melebihi pengantin baru.

Selasa, 02 Desember 2008

CERITA BU NUR: PACARAN JAMAN SEKARANG


Bu Nur bilang terkejut melihat anak kosnya dicium sang pacar. “Anak-anak sekarang kaya gitu ya. Belum tentu jadi suami-istri, tapi sikapnya sudah kayak suami-istri. Kalau nggak jadi berarti istrinya kan dapat bekas orang. Seperti kawin sama janda  saja”, katanya.  
Mendengarnya saja, rasanya hati ini seperti tersundut api, teringat jalan nasibku yang sempat didera rasa kecewa. Aku juga dapat bekas orang. Sebelum kunikahi, istriku bertahun-tahun pacaran dengan orang lain. Kalau baru mahasiswa empat semester saja sudah begitu intimnya, bagai mana kalau seperti istriku yang pacaran empat tahun? Kalau sekedar peluk cium tentu tak perlu ditanya lagi. Selebihnya, hanya Tuhan yang tahu.
Apalagi saat kunikahi, istriku bilang tidak dalam keadaan putus cinta. Mereka masih terikat hubungan seperti sebelumnya. Aku juga tahu betapa istriku masih mencintainya. Aku juga tahu bahwa mereka masih suka berkomunikasi, atau setidaknya selalu saling mencari tahu lewat orang lain.  
Menikahi bekas pacar orang memang tidak ada bedanya dengan menikahi janda. Tak peduli siapa dan seperti apa orang itu. Yang namanya pacaran nggak mungkin lepas dari kata cinta dan percintaan, adanya ikatan batin maupun kemesraan fisik.
Aku memang bukan pria beruntung dalam urusan cinta. Jalan nasib ini seperti begitu lekat dengan kehidupanku. Aku termasuk orang yang tidak pantas menyoal itu, bahkan keperawanan sekalipun. Mungkin lalu terlalu banyak dosa yang aku buat di masa lalu yang tak pernah aku sesali. Bila kemudian aku mendapati kenyataan seperti ini, aku rasa Tuhan sudah cukup adil.
Aku toh masih dapat ganti yang sangat mengesankan, dua pria lucu yang membuat hidupku penuh arti. Aku bersyukur dengan anugerah terindah ini.
Aku juga tak boleh membuat istriku menyesalinya. Dia sudah sangat sedih harus menikah denganku, bukan dengan orang yang benar-benar dia dambakan. Cukup aku saja yang menanggung beban kecewa ini, dan tak perlu menambah beban orang lain.  

AKU SENDIRI PECINTA WANITA
Aku tak tahu mengapa, aku sangat menyukai perempuan. Aku suka melihat tubuhnya yang sexy. Apalagi bila tak sehelai benangpun menutupi tubuhnya. Aku suka melihat mereka telanjang. Aku bahkan sudah tergoda saat melihat mereka mengenakan pakaian ketat saja.
Banyak orang bilang, ini sifat buruk, otak ngeres, mata keranjang, manusia dikuasai nafsu dan cintra2 negatif sejenisnyau.  Banyak orang berfikir ini haru diubah, dibuang jauh-jauh, tapi aku tak bisa.
Faktanya, aku tetap saja suka perempuan. aku tetap tak bisa bilang aku tak tertarik. Kalau aku tak menunjukkan perasaan di depan orang, aku hanya tidak menunjukkan saja. Kalau aku mengingkari kenyataan ini, pasti aku bohong, dan bagiku kebohongan itu menyakiti diriku sendiri.
Persoalan perempuan bagiku memang selalu identik dengan seks. Sejak lama aku menginginkannya. Sejak lama aku membutuhkannya, meski baru beberapa tahun terakhir aku benar-benar merasakannya. 
Sebelum itu, aku selalu didera kebimbangan, antara kebutuhan dan rasa takut, dan haru menghindarinya. Saat rasa horni benar2 mendera, tidak jarang aku melakukan hal-hal yang tidak sepantasnya. Aku ingat semuanya. Kejahilan, kenakalan itu selalu kusesali, tetapi selalu pula kuulangi.
Sejak saat itulah aku benar2 berani jujur pada diri sendiri, bahwa aku memang suka seks. Aku selalu membutuhkannya. Aku selalu menginginkannya. Sex adalah hal paling menarik dalam hidupku. Aku tak pernah lagi mengingkarinya.


My Diary, 15 Nov 2006

MALAS BERCINTA


Nikmatnya hubungan seks menjadi satu-satunya yang mungkin kuharapkan darimu, tetapi untuk yang satu ini aku harus sering menggigit jari sendiri. Mungkin masalahnya memang dari cinta yang tak sepenuhnya tulus, atau entahlah aku tak tahu.
Kalaupun ada, dia hanya melakukannya semata sebagai kwajiban. Bagi istriku seks seperti sebuah jatah yang harus dia berikan untukku. Sebagai jatahpun rasanya terlalu baik untuk menyebutnya, karena pengalamanku ini lebih tepat disebut sebagai sedekah, yang baru benar-benar terjadi bila dia memiliki waktu luang. 
Sementara waktu luang itu sangat sedikit, bahkan terlalu sedikit. Padahal bagiku seks bukan kebutuhan yang dapat dijadwalkan. Hasrat itu muncul setiap saat, setiap waktu, yang untuk itu mestinya istri juga siap setiap saat. Gairahku bahkan sudah hilang ketika dia siap melayani, dan layanan itupun sudah pasti mengecewakan.
Terang saja, bagiku semua ini sangat tidak memuaskan. Masak, hubungan seks dengan perempuan tidak ada bedanya dengan onani? Aku harus bersenggama dengan “boneka” yang tertidur, yang tak pernah basah selain oleh air ludahku sendiri.  
Istriku hanya peduli pada hal lain, pada semua kesibukannya, dan tidak pernah pada seks. Aku merasa, selain sekedar memenuhi kwajiban dia seperti tak membutuhkan seks. Aku masih beruntung diijinkan "pake" begitu saja, meski gairah tak jarang runtuh sendiri.
Kini aku bisa memahami kenapa sebagian orang selingkuh untuk sekedar seks yang lebih bergairah. Paling tidak, selingkuh akan terasa seperti masa pengantin baru, di mana pasangan baru tak bisa menolak keinginan, bahkan selalu ingin membuat senang pasangan barunya.  

My Diary Monday, July 24, 2006

PESONA GADIS LUGU

Sebelumnya aku tak pernah punya rencana akan tinggal di pesantren. Sejak SMA aku berharap masuk perguruan tinggi negeri, dan itu satu-satunya obsesiku sejak lulus sekolah lanjutan atas. Sayang, momen terpenting aku sia-siakan. Aku tidak lulus seleksi masuk PTN. Kegagalan itu membuat aku benar-benar shock di hadapan teman-teman, dan apalagi keluargaku yang sangat berharap padaku. Kerja keras, berbagai prestasi belajar dan kelebihan yang kuraih sejak SD sampai SMA serasa tak ada gunanya. 
Aku benar-benar tak punya bayangan akan ke mana. Kakakku pernah mengantarku daftar AKPER, tapi juga tidak dapat diterima karena aku buta warna. Beberapa undangan perguruan tinggi swasta sama sekali tak menarik bagiku. Aku merasa telah gagal, dan satu-satunya harapanku hanyalah mencoba masuk perguruan tinggi negeri lagi tahun depan. Itupun masih tanda-tanya, apakah aku akan diterima atau gagal lagi.
Aku benar-benar bingung sejak membaca pengumuman ujian masuk perguruan tinggi negeri. Aku enggan keluar rumah, dan di rumah aku sangat tidak nyaman, sebab ortu selalu tanya mau kuliah di mana? Aku hanya keluar rumah malam hari, dan itupun hanya ke rumah kang Malik, temanku mengaji di madrasah malam. 
Di rumah kang Malik, tanpa sengaja aku menemukan potongan kalender pondok pesantren ternama di Jawa Timur. Seketika itu aku putuskan untuk masuk pesantren. Terus terang aku berniat banting setir, menjauh dari teman-temanku, melupakan semua cita-cita yang selama ini kukejar, dan memulai jalan baru. 
Sampai di rumah aku bilang pada ortu mau mondok ke pesantren. Mereka tentu saja kaget, sebab ke pesantren sama sekali tak ada dalam bayanganku maupun keluarga. Dengan wajah tanpa ekspresi, ortu hanya mengiyakan niatku, dan besok pagi-pagi buta aku sudah berangkat ke Jombang. Padahal aku sama sekali tak tahu di mana pesantren itu, selain berbekal alamat yang kucatat dari potongan kalender kemarin. 
Beberapa hari setelah di pesantren, ortuku datang berkunjung. Mereka memintaku kuliah di kampus swasta milik pesantren itu. Aku menurut saja, meski kuliah di kampus swasta sama sekali tak ada dalam benakku. Apalagi kampus yang dimaksud hanya dua deret gedung sederhana layaknya kereta api.
Meski demikian, keputusan masuk pesantren sudah memberiku solusi terbaik, setidaknya untuk sementara waktu. Aku merasa tenang dan terfikir untuk mencoba tes masuk PTN lagi tahun depan, terlepas diterima atau tidak. Aku mulai menikmati dunia pesantren, tetapi aku masih setengah hati ikut kegiatan organisasi. Mungkin karena aku masih berfikir akan mencoba masuk PTN lagi. 
Karena paksaan pengurus organisasi, suatu hari aku tak bisa menolak datang ke kegiatan organisasi. Dengan bermalas-malasan, akhirnya aku datang juga ke pertemuan itu saat acara sudah dimulai. Saat masuk ruangan itulah, tiba-tiba mataku menatap sesosok gadis yang teramat cantik. Aku benar-benar takjub memandang Wajahnya yang serasa menyilaukan mata dan membuat jantungku berdesir lembut. 
Itu pertama kalinya aku bertemu wanita yang sungguh-sungguh sempurna di hatiku, membuat anganku terbang ke awan. Seorang santriwati yang saat itu menjadi pendamping MC acara itu telah membuatku begitu terpesona. Selama kegiatan berlangsung pandangan mataku hanya tertuju pada gadis berwajah innocence di sudut depan ruang pertemuan itu. 
“Itu siapa?” Tanyaku pada Nung, teman sekamarku.
“Itu mbakku. Mbak Tutik. Apa? kamu naksir ya?” Jawabnya balik bertanya.
"Bener mbak kamu?" Tanyaku.
"Mbak sepupu. Itu anak Nganjuk, anaknya budeku" Jawabnya serius, dan sejak saat itulah aku tak henti bertanya soal gadis itu pada Nung temanku.
Aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah lembut itu selalu membayangi hati dan pikiranku sejak saat itu. Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi aku sama sekali tak tahu caranya. Aku hanya bisa titip salam pada teman-teman sekolahnya dan teman-teman kuliah yang tingga satu asrama dengannya.
Aku menyebut nama gadis itu di setiap doaku. Aku menuliskan namanya di setiap tempat, di buku, kitab dan almari pakaianku. Suatu hari aku mengambil fotonya yang tertempel di buku induk organisasi dan kulekatkan di dalam lemari pakaianku.
Semua temanku tahu aku menyukainya, tapi tak ada yang peduli untuk membantuku mengenalnya. Padahal aku sama sekali tak tahu bagaimana mendekatinya. Beberapa temanku menawarkan diri menghubungkan aku dengannya, tetapi tak satupun yang member kabar lebih lanjut padaku. Hiru-pikuk pesantren membuatku tak menemukan jalan untuk dekat dengannya, tetapi dalam kebuntuan itu, aku tetap yakin dia akan menjadi jodohku suatu hari nanti.
Tanpa terasa hampir setahun aku di pesantren, dan aku sama sekali tak lagi berfikir untuk keluar. Bahkan saat kakaku dan ortuku mengingatkan aku soal daftar tes masuk PTN, aku dengan tegas memastikan tak akan keluar dari pesantren. Sejak berjumpa gadis itu, aku kian yakin bahwa tempatku ada di sini.
Apalagi di akhir tahu itu juga aku diminta mengajar mengaji di asrama Tutik, gadis pujaanku. Aku merasa terbuka jalan untuk mengenalnya, tapi sayangnya aku tak tahu bagaimana mengatakannya. Bahkan saat akhirnya dia lulus SMA, aku hanya mampu gigit jari.

Aku benar-benar kehilangan jejak saat dia lulus SMA dan melanjutkan studi di kota Malang. Beberapa kali aku mengunjungi kampusnya, tetapi tak satupun sahabatku membantu aku, bahkan untuk sekedar bertemu. Aku benar-benar merasa gadis itu telah sangat jauh dariku, meski sangat dekat di hatiku.
Hatiku benar-benar hancur saat beberapa waktu berselang, seorang alumni pesantren itu datang ke kamarku. Dia bercerita kalau sudah melamar Tutik, dan lamarannya diterima. Beberapa kali dia datang ke kamarku menegaskan betapa gadis itu sudah menjadi miliknya. Aku hanya bisa memendam rasa kehilangan yang teramat dalam, tapi itu tak menyurutkan niatku untuk tetap belajar di pesantren itu.

ISTRIKU DAN MASA LALUNYA


Aku tahu, dia masih mencintai kekasihnya itu. Dia selalu bersemangat bila bercerita tentang betapa baiknya lelaki itu di matanya. Dia selalu menangis setiap kali bercerita tentang duka yang dia alami bersamanya. 
Keadaan saja yang membuat mereka harus berpisah saat rasa yang mereka miliki tengah mekar-mekarnya. Bagiku jelas ini sebuah ironi, tapi apa boleh buat, aku harus tetap jalani hidup ini demi anak-anakku. Mereka tak boleh hancur meski hatiku sudah tidak ada lagi. Bagiku jelas ini sebuah kegagalan cinta.
Meski di hati terasa berat melihat dia berhubungan dengan mantan kekasihnya, tapi aku juga tak bisa menyalahkan perempuan itu. Dia juga menderita dengan kenyataan yang dia hadapi. Rumah tangga ini juga bukan keadaan yang dia ingini, sebuah potret kegagalan cintanya. Kalau dia sekedar telepon dan berbagi harus aku mengerti. Bahkan kalaupun harus memadu kasih aku tak mungkin menghalangi. Kalau aku tak punya daya untuk mencegah berarti aku harus mendukungnya.
Di rumah, bagiku cinta antar lawan jenis sudah tidak ada lagi. Hanya tersisa tanggung jawab dan kasih sayang pada anak-anak. Aku sudah kehilangan semuanya. Rasanya tidak salah kalau aku mencari cinta baru, jalani apapun yang aku mau. Setelah aku beri dia kesempatan untuk

menikmati yang dia mau, aku juga berhak lakukan hal yang sama. Bukan sebagai balas dendam, tapi aku memang membutuhkannya, sama seperti dia. Rumah tangga ini hanya tinggal untuk anak-anak, bukan aku dan mungkin juga bukan untuk istriku.

Aku sudah merelakan kesucian sebagai syarat buat calon istriku. Rupanya aku juga harus rela tanpa cintanya. Moga-moga saja aku tak kehilangan kesempatan menikmati hubungan seksual. Artinya, dengan istriku aku tak bisa lakukan hubungan seks atas dasar cinta, meski seks tanpa cinta tentu sama artinya berhubungan dengan wanita tuna susila atau kencan buta. Tapi tak apalah, yang penting ada seks, dari pada tidak sama sekali.
Memang ironis, kenyataan demi kenyataan harus kuterima saat aku berusaha semaksimal mungkin mencintai dan memahami. Tapi itulah kehidupan. Mungkin aku termasuk di antara orang yang ditakdirkan gagal dalam meraih cinta. Apakah aku harus juga gagal meraih cita?

Yang jelas, dunia harus tetap dapat dinikmati dengan segala cara yang kita punya.

DIAM-DIAM MASIH KONTAK MANTANNYA
Aku tidak perlu konfrontasi lagi, bila akhirnya hanya harus mengalah, sementara masalah tetap menggelinding. Sebelum terbentur masalah yang lebih pelik dia tak akan mengalah, dan menganggap pandangannya paling benar. Bahkan saat benturan tiba, dia tak kan pernah mengakui kesalahannya.
Ikuti saja alurnya berfikir, dorong sekeras mungkin agar dia tahu sendiri letak kesalahannya. Begitu caraku menghadapinya. Sederhana. Kalau tak dapat dihentikan, dorong sekalian. Dia

memang anti-kritik, apalagi dibahas kesalahannya. Karena itu, tak perlu dikritik dan dibahas. Lupakan saja, dorong sekeras mungkin. Siapa tahu, ini jadi jalan kebebasanku dari neraka ini. 

Dia selalu ingin mempertahankan persahabatan,  kebebasan berkomunikasi dan bergaul dengan teman-teman baiknya, termasuk mantan kekasih yang sudah dia anggap teman baik seperti yang lain. Oke, saya sangat setuju. Karena itu artinya aku kan juga boleh begitu.
Apa dia saja yang boleh? Aku juga bisa. Keluarga macam apa tidak penting. Yang penting happy kan? Toh selama ini aku menderita sekali hidup bersamanya. Kuharap bisa bertemu seseorang yang bisa memberi aku sedikit hiburan.
Yang pasti, setelah ketahuan seperti ini biasanya akan ada servis lebih dalam beberapa hari ke depan, meski mungkin cuma sehari dua hari saja. Lumayan bisa dinikmati, tapi aku tak tertarik seks permintaan maaf (apologize sex). Pasti juga akan banyak meluncur permintaan maaf. Aku tak tahu, yang mana yang harus dimaafkan. Sudah enam tahun dianggap biasa, masak diubah seenaknya. Papa sendiri mulai berharap ini bisa jadi jalan kebebasan. Memangnya setelah ini dia nggak mau telpon dan menerima telpon dari kawan-kawannya lagi? Mustahil. Membatasi adalah tindakan percuma. Karena toh akan terulang dan terulang lagi.
Ini bukan jaman Majapahit atau feodalisme Mataram. Ini jamannya Reza  Artamevia, Elma Theana dan Krisdayanti. Pernikahan bukan penghalang seseorang untuk berteman dengan siapapun, termasuk mantan pacar, mantan istri atau siapa saja. Kalau ternyata terjadi affair,

itu urusan nanti. Biarkan dunia mengalir apa adanya.

Kebodohan. Kebodohan apaan? Sudah enam tahun kok bodoh terus. Itu bukan kebodohan, tapi kebiasaan. Jadi, biarkan semua mengalir. Aku tak khawatir, tak menuntut, tak berharap apapun dari istriku. Kalaupun boleh berharap aku ingin seks yang memuaskan saja, tapi itu juga sudah jelas tak mungkin. Jadi aku memilih sama sekali tak khawatir. Aku sendiri tak akan lagi menghindari hal-hal begitu. Aku tak lagi menganggap sebagai bahaya,

tapi sebaliknya. Aku toh masih doyan tempik yang lain.

Bila kita mengkhawatirkan sesuatu kita akan terbelenggu olehnya. Bebaskan diri anda dari semua kekhawatiran agar anda benar-benar bebas. Hadapi saja hidup sebagaimana kehidupan itu berjalan. Begitulah kira-kira petuah bijaknya. Yang jelas, ini mengganggu konsentrasiku menulis, bo. Aku harus benar-benar hengkang dari masalah ini.
POSITIVE THINKING
Istriku memang tak kecil kemungkinan melakukan hubungan intim dengan mantannya. Dia sangat konvensional, tak mungkin lakukan hal-hal radikal. Mungkin juga rasa itu masih ada, tapi seperti umumnya perempuan konvensional dia lebih cenderung mempertahankan status
quo, prioritaskan yang ada di depan mata dan jelas-jelas jadi miliknya, seperti apapun keadaannya. Bagaimanapun aku masih suaminya. Dia hanya tidak menyadari yang dia lakukan sudah bertentangan dengan prinsip dia sendiri. Dia lupa bahwa seandainya aku yang melakukannya, dia juga tak akan terima.

Aku juga sangat sayang padanya. Aku tak pernah membayangkan ada perempuan lain dalam hidupku. Aku suka sekali tubuhnya dan selalu merindukannya, meski untuk urusan seks dia kurang memuaskan, susah diajak. Dia kurang suka seks, sementara aku selalu menginginkan. Mungkin sikapku karena kurang puas saja.
Kondisi kejiwaanku memang kurang positif selama menjalin rumah tangga ini. Hidup penuh masalah dan tidak ada yang bisa memberiku ketenangan. Istri bekas orang dan sangat mengecewakan, tidak mandiri hingga aku harus hidup di tempat yang sangat buruk ini, seks

tidak memuaskan sama sekali dan tidak urus sama keluarga terutama anak. Enam tahun bersamanya sudah cukup membuat aku merasa abnormal. Aku memang telah jadi sangat rapuh, dan tidak ada yang dapat membantu selain diriku sendiri. Aku harus hadapi dan atasi semua dengan sikap tenang, pikiran positif dan langkah pasti. Aku tak boleh larut dalam kepedihan ini.

PESONA GADIS LUGU



Semula aku berencana hanya akan tinggal setahun saja di pesantren itu. Kuliah di kampus swasta sama sekali tak ada dalam bayanganku. Aku berniat untuk ikut ujian masuk perguruan tinggi negeri tahun berikutnya, setelah mengalami kegagalan pada tahun itu.  

Aku malas ikut kegiatan organisasi santri, tetapi tidak dapat menolak ajakan pengurus. Saat aku tiba di aula pertemuan, acara sudah dimulai. Saat masuk ruangan itu, tiba-tiba hatiku berdesir lembut melihat sesosok wajah cantik yang begitu mempesona. Selama kegiatan berlangsung pandangan mataku nyaris hanya tertuju pada gadis berwajah innocence yang duduk di samping pembawa acara siang itu. 
“Itu siapa?” Tanyaku pada Nung, teman kamarku.
“Itu mbakku. Mbak Tutik. Apa kamu naksir ya?” Jawabnya.

Aku benar-benar jatuh cinta pada pandangan pertama. Wajah lembut itu selalu membayangi hati dan pikiranku sejak saat itu. Aku ingin sekali mengenalnya, tetapi aku sama sekali tak tahu caranya. Aku hanya bisa titip salam pada teman-teman sekolahnya, entah disampaikan atau tidak.

Aku menyebut nama gadis itu di setiap doaku. Aku menuliskan namanya di setiap tempat, di buku, kitab dan almari pakaianku. Suatu hari aku mengambil fotonya yang tertempel di buku induk organisasi dan kulekatkan di dalam lemari pakaianku.

Semua anak tahu aku menyukainya, tapi sama sekali tak tahu bagaimana mendekatinya. Beberapa temanku menawarkan diri menghubungkan aku dengannya, tetapi tak satupun yang member kabar lebih lanjut padaku. Hiru-pikuk pesantren membuatku tak menemukan jalan untuk dekat dengannya, tetapi dalam kebuntuan itu, aku tetap yakin dia akan menjadi jodohku  suatu hari nanti.

Aku sangat senang mendapat kesempatan mengajar di pondokannya, tetapi bukan berarti terbuka jalan untuk mengenalnya. Aku benar-benar kehilangan jejak saat dia lulus SMA dan melanjutkan studi di luar kota.

Beberapa kali aku mengunjungi kampusnya, tetapi tak satupun sahabatku membantu aku, bahkan untuk sekedar bertemu. Dia telah semakin jauh dariku, tetapi sangat dekat di hatiku.